“Karaton (Mataram) Surakarta Hadiningrat, Hawya Kongsi Dinulu Wujuding Wewangunan……..” (seri 3 – habis )

  • Post author:
  • Post published:August 27, 2022
  • Post category:Budaya
  • Reading time:8 mins read

Ujung Selatan Sitinggil,  Tahap Sudah Tahu “Jalan Kematian”

IMNEWS.ID – SESUDAH (mencari) keadilan dan memahami rasa keadilan dalam kehidupan di dunia, ketika memahami makna filosofi Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa hingga Sitinggil Lor dengan beberapa bangsal dan pintu yang menjadi isinya (iMNews.id, 22/8 dan iMNews.id, 25/8), mengikuti perjalanan hidup manusia sampai pada tahap memahami petunjuk yang harus diketahui tentang “jalan kematian” yang disimbolkan tembok besar membujur dari timur ke barat. Tembok itu ada di sisi selatan Bangsal Manguneng tempat menyimpan meriam Nyai Setomi, yang diasumsikan sebagai “aling-aling urip” (perisai kehidupan-Red) yang bernama “Warana” yang fungsinya untuk menahan datangnya angin (dari utara).

“Konsep dalam kehidupan manusia ini, sudah diekspresikan dalam cerita pewayangan (seni pedalangan) dalam lakon Dewa Ruci dan Bima Suci. Di lakon itu, Bratasena berhasil mencari susuh (sarang) angin. Itu melukiskan, seseorang yang sudah bisa mencari dan mendapatkan tempat angin berpusar atau berhenti, atau bertahan, berarti sudah mengetahui akhir perjalanannya atau jalan kematian. Soal kematian memang menjadi rahasia Tuhan Sang Pencipta Alam. Tetapi manusia diberi kemampuan untuk mengetahui tanda-tandanya. Memang sangat jarang manusia bisa merasakan dan mengetahui tanda-tanda akhir perjalanan hidupnya. Tetapi ada yang bisa,” jelas KP Budayaningrat dalam lanjutan wawancara dengan iMNews.id, tadi siang.

Dari tembok “Warana” atau “aling-aling”, perjalanan menuju pintu keluar dari Sitinggil Lor yang ada tiga jumlahnya, yaitu dari dan ke arah timur, dari dan ke arah barat dan dari dan ke arah selatan yang bertemu menjadi satu di sisi selatan Warana. Menurut “dwija” Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta ini, dua pintu yang bertemu menjadi satu akses masuk dengan Kori Mangu itu, disebut “Kori Renteng”. Kata “renteng” identik permasalahan atau keruwetan dalam perjalanan kehidupan manusia mulai dari “purwa” (awal/lahir), “madya” (tengah/dewasa) dan “wasana” (akhir), yang sering diucapkan dengan kata majemuk “ruwet-renteng” kehidupan. Ini mengajarkan kepada manusia bahwa walaupun sudah diberi tahu jalan kematiannya, tetapi hakikat manusia di dunia masih menghadapi segala persoalan hidupnya.

Memantas Diri

BANGSAL MARCUKUNDHA : Bangsal Marcukundha dalam struktur bangunan kawasan Kraton Surakarta memiliki makna filosofi di akhir perjalanan hidup manusia, adalah tempat penuh api neraka yang harus diketahui sebelum sampai di hadapan Tuhan YME dan menerima putusan-Nya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sampai di paling ujung selatan kompleks Sitinggil Lor yaitu di Kori Mangu, yang memberi gambaran bahwa ada keragu-raguan atau “mangu-mangu” ketika manusia hendak menuju akhir perjalanan hidupnya, antara berani dan tidak, antara mau dan tidak, karena masih dihadapkan pada persoalan hidupnya. Dalam pengetahuan teologi apapun, memang disebutkan mati atau hidup manusia adalah di tangan Tuhan YME, apalagi rahasia kematian. Tetapi, manusia diberi akal untuk berkreativitas seperti yang terlukis dalam skenario cerita pedalangan dalam lakon “Bima Suci” atau “Dewa Ruci” itu, yang di satu sisi memperlihatkan keberanian terjun ke dalam samudra liar dan “bisa tetap hidup” serta menemukan “susuh angin”, tetapi dari sudut pandang teologi itulah sikap manusia yang sudah “pasrah” dan “Ikhlas”.

Dari Kori Mangu, terlebih dulu menyeberang Jalan Supit Urang untuk memasuki Kori Brajanala Lor. Kara “Braja” berarti senjata dan kata “nala” artinya hati, yang selengkapnya disebutkan bahwa ketika perjalanan hidup sudah diketahui akan berakhir, maka untuk menghadap Allah SWT Yang Maha Besar itu, “senjata” atau bekal satu-satunya yang bisa dibawa adalah “hati”  sebagai simbol amal kebaikan. Bekal amal kebaikan itulah yang akan menuntun manusia menghadap Tuhan. Ketika perjalanan bergeser masuk ke halaman Kamandungan. “Mandung” artinya “Mandeg” atau berhenti.

“Meski sudah pasrah dan ikhlas, dan dituntun amal kebaikan  berjalan menghadap Tuhan, harus berhenti dahulu untuk berpantas diri. Tempat untuk berkaca atau mengoreksi diri sendiri itu, ada di topengan Kori Kamandungan. Di situ ada cermin berukuran besar kaca brenggala, kaca berukuran besar yang biasanya dimanfaatkan siapapun yang hendak masuk kraton atau ingin sowan menghadap raja. Singkat kata, kaca besar itu mengajarkan kepada kita untuk bertanya kepada diri kita sendiri, apakah kita sudah pantas untuk menghadap Tuhan YME ?,” sebut KP Budayaningrat dengan pertanyaan.

Penuh Masalah

KACA BREANGGALA : Di Kori Srimanganti yang menjadi bagian dari struktur bangunan kawasan Kraton Surakarta memiliki makna filosofi perjalanan hidup manusia, juga terdapat sebuah cermin berukuran besar atau kaca Brenggala untuk kembali memantas diri sebelum menghadap Allah SWT.  (Dok)      

Dari halaman Kamandungan, bergeser sedikit ke selatan, untuk memasuki Kori Kamandungan. Setelah memantas diri di depan kaca brenggala, lewat dari Kori Kamandungan manusia digambarkan akan melewati dua tempat sebelum sampai di hadapan Tuhan YME. Tempat itu disimbolkan dengan Bangsal Marcukundha di sisi timur yang menggambarkan tempat serba panas mengerikan, karena penuh api neraka, kemudian Bangsal Smarakata di sisi barat yang menggambarkan tempat serba indah, teduh dan nyaman.  Setelah melewati dua tempat ini, sampailah di tempat yang disebut Sri Manganti, di situ ada tempat untuk menunggu atau “Manganti” panggilan Raja atau “Sri” dan sebuah pintu yang juga bernama Kori Sri Manganti.

Panggilan raja melukiskan panggilan Tuhan YME melalui para malaikatnya yang bertugas untuk itu. Setelah diizinkan masuk untuk menghadap Tuhan yang dalam peta struktur bangunan kraton disimbolkan dengan kata “Sri” berarti raja, manusia berjalan melewati tempat di sisi timur yang bernama “Purusa” dan di sisi barat bernama “Perjiwati”. Keduanya merupakan pasangan lelaki dan perempuan, yang tak lain melambangkan simbol pasangan orangtua atau leluhur  yang dulu pernah mengasihi dan menyayangi, karena telah melahirkan manusia.

“Sebelum berlanjut, perlu saya singgung lagi soal Sitinggil (Lor) yang dimaksudkan sebagai dataran yang paling tinggi di antara seluruh struktur bangunan kawasan kraton. Artinya, meskipun manusia sudah memahami ke arah mana hidupnya akan berakhir, tetapi pada hakikatnya manusia di dunia adalah berhadapan dengan masalah. Mau atau tidak, manusia diharapkan untuk menyelesaikan masalah hidupnya. Oleh sebab itu, contoh-contoh sifat masalah yang dihadapi manusia di dunia itu, selalu menjadi catatan atau bagian penting dari catatan kehidupannya. Sampai-sampai, mau menulis buku, proposal dan karya ilmiah mulai dari skripsi hingga disertasi, selalu ada bagian yang menyebut dan menguraikan “latar belakang masalah,” tunjuknya lagi.

“Sura” dan “Karta”

MELACURKAN DIRI : Pemandangan di halaman Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa dalam keseharian, memang terkesan terlalu naif untuk tidak tahu betapa tingginya nilai dan makna filosofi tempat yang menjadi bagian penting Kraton Surakarta itu. Mungkin saja masa bodoh, tetapi bisa saja peduli untuk “melacurkan diri” alias merendahkan diri sendiri.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Struktur bangunan di kawasan Kraton Mataram Surakarta yang disebut Sinuhun PB X sebagai “tuntunan hidup” itu, masih berlanjut ketika baru sampai halaman depan Pendapa Sasana Sewaka. Karena masih ada banyak bangunan berikutnya yang mempunyai kaitan makna filosofi, sebagai lanjutan cerita tentang kehidupan manusia sampai akhir hayat, yang disimbolkan dengan beberapa bangunan berikut sampai di Alun-alun Kidul dan Gapura Gading. Sedemikian hebatnya para leluhur Mataram dalam menyusun urutan perjalanan hidup manusia dalam khasanah budaya Jawa, tetapi karena tidak banyak yang bisa menjelaskan atau tidak banyak yang bisa dijelaskan kepada publik secara luas, membuat generasi yang hidup pada zaman berikutnya tak paham, juga tak peduli dan “masa bodoh”.

Sikap warga peradaban seperti itulah yang diratapi GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) di berbagai kesempatan bisa mengungkapkan “uneg-uneg”, yang antara lain terucap dalam pidato sambutan tunggal pada upacara adat “Jenang Suran” atau peringatan berdirinya Kraton Mataram Surakarta pada 17 Sura yang berlangsung Senin (15/8). Menyimak “jeritan hati” Gusti Moeng karena menyaksikan nasib Kraton Mataram Surakarta setelah 17 Agustus 1945, terlalu naif kalau sama sekali tidak ada warga bangsa yang paham, peduli dan menghargai nilai-nilai peninggalan leluhur peradaban yang sarat makna filosofi yang bermanfaat bagi kehidupan secara luas itu.

Dulu kita banyak disuguhi doktrin “Sumpah Palapa”-nya Patih Gajah Mada yang dianggap “Pahlawan” dari Kraton Majapahit”, tetapi nyaris tidak ada yang berbicara soal begitu banyaknya nilai-nilai luhur tuntunan hidup yang ditinggalkan Mataram. Padahal, Mataram ketika dipimpin Panembahan Senapati hingga Prabu Hanyakrawati, bisa melahirkan sebuah bangunan perniagaan yang kemudian dijadikan “Istana Merdeka”, begitu pula peninggalan Sultan Agung Prabu Hanyakrawati di zaman Mataram Islam, Amangkurat Agung  di zaman Mataram Kartasura, hingga Sinuhun Paku Buwana sampai 200 tahun zaman Mataram Surakarta. Terlalu naif kalau sampai tidak paham sabdadalem Sinuhun PB X (iMNews.id, 22/8/2022), apalagi terhadap kata “Sura” (keberanian) dan “Karta” (kemakmuran) sebagai pesan sekaligus harapan Kyai Ageng Muh Khasan Besari, ketika melepas Sinuhun PB II yang hendak mendirikan “Surakarta” sebagai Ibu Kota Mataram pada 20 Februari 1745 atau 17 Sura Tahun Je 1670. (Won Poerwono-habis/i1)