Sudah Selayaknya Menjadi Ibu Kota Provinsi Daerah Istimewa
IMNEWS.ID – DENGAN pengalaman menjadi Ibu Kota Negara Mataram selama 200 tahun lamanya (1745-1945), seharusnya sudah tidak perlu ada keraguan lagi terhadap Kota Surakarta untuk dikembalikan statusnya sebagai Ibu Kota Provinsi Daerah Istimewa Surakarta (DIS). Begitu pula, fragmentasi politik yang begitu beragam dan berdinamika tinggi dari level Surakarta, Jawa Tengah sampai di skala nasional, seharusnya sudah tak perlu khawatir dan ragu-ragu lagi, untuk segera serius mempersiapkan diri dalam posisi apapun yang diperlukan untuk mewujudkan kembalinya Provinsi DIS.
Ketika proses hukum judicial review terhadap UU No 10/1950 tentang pembentukan Provinsi Jateng di Mahkamah Konstitusi (MK) di tahun 2012, memang akhirnya menemui kegagalan. Apalagi, proses politik yang dibangun ketika GKR Wandansari Koes Moertiyah berada di Komisi II DPR RI (dua periode terpisah), juga GKR Ayu Koes Indriyah di DPD RI (dua periode terpisah) juga tidak membuahkan hasil, ternyata melahirkan sebuah solusi yang akomodatif.
Sikap akomodatif itu lahir karena disadari bahwa peta politik setelah era Orde Baru yaitu era Orde Reformasi, berubah hampir 360 derajat yang makin mengalihkan kekuasaan atas negara ini ke tangan partai politik. Sehingga, ada keyakinan untuk mengembalikan status Provinsi DIS (waktu itu), bisa berhasil kalau ditempuh melalui proses politik di lembaga DPR dan DPD RI.
Dan kombinasi antara proses politik dan proses hukum di MK itu, ternyata gagal bahkan sempat melahirkan sikap sinisme dengan kata-kata ”Ngene wae wis penak” dari kalangan partai politik khususnya yang sedang berkuasa. Sinisme itu seolah-olah tertuju ke arah keluarga besar Keraton Mataram Surakarta, tetapi latarbelakang alasan sikap sinis itu bisa karena beberapa kemungkinan.
Yang pertama, akibat stigma buruk yang muncul di sekitar ontran-ontran ”Raja Kembar” di tahun 2004 yang diterjemahkan publik secara luas sebagai ”rebutan balung” atau ”rebutan kekuasaan” di antara sesama saudara keluarga besar keraton. Yang kedua, juga mungkin karena masih ada sisa-sisa memori publik yang keliru terhadap stigma negatif tentang ”Keraton pro-Belanda”, yang selalu dihembus-hembuskan pihak tertentu pada rezim-rezim pemerintahan sebelumnya.
Melalui berbagai forum dialog dan diskusi, dua stigma di atas sudah bisa diluruskan sedikit demi sedikit. Tetapi stigma buruk berikutnya sebagai sisa-sisa sikap politik di masa lalu, ternyata belum juga hilang, meski generasi sudah berganti. Yaitu stigma yang keliru bahwa beberapa tokoh di keraton terlibat komunis (PKI), juga stigma tentang golongan ”ningrat” adalah feodal.
Tiga dari empat stigma buruk itu sudah dibantah tegas oleh KPHA Purbodiningrat, anak sulung KPH Daryonagoro yang kini menjabat Ketua Partai Golkar DPD Surakarta. Semasa hidupnya, ayahanda RM Koes Rahardjo itu menjabat Pengageng Parentah Keraton Surakarta, setelah memutuskan tetap ”suwita” di keraton saat diminta memilih ketika semua pegawai lembaga Kepatihan dihadapkan pada pilihan antara menjadi ASN (pegawai negeri) atau tetap suwita di keraton, setelah NKRI lahir.
Sedangkan soal stigma buruk akibat proses suksesi 2004 yang ”ternoda” jargon ”rebutan balung”, ”ontran-ontran raja kembar” dan ”rebutan kekuasaan”, dibiarkan sebagaimana kebebasan orang berpendapat, karena kesan-kesan seperti itulah yang lebih nampak dari luar. Menurut KPHA Purbodiningrat yang bernama kecil RM Koes Rahardjo itu, peristiwa yang di masa lalu merupakan bagian dari plus-minus dinamika perjalanan kehidupan sebuah kerajaan itu, di masa modern memang terasa ada yang tidak pantas dan dianggap sebagai hal yang aneh.
”Ya, saya sebagai bagian dari keluarga besar menyadari ada kesalahan. Saya bisa memahami kalau peristiwa itu dianggap tidak pantas dan sebagai hal yang aneh. Karena, alam dan suasananya memang sudah berbeda. Tetapi, yang berkait dengan perlunya upaya mengembalikan status Provinsi DIS itu, saya setuju 100 persen. Karena yang akan menerima manfaat, bukan keraton dan individu-individu orang keraton. Tetapi masyarakat secara luas, terutama di wilayah Surakarta yang meliputi enam kabupaten dan satu kota. Saya sangat setuju dan mendukung upaya itu,” tegas Ketua Paguyuban Trah Sinuhun Paku Buwono VIII itu.
Pernyataan tegas RM Koes Rahardjo itu sekaligus untuk meluruskan sikap seorang politisi dari partai penguasa yang menyatakan ”ngene wae wis penak, rakyat ora butuh Daerah Istimewa (Surakarta)”. Menurutnya, itu pandangan egois seorang politisi apalagi yang sedang berkuasa. Dan itu sama sekali tidak bisa mewakili rakyat di wilayah Surakarta atau lebih luas lagi, karena sangat diyakini rakyat pasti memilih wilayahnya menjadi Provinsi Daerah Istimewa, karena rakyatlah yang akan merasakan kesejahteraan dari melimpahnya dana (anggaran) keistimewaan itu, bila menyontoh yang dialami DIY.
Keyakinan seorang politisi dari Partai Golkar itu, maqkin kuat setelah ada wacana yang sudah dilontarkan sekitar 10 tahun lalu, yaitu kembalinya Daerah Istimewa Surakarta yang disertai pemilihan pejabat kepala daerah dan wakilnya. Karena dengan Pilkada langsung untuk mendapatkan gubernur dan wakilnya, akan banyak memberikan angin positif guna merubah stigma negatif yang selama ini diberikan kepada Keraton Mataram Surakarta khususnya, dan eks Ibu Kota negara Mataram khususnya.
Angin segar positif itu, adalah peluang bagi tokoh-tokoh muda seperti Gibran Rakabuming, yag kini menjabat Wali Kota Solo. Tokoh yang muncul di saat sang ayah menjabat Presiden RI saat ini, memiliki kesempatan leluasa untuk mengerahkan segala kekuatannya, bahkan berskala nasional, untuk mewujudkan karya yang akan menjadi pusaka dan monumen, yaitu kembalinya Provinsi DIS yang ber-Ibu Kota di Surakarta sebagai bekas Ibu Kota negara Mataram yang sudah berpengalaman selama 200 tahun itu.
Angin segar positif itu, sekaligus menghindarkan kemungkinan-kemungkinan buruk apabila meniru pola pemberian status daerah istimewa seperti DIY. Karena, sang raja ditetapkan sebagai Gubernurnya, dan pemimpin adat Pura Pakualaman ditetapkan sebagai Wakil Gubernur. Ancaman hukum setiap saat bisa muncul dari perilaku koruptif yang selama ini menjadi stigma negatif hampir di berbagai lini jajaran pemerintahan, yang tentu akan mengancam kewibawaan, harkat dan martabat keraton apabila ”raja” dan ”pemimpin adatnya” terlibat.
”Gagasan yang pernah dilontarkan Gusti Moeng dan KPH Edy soal pembatasan kekuasaan bagi Sinuhun atas nama keraton, agar tidak telibat dalam struktur pemerintahan, itu sudah tepat. Itu akan tetap menjaga wibawa, harkat dan martabat keraton serta Sinuhun. Tetapi sekaligus memberi peluang kepada tokoh-tokoh muda seperti mas Gibran yang kini sudah menjabat Wali Kota Solo”.
”Sebuah karya yang luar biasa dan akan dikenang publik sepanjang masa, kalau Surakarta bisa kembali menjadi Ibu Kota untuk kembalinya Provinsi DIS. Apalagi, Gubernurnya yang pertama mas Gibran. Ini doa saya. Mudah-mudahan diamini seluruh warga secara luas, dan mudah-mudahan dikabulkan Allah SWT,” harap KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, salah seorang pemerhati budaya Jawa dan keraton dari sisi spiritual, saat iMNews.id meminta tanggapannya, kemarin. (Won Poerwono-habis)