Digelar Tepat pada Peringatan 17-an, Peserta dan Penikmatnya Jauh Melebihi Ekspektasi
KUDUS, iMNews.id – Kirab budaya yang megusung nama besar “parapan” (alias/sebutan) “Mbah Glongsor” di lingkungan RW 01 Ekapraya, Kampung Rendeng Wetan, Desa Rendeng, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus tepat pada peringatan Hari Kemerdekaan RI, Sabtu 17 Agustus kemarin, terwujud dengan sangat memuaskan bahkan bisa disebut jauh melebihi ekspektasi.
Panitia dan warga kampung setempat yang didukung pamong desa, bekerjasama dengan pengurus makam “Mbah Glongsor” serta Pakasa Cabang Kudus, akhirnya bisa mewujudkan event kirab budaya yang sebelumnya sudah dinyatakan batal. Pernyataan batal dari KRA Panembahan Didik Gilingwesi yang masih terdengar sampai sehari menjelang pelaksanaan itu, karena terompet belum diketemukan.
“Ya, secara umum saya juga bisa mengucap alhamdulillah, karena kirab berjalan lancar, meriah dan peminatnya luar biasa. Melebihi harapan (ekspektasi-Red) dan dugaan saya. Baik pesertanya, maupun warga sekitar yang menyaksikannya. Bahkan, warga desa dari luar Rendeng juga berdatangan. Para pedagang yang biasanya berjualan di pasar malam, juga ikut datang”.
“Tetapi, dalam hatinya kok masih mangkel, ndongkol campur jengkel. Karena, terompetnya tidak ada, kok ya tidak dikembalikan juga. Padahal, barang itu yang menjadi simbol mewakili Mbah Glongsor. Itu yang membedakan antara Desa Rendeng, bahkan Kabupaten Pati, dengan desa-desa lain dan daerah lain. Terompet Mbah Glongsor itu, satu-satunya cirikhas Rendeng dan Kudus”.
“Maka, sambil berjalan mengikuti kirab yang ternyata 4 KM-an, sesekali rasa jengkel dan mangkel itu muncul, hingga ingin cepat pulang saja. Tetapi, mungkin terhibur oleh antusias para peserta kirab dan warga yang menyaksikan itu, saya bisa lupa jengkel dan mangkel. Saya juga masih sempat memberi sambutan 15-an menit. Tapi kok malah lupa menyinggung soal terompet”.
KRA Panembahan Didik Gilingwesi Hadinagoro selaku Ketua Pakasa Cabang Kudus maupun Ketua Pamong Makam Mbah Glongsor, mengungkapkan kekesalan itu saat dimintai konfirmasi sejak semalam seusai kirab, maupun saat kembali dihubungi iMNews.id, Minggu pagi tadi. Menurutnya, walau sudah mendapat 4 keris dan satu tombak pengganti, dirinya masih merasa mangkel dan kesal.
“Mungkin, rasa mangkel dan jengkel saya campur-aduk. Antara sikap orang yang tega menyembunyikan (menyabotase-Red) dan ‘ndableg’ tak mau secara jantan mengembalikan, padahal sudah banyak yang tahu. Juga jengkel dan gregeten karena ada beberapa orang yang melihat terompet itu diambil dan kelihatan di rumah seseorang yang mengambilnya, tetapi tidak mau bersaksi”.
“Saya sampai membujuk dengan hadiah untuk berbagai cara agar terompet itu bisa kembali, tetapi tidak berhasil juga. Tapi, ya sudahlah. Yang jelas, karena kirab budaya sudah terwujud, banyak yang merancang berunding untuk meningkatkan kirab lebih baik lagi di tahun 2025. Heboh terompet Mbah Glongsor dilang, makamnya semakin banyak diziarahi,” jelas KRA Panembahan Didik.
Disebutkan, terwujudnya kirab yang jauh melebihi ekspektasi itu ada beberapa hal yang menjadi contohnya. Yaitu peserta dari Pakasa Cabang Kudus yang semula disiapkan 70-an orang, animonya meningkat sampai 124 orang. Dari kalangan warga yang terdiri dari berbagai elemen termasuk unit seni Barongan dan sepasang gunungan, semula diperkirakan 150-an akhirnya menjadi 170-an.
Hal lain yang melebihi harapan, adalah terwujudnya membeli 4 keris di antaranya “Kiai Bledheg” pamor “Carita Bungkem” dan satu tombak, dari angan-angan membeli satu keris atau terompet pengganti peninggalan Mbah Glongsor yang disabotase. Berikutnya, jumlah 70-an songsong bersusun koleksi yang bercirikhas dan ikonik Pakasa Kudus, kini sudah menjadi 150-an buah.
Kirab budaya yang digelar bersama mulai pukul 14.00 WIB kemarin, berakhir di tempat finish, kompleks makam Mbah Glongsor. Pada kesempatan itu, KRA Panembahan Didik memberi sambutan untuk menjelaskan banyak hal. Soal Budaya Jawa khususnya busana adat, dan posisinya terhadap ajaran agama yang berbeda tempat. Namun dia kesal, karena lupa membahas soal terompet.
Perihal terompet, selain ingin mengingatkan sekali lagi agar bisa dikembalikan, sedianya ingin dijelaskan panjang-lebar hubungannya dengan ketokohan Mbah Glongsor. Karena, terompet itu erat hubungannya dengan tokoh bernama KRT Prana Kusumadjati, “pembasmi” komplotan penjahat pimpinan “Kramaleya”, yang dikenal suka merampok persediaan beras rakyat dari rumah ke rumah.
KRT Prana Kusumadjati yang ternyata prajurit Kraton Mataram Islam antara Sinuhun PB I (1705-1719) dan Sinuhun Amangkurat Jawi (1719-1727) jumeneng nata di Ibu Kota Kartasura itu, memiliki nama besar karena beberapa kelebihannya. Selain pemilik besalen, dia juga dikenal sebagai tokoh “pembasmi” komplotan penjahat pimpinan “Kramaleya” yang mengaku disuruh Belanda.
Disebutkan KRA Panembahan Didik, komplotan “Kramaleya” yang “beroperasi” di tengah malam, dikawal beberapa tentara Belanda mengenakan busana adat, sambil membawa bungkusan panjang yang ternyata isinya bedil. Setiap beroperasi, Kramaleya mengajak 10-an anak budah, dan selalu menebar teror dengan suara khas hantu, agar warga desa yang dituju tidak berani keluar rumah.
Karena Mbah Glongsor ikut kesal karena pekerjaannya di besalen ikut terganggu, lalu bertindak. Dia hanya sendirian menjebak komplotan Kramaleya dan menghabisi satu-persatu di malam hari pula, agar tidak mengundang kepanikan penduduk. Selepas zamannya, Mbah Glongsor lebih dikenal sebagai peniup terompet di kala ada kematian pejabat dan prajurit kraton. (won-i1)