Momentum Untuk Menjelaskan Sisi Rasional Ritual Labuhan, Agar Bisa Dipahami Publik
IMNEWS.ID – DALAM serial artikel “Pamong Makam dan Pakasa Cabang Masih Perlu Banyak Dialog Untuk Kelola Event Haul yang Ideal” mulai 26 September 2024 lalu, di sana banyak disebut eksistensi Pakasa cabang di satu sisi. Kemudian ada pamong makam dan ritual haul wafat leluhur Dinasti Mataram di sisi lain, dan ketiga variabel itu jelas merupakan keniscayaan.
Dari tiga variabel itu, sebelumnya tidak punya hubungan baik langsung maupun tidak. Tetapi, ketika keluarga trah keturunan tokoh leluhur Dinasti Mataram mulai melembaga dan melembagakan ritual haul, dari situlah terjadi koneksi dan relasi. Sedangkan lembaga Pakasa (cabang), paling belakang menjadi variabel yang menyusul berkoneksi dan berelasi.
Karena, ritual digelar untuk memperingati haul wafat para tokoh leluhur Dinasti Mataram, maka Kraton Mataram Surakarta hadir sebagai payung besar yang menaungi dan mengayomi. Terlebih ketika Lembaga Dewan Adat (LDA) kini punya legal standing lebih jelas, tegas dan final dengan adanya peristiwa “Dekrit LDA” atau eksekusi putusan MA, 8 Agustus 2024.
Walau Pakasa cabang sudah banyak berdiri di berbagai kabupaten/kota di sejumlah provinsi, tetapi organisasi itu masih sebagai komponen/elemen lain. Masih dibutuhkan waktu untuk berproses dalam sinergi, terutama untuk mengurus ritual haul, apalagi menjadikan peringatan wafat sejumlah makam tokoh leluhur Dinasti Mataram sebagai “event” destinasi wisata.
Dalam posisi dan kedudukan seperti itulah, keberadaan Pakasa cabang saat bersama-sama menjadi subjek pendukung upacara adat Labuhan yang digelar di Pantai Parangkusuma “segara kidul”, Minggu (6/10) lalu. Pakasa cabang menjadi elemen yang terkoneksi dan berelasi langsung dengan LDA dan representasi pengurus Pakasa Punjer, mendukung kegiatan produk kraton.
Sinergitas Pakasa cabang dengan LDA dan Pakasa Punjer, terjadi di kegiatan di lingkungan Kraton Mataram Surakarta sebagai induk dan payung besar semua elemen itu, pada saat menggelar upacara adat yang menjadi produk budaya dan adatnya. Karena berada dalam asuhan pusat dan sumbernya adat dan budaya Jawa, maka proses penyesuaiannya tak akan rumit.
Proses sinergitas Pakasa cabang dalam ritual Labuhan yang rata-rata menjadi pengalaman pertamanya, jelas memiliki dinamika dan irama yang berbeda, dibanding yang dialami Pakasa cabang dengan pamong makam dalam mengurus ritual haul di tempat masing-masing. Proses belajar menyesuaikan sama-sama sedang dilakukan, sinergitas dan legitimasinya cepat terasa.
Banyak hal positif juga bisa dilihat dari peristiwa ritual “Labuhan Perdana Digelar “Bebadan Kabinet 2004″ Di Era Baru dan Dekrit LDA”, Minggu (6/10) itu. Paradigma baru strata adat yang kini menampilkan organisasi “kawula” Pakasa sebagai tulang-punggung masyarakat adat, akan menjadi tonggak sejarah baru perjalanan Kraton Mataram Surakarta ke depan.
Sebagai ilustrasi, dalam beberapa hal misalnya pengelolaan event haul di berbagai daerah dan mendukung ritual Labuhan seperti, Minggu (6/10) lalu itu, Pakasa cabang memang berada pada posisi dan kedudukan sebagai elemen/komponen baru. Tetapi, Pakasa telah dilahirkan pada 29 November 1931 atas inisiasi Sinuhun Paku Buwana (PB) X (1893-1939).
Khusus mengenai upacara adat Labuhan, sebenarnya sudah mendesak untuk dilakukan redefinisi yang bisa menampilkan sisi rasionalnya, agar gampang diterima generasi masyarakat masa kini, yang bisa menjadi legitimasi sepanjang zaman. KGPH Puger, salah seorang putra-dalem yang masih dekat dengan “Bebadan Kabinet 2004” pimpinan Gusti Moeng, sudah membuka diri.
Seperti pernah disebut dalam seri sebelumnya, KGPH Puger menyatakan sebenarnya ingin ikut bergabung dalam ritual Labuhan yang digelar “Bebadan Kabinet 2004”, Minggu (6/10). Salah satu keinginannya, untuk memberi penjelasan yang rasional kepada publik, karena ritual Labuhan sudah dijalankan Kraton Mataram Surakarta ratusan tahun sejak Panembahan Senapati.
Memang benar kata KGPH Puger, Kraton Mataram Surakarta yang produknya antara lain adalah berbagai pengetahuan yang bersumber dari budaya Jawa, salah satunya adalah berupa aktivitas ritual yang memiliki tema besar beragam dan banyak jumlahnya. Salah satunya, adalah ritual Labuhan yang hanya dilakukan di Pantai Parangkusuma, “segara kidul”.
Mungkin tinggal ritual Labuhan di Pantai Parangkusuma (Bantul, DIY) dan juga “wilujengan nagari Sesaji Mahesa Lawung” di hutan lindung Krendawahana (Gondangrejo, Karanganyar), yang perlu mendesak untuk dijelaskan kepada publik secara luas. Karena, dua upacara adat itu rawan mengundang persepsi negatif yang bisa digunakan untuk mendiskreditkan kraton.
Secara umum, hampir semua upacara adat yang digelar Kraton Mataram Surakarta sejak Panembahan Senapati (Raja ke-1 Kraton Mataram) selaku pendiri Dinasti Mataram, atau bahkan sejak Kraton Demak (abad 15) dan sebelumnya (Majapahit abad 14 dan Kediri abad 12), memiliki makna yang sarat nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan, tetapi belum sempat “terjelaskan”.
Dalam peradaban “Bangsa Jawa” dan “Bangsa Indonesia” yang kemudian mewadahi, nyaris tak ada penjelasan soal cara para leluhur berekspresi dalam kegiatan ritus dan pendokumentasiannya. Tingkat kecerdasan, perkembangan teknologi dan pengetahuan peradaban memang sangat menentukan, tetapi banyak peristiwa “tega memutus” hal yang natural rasional itu. (Won Poerwono-bersambung/i1)