Pangeran Mangkubumi “Ditegur” Gubernur Jenderal, Karena Pakai Gelar “Sultan Paku Buwana”
IMNEWS.ID – “REALITAS” dan keniscayaan bahwa Kraton Jogja hanya memiliki wilayah kekuasaan yang bersifat “gadhuhan” dan “bukan” sebagai penerus Kraton Mataram Islam, rupanya masih sulit diterima hinga kini. Entah bagaimana caranya, setiap bulan Februari selalu muncul “hantu Perjanjian Giyanti”, yang kembali bergentayangan bernada “menagih” dan “mengganggu”.
Keniscayaan bahwa Kraton Jogja baru lahir di tahun 1755, belum sepenuhnya diterima sebagai sebuah kenyataan. Data sejarah yang menyebut Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755 hanya dilakukan Nikolas Hartings yang mewakili VOC dengan Pangeran Mangkubumi yang bertandatangan dengan nama Sultan Paku Buwana, mereka anggap bukan fakta, karenanya berusaha diingkari.
Sebelas pasal isi “Babad Giyanti” yang berisi perjanjian antara Raja Mataram Surakarta dengan Pangeran Mangkubumi (sang paman) yang selama ini dipersoalkan, tidak satupun pasal menyebut kehadiran Sinuhun PB III. Apalagi dianggap Raja “bersepakat” dari bukti “tanda tangan” dalam “Perjanjian Giyanti”, 13 Februari 1755, perlu bukti yang meyakinkan.

Karena dari tampak pada kopi lembar tanda tangan “Perjanjian Giyanti”, ada beberapa tanda-tangan dan stampel dibubuhkan, jelas bukan nama, tanda tangan Sinuhun Paku Buwana (PB) III dan tak ada stampel Kraton Mataram Surakarta. Sebab, Kraton Mataram Surakarta tidak berkepentingan dalam perjanjian itu, oleh sebab itu Sinuhun Paku Buwana III tidak hadir.
Kalau ada yang menjadikan tulisan Sultan Paku Buwana ada dalam lembar tanda-tangan, nama terang dan stampel itu, banyak peneliti sejarah meyakini di situ tidak ada stampel Kraton Mataram Surakarta dan nama Rajanya. Nama Sultan Paku Buwana tertulis di situ, ternyata digunakan Pangeran Mangkubumi untuk menunjukkan gelar Raja “pertama” Kraton Jogja.
Analisis atas data dan fakta sejarah “Perjanjian Giyanti” yang kini dijadikan bukti pembenaran pendapat secara sepihak itu, jelas sangat tidak beralasan. Karena, banyak data, fakta dan pertimbangan yang lebih rasional telah membuktikan bahwa Kraton Mataram Surakarta tidak terlibat dalam “Perjanjian Giyanti”, baik secara fisik maupun representatif.

Sinuhun PB III tidak hadir di “Perjanjian Giyanti” yang disebut di lokasi Dukuh (Dusun) Jatisari, kini wilayah Desa Sapen, Kecamatan Mojolaban (Sukoharjo) pada 13 Februari 1755, karena Kraton Mataram Surakarta tidak punya “kepentingan” apapun. Oleh sebab itu kraton tidak melakukan kesepakatan apapun yang “diatur” dan “didekte” Belanda (VOC-Red) itu.
Karena Sinuhun PB III tidak datang secara fisik dan tidak mewakilkan siapapun, maka kalau kemudian ada pernyataan soal “palihan nagari”, itu adalah “isu sesat” klaim atau anggapan sepihak dari antara yang melakukan “Perjanjian Giyanti”. Data dan fakta sejarah yang dimiliki Kraton Mataram Surakarta hingga kini, eks wilayahnya utuh, tak pernah dibagi-bago.
“Kalau Pangeran Magkubumi diberi lokasi tanah dengan status ‘hanggadhuh’, itu betul sekali. Jadi, dasarnya dipinjami oleh Sinuhun PB III, bukan karena ‘palihan nagari’. Tidak ada palihan nagari, dan kraton tidak pernah melakukan perjanjian dengan kesepakatan seperti itu. Perjanjian di Desa Jantiharjo (Mojolaban)-pun, juga tidak ada pembagian kebudayaan”.

“Jadi intinya, Kraton Mataram Surakarta tidak punya kepentingan dalam Perjanjian Giyanti. Yang punya kepentingan adalah VOC yang diwakili (Nikolas) Hartings dan Pangeran Mangkubumi. Kalau ada kajian yang menyebut nama ‘Sultan Paku Buwana’ dibubuhkan di perjanjian dan setelah itu Pangeran Mangkubumi ditegur Belanda, saya setuju sekali. Itu sangat rasional”.
“Sebagai bukti tanah di lokasi yang sekarang menjadi wilayah Kraton Jogja itu statusnya ‘hanggadhuh’ atau dipinjamkan, karena kami menemukan dokumen hak atas tanah itu yang menyebut milik Kraton Mataram Surakarta. Sebelum dirubah statusnya menjadi sertifikat hak milik (Kraton Jogja-Red), dengan biaya dari dana istimewa yang besar sekali,” ujar Gusti Moeng.
GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA beberapa kali mengungkap fakta-fakta itu dalam berbagai kesempatan. Termasuk saat melakukan konferensi pers dengan beberapa wartawan, seusai berbicara dalam sarasehan membahas “Pertemuan Jatisari” di kantor Balai Desa Sapen, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo, sekitar tahun 2021.

Penegasan Gusti Moeng itu juga dilakukan untuk membenarkan fakta-fakta yang terungkap dalam sarasehan “Perjanjian Giyanti” di ndalem Kayonan, Baluwarti, 10 Februari 2020. Bahkan untuk “membantah keras” pernyataan pembicara dari beberapa kampus, yang tampil dalam “Diskusi Budaya” yang digelar pihak lain di kagungan-dalem Masjid Agung, 7 Maret 2020.
“Sinuhun PB III, selain ‘memberikan’ tanah calon wilayah Kraton Jogja, juga memberi bekal piandel pusaka keris Ki Kopek. Levelnya bukan ‘Kiai’, apalagi ‘Kanjeng Kiai’. Bahkan diberi jaminan hidup sejumlah uang untuk beberapa waktu. Tetapi, sama sekali tidak ada perjanjian pembagian kebudayaan (Jawa) antara Surakarta dan Jogja,” tunjuk tandas Gusti Moeng.
Ketika dianalisis lebih jauh, “Perjanjian Giyanti” yang selalu diributkan itu jauh dari rasional ketika dihubung-hubungkan dengan berbagai isu “pembagian” tersebut. Sebab, isu itu baru bisa diterima akal kalau perjanjiannya terjadi pada zaman Sinuhun PB II. Itupun, kalau ayah Sinuhun PB III itu diasumsikan hadir dalam perjanjian dan bersepakat. (Won Poerwono – bersambung/i1)