Surakarta Tetap Menjadi Korban Sisa-sisa ”Pusaran” Politik Awal Republik
iMNews.id – MENCERMATI insiden ”mirip operasi militer” yang terjadi pada 15 April 2017 di Keraton Surakarta Hadiningrat, seakan melukiskan insiden-insiden sejenis yang sangat sering terjadi di tahun-tahun awal republik ini berdiri. Dinamika sosial politik menjadi begitu mencuat tajam khususnya di Jawa, lebih khusus di Jateng, dan lebih khusus lagi di Surakarta atau Solo, yang sulit dipungkiri sebagai ekses dan akibat proses transisi dari alam monarki (Keraton Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran) ke alam republik (NKRI).
Dinamika perubahan sosial politik itu, secara umum disebut dalam buku ”Wanted, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan” yang ditulis Dr Julianto Ibrahim tahun 2004 (bukan 2001-Red), muncul sangat tajam khususnya di Surakarta sebagai pusat atau episentrumnya, mengingat kota ini adalah Ibu Kota Keraton Mataram yang sebelumnya punya sistem politik pemerintahan ala kerajaan sampai di tingkat kabupaten yang tersebar terutama di Jatim dan Jateng. Sebagai keraton terakhir paling besar di Jawa menjelang lahirnya NKRI, Kota Surakarta atau Kota Bengawan, menjadi menonjol di tahun-tahun awal republik berdiri, karena Ibu Kota RI dipindah Presiden Soekarno ke Jogja pada 4 Januari 1946.
Pindahnya Ibu Kota negara akibat gangguan keamanan dalam konflik antara tentara sekutu melawan NICA, meski dilakukan presiden dan seluruh kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Sutan Syahrir secara diam-diam, tetap saja didengar kelompok-kelompok oposisi seperti yang dipimpin Tan Malaka. Sejarah telah memberi keniscayaan, bahwa Jogja yang berlatarbelakang monarki dengan riwayat kurang sedap saat kelahirannya (1755), telah menjadi harum karena dipilih sebagai Ibu Kota kedua setelah Jakarta. Sedangkan Surakarta yang punya riwayat lebih tua tetapi berdinamika, harus jadi pilihan Tan Malaka sebagai basis pergerakan oposisi yang diikuti organisasi-organisasi lain yang ingin memperjuangkan (ideologi) pengaruhnya.
Dengan menyandingkan banyak naskah sejarah riwayat berdirinya kota dan kabupaten di Jateng dan Jatim serta buku yang ditulis sejarawan dari Lokantara Jogja, Dr Purwadi, dengan buku-buku karya pengajar di FIB UGM, Dr Julianto Ibrahim dan juga karya Dr Sri Juari Santosa (”Suara Nurani Keraton Surakarta”-FMIPA UGM), menjadi sangat jelas bagaimana ”Killing Field” atas segala bentuk aset karya peradaban Mataram berusaha dihancurkan. Terkesan terstruktur, masif dan sistemik, yang dimulai dengan diputus mata-rantai hubungan hirarki di daerah-daerah yang menjadi wilayah kedaulatannya, lalu berusaha dimusnakan dan ”secara kebetulan” Surakarta yang menjadi pusatnya peradaban Mataram, juga mendapat giliran paling sadis nasibnya seperti yang dialami kompleks Kepatihan.
Semua memang sudah berlalu, dan apa yang terjadi seakan dimaklumi sebagai keniscayaan, seperti nasib hampir semua jenis aset produk peradaban, baik yang ”tangable” maupun ”intangable”. Jejak atau tapak sejarah peradaban Mataram nyaris habis, setidaknya sudah terpenggal-penggal oleh dinamika sosial, politik (pemerintahan, kepartaian dan sebagainya), ekonomi ”kapitalistik”, budaya dan sebagainya, sehingga tampak sudah tidak tersambung atau tidak ada benang merahnya sama sekali.
Upaya Meniadakan Berlanjut
Meski begitu, spekulasi tetap saja masih ada atau bahkan berkembang, atas berbagai peristiwa yang menciptakan ”Killing Field” bagi aset-aset monumental yang seharusnya dilindungi sebagai bagian dari kawasan cagar budaya heritage dunia produk peradaban Mataram. Dan yang mencengangkan, diamika sosial politik sebagai ekses dan akibat proses transisi dari alam monarki ke alam republik (NKRI), ternyata tidak berhenti, walau NKRI sudah berumur 75 tahun lebih dan kini berada di alam digital milenial.
Kompleks Kepatihan dan kawasannya sudah habis di tahun 1949 dan sudah 90 persen lebih berubah wajah, bahkan sulit dikenali sebagai tapak peradaban Mataram, rupanya belum cukup. Dinamika sosial politik tetap saja terarah dan selalu diartikulasi untuk melanjutkan upaya meniadakan jejak sejarah peradaban masa lalu, karena dianggap masih sebagai ancaman, ”musuh” dan dianggap sudah tidak ada gunanya.
Bila menyimak nasib Kebon Raja atau Taman Sriwedari kini, mengingatkan pada nasib tragis kompleks Kepatihan yang sudah hancur jauh lebih dulu. Dan atas nama perubahan tata ruang kota dan kebutuhan mendesak ”janji kampanye”, proses perubahan simbol peradaban yang pernah menjadi ikon kuat di tengah-tengah Kota Bengawan itu, kini sedang dan hendak dituntaskan.
Setelah Taman Sriwedari kelak tuntas berubah dan sudah tidak bisa dikenali lagi punya ciri-ciri sebagai tapak peradaban, akan meranalah Museum Radya Pustaka yang didirikan atas seiizin Sinuhun PB XII di tahun 1950-an. Museum yang diresmikan Presiden Soekarno itu, dimaksudkan untuk menampung benda-benda budaya yang berhasil dikumpulkanan dari sisa-sisa kebakaran kompleks Kepatihan. Kini, posisi museum sudah tergradasi oleh peristiwa-peristiwa yang muncul di awal tahun 2000-an, yang membuat sebagian besar koleksinya diragukan keasliannya dan diduga hanya tiruan/duplikat.
Setelah Museum Radya Pustaka berada di posisi kurang bermakna dan kini juga terdengar sedang diincar untuk diambil-alih penguasa lokal, tampaknya akan sempurnalah sudah seluruh nama besar Taman Sriwedari yang sebelumnya dikenal dengan Kebon Raja, tumbang secara total, jadi korban pembantaian perilaku ”kapitalistik”. Karena, Segaran (telaga) bersama ”kupel limasan”nya tempat berwisata di masa Sinuhun PB X, sudah lebih dulu ”dihapus” makna filosofinya dan ”tenggelam”, begitu juga tempat hiburan wayang ”wong” atau wayang orang (WO) Sriwedari, pelan-pelan mati seperti sinyalemen Bambang Murtiyoso, eks dosen ISI Solo.
Untuk Apa UU BCB No 11/2010?
Jadi, kesimpulan dari terjadinya ”Killing Field” terhadap semua aset jejak peradaban Mataram khususnya di Surakarta, seakan menjadi hal berbeda dari ”Propaganda Politik” tentang ”ketahanan budaya”, pelestarian ”warisan budaya yang adi luhung” yang antara lain diwujudkan dalam UU BCB No 11 Tahun 2010. Dengan melihat wajah kawasan Keraton Mataram Surakarta dari ”tugu pemandengan” di utara, hingga gapura Gading di batas selatan yang sudah ”mrithili”, terpenggal-penggal dari satu-kesatuan simbol peradaban sekarang ini, lalu untuk apa UU BCB itu?.
”Lahirnya gaya atau gagrag baru di luar gaya Surakarta, baik di bidang seni pedalangan, tari, dan karawitan bersamaan dengan lahirnya PKJT, ASKI dan Konservatori, itu tidak sekadar bentuk pelestarian. Tetapi, itu awal dari semangat perlawanan untuk meruntuhkan babon gaya karya peradaban yang besar dan nyaris sempurna di pangkuan Mataram. Jadi, apa saja yang menjadi produk peradaban, semangatnya ingin dirusak. Kalau bisa, ya ditiadakan. Perilaku seperti itu, diwarisi sampai sekarang,” papar Dr Purwadi menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.
Kini, dalam potret tata ruang kota yang nyaris kehilangan potensi penting dari yang disebut sebagai ”Kota Heritage Dunia” itu, diserahkan kepada Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakosa sebagai pasangan Wali Kota dan Wakilnya yang terpilih pada Pilkada 2020. Di tangannya, segalanya bisa berubah, mengingat dia adalah anak Presiden Jokowi. Artinya, untuk menjadikan kota ini sebagai karya nyata yang akan dikenang publik secara luas dari generasi ke generasi, kesempatannya sangat terbuka luas, karena segala potensi yang ada tiap kementerian, bisa dialirkan ke Solo, ”full power”.
Baik Dr Purwadi maupun pemerhati budaya Jawa dan keraton dari sisi spiritual KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito juga memandang, kalau status (Provinsi) Daerah Istimewa Surakarta bisa benar-benar dikembalikan ke Surakarta, karya gemilang Provinsi DIS dengan pejabat Gubernurnya Gibran Rakabuming Raka akan menjadikan semuanya sama-sama besar dan mulia. Bahkan sentanadalem yang politisi Partai Golkar (Ketua DPD Surakarta) KPHA Poerbodiningrat menilai, yang akan mendapat manfaat dari kembalinya Provinsi DIS, nomer satu bukan keraton, tetapi segenap masyarakat di wilayah 6 kabupaten dan Kota Surakarta itu.
”Apalagi, Gusti Moeng sudah sejak awal menyatakan, seandainya status Provinsi DIS dikembalikan, jabatan Gubernur dan Wakilnya harus dipilih dari Pilkada. Para calonnya, ya dari seluruh potensi yang ada wilayah Surakarta. Saya sangat setuju gagasan itu. Dan melihat usia mas Gibran (Wali Kota), sangat besar peluangnya ke sana (calon Gubernur). Saya juga setuju, kalau tidak melupakan keraton. Bila perlu, dengan pakta integritas,” ujar KRT Hendri Rosyad, yang dihubungi iMNews.id terpisah, tadi malam. (Won Poerwono-habis)