Berbagai Hal Menarik, di Balik Kisah Heroik Prajurit Tangguh KRT Prana Kusumadjati.
IMNEWS.ID – MUSIBAH kehilangan terompet atau tepatnya “ketelisut” akibat diduga disembunyikan dengan tujuan “menyabotase”, adalah sebuah peristiwa yang berlatar-belakang menarik meskipun barang yang hilang dicuri untuk tujuan apapun sudah menjadi hal biasa. Peristiwa itu dialami sebuah makam di Desa Rendeng, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus.
Namun, peristiwa “ketelisutnya” sebuah benda budaya dan bersejarah yang semula tersimpan dalam almari yang ada di pos jaga kompleks makam Mbah Glongsor, tetap saja menarik. Karena, benda berupa terompet kuno yang sudah hilang ujung tiupnya buatan sekitar tahun 1700-an itu, membuat banyak orang merasa kecewa, bahkan mengacaukan sebuah rencana besar.
Terompet berlaras pendek yang ternyata merupakan salah satu peninggalan Mbah Glongsor itu, diketahui tidak ada dari almari dikperkirakan selang seminggu kemudian, saat para petugas jaga pos kali pertama mendapati almari kecil itu sudah kosong. Pos jaga di makam Mbah Glongsor, selain untuk tempat berjaga dan nongkrong, adalah tempat menyimpan terompet.
Para petugas jaga yang sedang membersihkan saat mengetahui almari penyimpan terompet itu sudah kosong, sedianya hendak mengambil terompet dimaksud atas permintaan KRA Panembahan Didik Gilingwesi. Tokoh ini selain menjabat Ketua Pakasa Cabang Kudus, adalah Ketua Pamong Makam Mbah Glongsor, yang telah berunding dengan pamong desa untuk menggelar kirab.
KRA Panembahan Didik Gilingwesi Hadinagoro yang meminta para juru kunci yang bertugas jaga untuk mengambil terompet di pos dan diminta mengantar ke rumah Ketua Pakasa Cabang Kudus yang ada di Desa Gondang, sekitar 15 menit dari Desa Rendeng. Rencananya, terompet akan dibersihkan di rumah sebagai persiapan untuk dibawa kirab sesuai rencana panitia.
Heboh seketika terjadi di pos jaga yang berada di mulut gang sempit menuju kompleks makam Mbah Glongsor, berukuran 3×4 meter di Kampung Rendeng Wetan Ekapraya, Sabtu (22/6) malam itu. Karena, dua orang juru-kunci dibantu beberapa santri Majlis Taklim Lembah Pedangkungan yang diutus KRA Panembahan Didik, juga tidak bisa menemukan terompet dari dalam pos.
Proses penyelidikan dilakukan beberapa kelompok, terutama ke pos jaga dan menggali informasi kepada sejumlah orang yang biasa nongkrong di pos jaga itu. Tetapi, proses pencarian bersama sampai lebih sebulan itu, tetap saja nihil alias tidak bisa menemukan terompet, walaupun banyak mendapatkan petunjuk yang mengarah pada oknum yang diduga mengambil.
Walau sudah mendapat petunjuk yang mengarah pada satu oknum, tetapi KRA Panembahan Didik Gilingwesi selaku orang yang dituakan dan dianggap bertanggungjawab, akhirnya juga tidak bisa melakukan tindakan sepihak. Proses hukum yang dipandang paling netral dan lebih mudah, tidak bisa ditempuh karena beberapa orang yang punya informasi, tidak mau menjadi saksi.
Kalau boleh disebut sebagai kasus, hilangnya atau “ketelisutnya” terompet Mbah Glongsor menjadi buntu total. Karena, saksi yang dipandang sebagai kunci untuk membuka kasus itu, tidak berani bersaksi dalam laporan ke polisi. Mereka juga tidak berani menjadi saksi ketika diajak menanyakan/mengkonfirmasi langsung ke rumah oknum yang diduga “mengambil”.
“Ya sudah, mau menempuh cara apa dan ke mana saja orang-orang yang merasa tau oknum yang mengambil itu tetap tidak mau kalau menjadi saksi. Mereka takut kalau diancam atau ada dendam setelah itu. Padahal, orang-orang ini ada yang tau terompet itu ada di dalam rumah dan tampak dari luar saat pintu rumah terbuka. Saya tawari honor tetap tidak mau”.
“Ya sudah, mau apalagi. Ini jadi buntu. Seandainya oknum yang mengambil itu datang sendiri atau utusan minta ganti rugi, saya malah senang. Yang jelas, tidak akan saya permasalahkan dan tidak akan saya ceritakan siapapun. Akan saya anggap tidak pernah ada apa-apa dan akan saya maafkan,” ungkap tandas KRA Panembahan Didik yang masih terdengar kesal, kemarin.
Kekesalan KRA Panembahan Didik masih sering muncul sampai kirab budaya yang semula sempat dibatalkan bisa terwujud dan terlaksana dengan lancar dan baik, bahkan sukses dari beberapa sisi, Sabtu, tepat pada 17 Agustus, lalu. Meskipun, dia mengaku sempat sedikit terhibur oleh suasana riil berlangsungnya kirab, yang disebut jauh melebihi ekspektasinya itu.
Dari pantauan berlangsungnya kirab budaya yang diungkapkan KRA Panembahan Didik, maupun berbagai penjelasannya yang berkait dengan event kirab budaya membawa nama besar Mbah Glongsor, Sabtu siang itu, ada beberapa pelajaran dan hikmah yang menarik di balik itu semua. Selain event bisa terwujud sukses, ada kisah latar-belakang positif yang menyertainya.
Yang pertama adalah kisah terompet Mbah Glongsor, berikut kisah 4 keris dan satu tombak yang menggantikannya. Selain itu, ada pelajaran tentang makna pamor “Carita Bungkem” dari keris Kiai Bledheg, yang dikirabkan mewakili nama besar Mbah Glongsor itu. Kemudian latar-belakang kisah heroik yang edukatif, yaitu penumpasan komplotan penyamun “Kramaleya”.
Beberapa kisah menarik itu, bisa dirangkai menjadi latar-belakang perjalan kisah Mbah Glongsor untuk menguatkan event ritual kirab tahun depan. Karena tokoh heroik “nan tangguh” itu ternyata bernama KRT Prana Kusumadjati, abdi-dalem prajurit Kraton Mataram (Kartasura) saat Sinuhun PB I (1705-1719) dan Sinuhun Amangkurat Jawi (1719-1727) bertahta. (Won Poerwono-bersambung/i1)