
Pangkat dan Gelar Anon-anon, “Gawa-gawe”, Bekal Edukasi dan Bentuk Penyimpangan
IMNEWS.ID – SETELAH mencermati dasar-dasarnya, paugeran adat dan praktik di lapangan dalam penggunaan gelar pangkat adat, dari zaman ke zaman dalam sejarah perjalanan Kraton Mataram, menjadi bagian penting kehidupan peradabannya. Tetapi, hampir semuanya tak ada yang tertulis, baik sebagai aturan hukum “negara” maupun dokumen pengetahuan “milik negara”.
Karena hampir semua tata nilai aturan yang berlaku selama ini hanya lisan, maka sangat wajar pengakuan aturan dalam bentuk ikrar sumpah-janji sampai pada tingkat pelaksanaannya, sulit dibakukan khususnya selama Dinasti Mataram eksis. Di situlah kehebatan nilai-nilai kepribadian, keutamaan, keluhuran, kebijakan dan spiritial Jawa tetap teguh dijaga.
Walau hampir semuanya hanya dalam wujud lisan, tetapi nilai kepatuhan, konsistensi, kredibilitas, akuntabilitas dan kejujuran dalam pelaksanaannya, pada umumnya bisa berjalan baik. Terjadinya penyimpangan berupa ketidakpatuhan dan pengkhianatan atau manipulasi, adalah hal yang sangat manusiawi dan wajar, tetapi tidak mendominasi karena ada kontrol.

Dalam batasan-batasan seperti itu, paugeran adat berupa penggunaan gelar dan pangkat yang berkait dengan tata busana adat yang menjadi bagiannya, bisa terjaga dengan baik dari zaman ke zaman, dalam waktu yang panjang. Dan karena realitas produk peradaban yang didominasi faktor kredibilitas dan kejujuran itu, hanya ditandai zaman Raja yang jumeneng sebagai batasnya.
Karena batas yang bisa diidentifikasi hanya zaman jumenengnya Raja, maka untuk membuat periodisasi menjadi sederhana. Meskipun dipastikan ada perubahan dari periode ke periode, menurut KP Budayaningrat sulit dilukiskan dan dibandingkan. Termasuk saat Sinuhun PB X, PB XI, PB XII dan PB XIII sekarang ini, belum diketahui periodisasinya karena tak ada catatan.
Dari pencermatan terhadap dasar-dasarnya, tata nilai paugeran adat dan praktik di lapangan dalam penggunaan gelar pangkat adat, kini teridentifikasi satu bagian dari perjalanan Kraton Mataram Surakarta di satu sisi. Bagian ini adalah tantangan besar khususnya bagi generasi masyarakat adat di zaman modern ini, akankah tetap dibiarkan menjadi tata nilai lisan?.

Kalau hendak dicatat atau dibukukan sesuai kaidah pencatatan sejarah yang benar, tentu akan menjadi produk sejarah zaman tokoh yang jumeneng nata. Atau karya seorang GKR Wandansari Koes Moertiyah, sebagai tokoh fenomenal yang sangat pantas dan proporsional menginisiasinya. Bahkan bisa jadi karya sang putra mahkota KGPH Hangabehi, seperti zaman calon PB V.
Realitas pemakaian dalam pelaksanaan kehidupan yang intensitasnya cukup tinggi saat jajaran Bebadan Kabinet 2004 dipimpin Gusti Moeng, berlakunya gelar pangkat disertai penegakan disiplin dalam berbusana adat memang menjadi sangat rasional. Apalagi jika disertai upaya pembakuan dan pembagian periodisasinya, lalu diadakan pencatatan resmi semua peristiwanya.
Pencatatan resmi sebagai “dokumen negara” yang berisi berbagai perubahan penting dan peristiwa bersejarah di atas, jelas akan memberi manfaat besar kepada generasi peradabaan ke depan. Karena, sejarah masa kini Kraton Mataram Surakarta, akan mudah dipelajari dan dipahami secara jelas oleh anak-cucu, yang diharapkan akan menjadi generasi pelestari ke depan.

Generasi pelestari Budaya Jawa dan penjaga kelangsungan kraton di waktu yang lebih panjang lagi kelak, bisa dimaknai sebagai generasi yang mulai merasakan menjadi calon pengganti pekerja adat di dalam kraton. Karena Gusti Moeng bersama Sanggar Pasinaon Pambiwara, Pasipamarta dan Pakasa cabang, sedang benar-benar ingin mewujudkan harapan Sinuhun PB XII.
Seperti disebutkan KP Budayaningrat, sebelum tahun 1993 Sinuhun PB XII pernah meminta KRMH Rio Yosodipuro dan Gusti Moeng untuk “golek kanca”. “Kanca” yang dimaksud adalah warga Pasipamarta yang “diseleksi” melalui Sanggar Pasinaon Pambiwara. Dan, bekal pengetahuan serta tata nilai paugeran adat yang mereka peroleh, sangat diperlukan dalam pasuwitan di kraton.
“Suwita” atau mengabdi di kraton, jelas akan bekerja di berbagai aktivitas adat yang selama ini dijalankan kraton, yang menjadi “nyawa” atau inti kehidupan kraton. Oleh sebab itu, warga Pasipamarta dan kemudian warga Pakasa cabang yang kini berkembang, mendapatkan jalan mudah untuk “suwita”, karena gelar pangkat “anon-anon” diberikan, bahkan bisa “naik”.

Menurut hemat KP Budayaningrat, dasar-dasar menaikkan gelar dan pangkat anon-anon harus dilihat jelas dari “gawa-gawe” yang dilakukan para abdi-dalem. Tingkat kepantasannya juga diukur dari “gawa-gawe” yang sudah dijalankan, selain faktor yang melekat secara pribadi. Tetapi, bagi warga di luar dua elemen itu, tentu ada pertimbangan lain bila naik pangkat.
“Gawa-gawe” dan pertimbangan lain untuk mengukur kepantasan tiap abdi-dalem menyandang gelar pangkat dan mendapatkan kenaikan, itu harus menjadi dasar pertimbangan rasional. Jangan sampai ada figur yang bermasalah dalam berbagai kasus “menyimpang”, bahkan mencoreng masyarakat adat Jawa apalagi citra kraton, tidak “dihukum” tetapi malah diberi “hadiah”.
Berbagai bentuk penyimpangan seperti yang dilakukan oknum Pakasa di Cabang Sidoarjo, menjadi edukasi yang penting dan baik bagi warga Pakasa cabang lain untuk menjunjung tinggi makna dan tujuan “pasuwitannya”. Masalah kepemimpinan dalam Pakasa, minimnya bekal “pasuwitan” sebagian besar Pakasa cabang, harus menjadi tantangan besar untuk segera diatasi. (Won Poerwono – bersambung/i1)