Disaksikan Sekitar 100 Penonton yang Membeli Tiket Rp 150 Ribu dan Rp 200 Ribu
SURAKARTA, iMNews.id – Untuk kali pertama, Kraton Mataram Surakarta melalui kelompok pengorganisasi bernama “Pamasidi” menggelar event pertunjukan seni bertajuk “Kraton Performing Art” di Bangsal Smarakata, Senin malam (16/9). Pertunjukan tari dan seni Panembrama itu ditonton sekitar 100-an orang yang membeli tiket masuk Rp 150 ribu dan Rp 200 ribu/orang.
Ada tiga jenis sajian pertunjukan tadi malam, diawali dengan tari “Srimpi Anglir Mendung”, seni koor berbahasa Jawa diiringi karawitan yang menyanyikan “Gendhing “Panembrama” sebagai sajian kedua, dan diakhiri dengan tari “Wireng Bugis Kembar”. Pertunjukan dimulai pukul 20.15 WIB dan berakhir pukul 22.00 WIB yang dibuka dengan sambutan dua tokoh penting.
Bangsal Smarakata yang sudah dicoba menjadi panggung pertunjukan serius terbatas, misalnya konser karawitan “Malem Selasa Legi” beberapa waktu lalu, semalam ditingkatkan intensitasnya menjadi panggung pertunjukan sajian seni yang masuk kategori semi profesional (semipro-Red). Dari berbagai faktor dan unsur, termasuk baik dan sukses sebagai perintis.
Tanda-tanda peningkatan kategori itu adalah adanya hasil tata panggung dan tata cahaya terukur, adanya juru pambiwara dan urutan acara memenuhi unsur disiplin dan tertib, adanya sound system yang masuk kategori “pro”, pilihan sajian yang punya daya tarik tinggi sekaligus “daya jual” serta adanya penghargaan untuk karya (semi) profesional itu.
Penonton yang membeli tiket masuk Rp 150 ribu dan Rp 200 ribu, disediakan tempat duduk secara khusus berupa lesehan di atas karpet bagi deretan paling depan dan kursi bagi penonton deretan di belakangnya. Dua jenis fasilitas untuk para penonton ini, semua ada di sisi kanan-kiri dan depan teras Bangsal Smarakata yang daya tampung maksimalnya 200 kursi.
Karena tempat duduk disediakan di sekitar teras Bangsal Smarakata, maka jarak paling jauh untuk menyaksikan pertunjukan di atas lantai Bangsal Smarakata itu, hanya sekitar 30 meter yang termasuk semua bisa menikmati dengan jelas semua yang tersaji di atas panggung. Fasilitas satu set sound system dihadirkan hanya untuk keperluan ringan-ringan saja.
Yaitu, pasokan listrik Genset-nya yang bermanfaat untuk tata cahaya dan peralatan dokumentasi. Selebihnya, mikropon disediakan untuk keperluan juru pambiwara mengatur lalu-lintas pertunjukan. Termasuk, ketika Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA) dan KPH Raditya Lintang Sasangka (Ketua Sanggar Pambiwara) untuk memberi sambutan.
Malam itu, “Bangsal Smarakata” benar-benar agak berbeda penampilan dan kesan yang lahir dari citra visualnya, karena tempat itu sudah dikenal hanya sebagai tempat berkumpul untuk berbagai “dhawuh” dalam setiap pisowanan upacara adat. Selebihnya, adalah tempat upacara kecil dan ajang berlatih beberapa cabang seni terutama dari Sanggar Pawiyatan Beksa.
Dari sambutan Gusti Moeng, tak banyak disampaikan hal-hal penting yang berkait dengan event pertunjukan itu. Tetapi dari laporan KPH Raditya Lintang Sasangka selaku Art Director, banyak disebut hal penting yang menyangkut proses tersajinya event itu. Terutama terhadap pribadi Gusti Moeng, sebagai sosok yang sangat banyak menginspirasi dan membantu.
Sajian pertama tari “Srimpi Anglir Mendung”, dalam sinopsis pengantar disebut sebagai karya KGPAA Mangkunagoro I dan pernah disempurnakan oleh Sinuhun Paku Buwana (PB) IV dan PB IX. Selai nama tarian, karawitan iringannya bertambah kaya, yaitu hadirnya Gendhing Ladrang “Sri Widada”, hingga variasi iringan juga semakin kaya walau dalam durasi 60 menit saja.
Bila dilihat penampilan empat penari Srimpi Anglir Mendung ini, kemasan sajian itu menjadi terkesan mewah, anggun, berwibawa dan mahal. Apalagi, selain sosok RAy Rahmalina (istri KPH Raditya Lintang Sasangka) adalah eks penari Bedhaya Ketawang yang kini jadi instruktur tari senior di sanggar, ada tiga penari lain yang punya daya tarik tinggi.
Yaitu hadirnya dua penari warga Jepang, Kaori Orado dan Miray Kawashima. Keduanya yang sudah sering kali ke Kota Surakarta dan lama belajar tari tradisional klasik khas kraton, tentu memiliki nilai lebih dan daya tarik tinggi karena bukan orang Indonesia dan bukan orang Jawa yang bisa menari klasik dalam kategori penguasaan baik, tepat dan teliti.
Dalam sajian “Srimpi Anglir Mendung” itu, keduanya tentu tidak kalah dibanding Anggun Nurdianasari MSn, penari lulusan kampus pendidikan seni yang lama bergabung di Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton Mataram Surakarta. Tetapi, yang membuat mahal, berwibawa dan agungnya sajian empat penari itu, adalah suasana panggung dan momentum dan lokasi pentasnya.
Kombinasi warna dan ragam aksesori kostumnya tampak mewah ketika ada tata cahaya yang cukup dan mendukung. Apalagi, dipentaskan di Bangsal Smarakata, bagian inti kawasan sakral Kraton Mataram Surakara, habitat sangat tepat tari “Srimpi Anglir Mendung” itu. Terlebih, sajian gendhing iringannya mendiskripsikan sebuah latar belakang sejarah peristiwanya.
Kemewahan tari “Srimpi Anglir Mendung” memang sulit diimbangi tari “Wireng Bugis Kembar” sajian dua lelaki penari sanggar. Tetapi sebagai simbol tokoh antagonis dari kisah “Panji Klana” (Kraton Kediri), menarik ketika dieksplorasi. Sajian Gendhing Panembrama menjadi bonus, bahwa Mataram Surakarta selalu mengajarkan nilai-nilai etika dan estetika. (won-i1)