Ada Tanda-tanda Kembalinya Daya Dukung Legitimasi dari Masyarakat yang Ikut Menyaksikan
IMNEWS.ID – PERSOALAN sesi pendataan ulang para petugas pembawa pusaka yang disuguhkan agak menyimpang dari supremasi etika dan estetika yang menjadi cirikhas ikonik budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta, Minggu malam (7/7) itu, insiden itu tentu perlu segera diatasi melalui mekanisme kelembagaan yang ada.
“Bebadan Kabinet 2004” perlu memberi peringatan keras bentuk pelanggaran itu, karena insiden itu bisa menurunkan kredibilitas dan kewibawaan Kraton Mataram Surakarta dengan segala elemen dan produknya, begitu pula Budaya Jawa. Masjid Pudyasana yang seharusnya menjadi simbol Mataram Islam di saat menyambut 1 Sura, juga harus mendapat perhatian khusus.
Kabar tentang ada pihak dari lembaga Sinuhun yang “melarang” para abdi-dalem “Kanca Kaji” shalat hajad di sana dalam rangka mendoakan jalannya kirab pusaka dan untuk keselamatan seluruh bangsa dan negara (NKRI), sungguh bertolak-belakang dengan penjelasan seorang “Pangeran” yang menjadi juru-bicara “pihak seberang” di sekitar Sinuhun.
Dalam penjelasannya di hadapan para awak media yang mewawancarainya mengenai kirab pusaka, “Pangeran” itu berujar bahwa kraton menyambut Tahu Baru Jawa tepat pada malam 1 Sura itu tidak hanya kirab pusaka. Melainkan juga shalat hajad di Pudyasana, donga kenduri wilujengan Wukud Dhukut di topengan Maligi dan sebagainya.
Tetapi, semua hal yang disebut itu kelihatannya lebih banyak teori dari pada perbuatan riil yang nyata seperti yang selalu diperlihatkan Gusti Moeng dan para pembantunya dan pendukung Bebadan Kabinet 2004. Larangan bagi sekitar 70-an abdi-dalem “Kanca-Kaji” untuk menjalankan shalat hajad di Masjid Pudyasana itu, jelas tidak sesuai dengan teori itu.
Karena dugaan ada yang menghalangi, akahirnya Gusti Moeng menyiapkan Pendapa Magangan sebagai tempat Shalat Hajad yang dipimpin KRA Madyo Hadinagoro, Minggu malam (7/7). Tidak hanya itu, selesai donga wilujengan dan shalawat Sultanagungan yang dipimpin MNg Irawan Pujodipuro, diteruskan “pihak seberang” untuk mendoakan figur tertentu yang sedang berultah.
Beberapa insiden kecil yang masih menghiasai pelaksanaan upacara adat kirab pusaka di malam 1 Sura tahun 2024 ini, terkesan masih menandakan bahwa dalam skala besar proses perdamaian yang ditandai dengan peristiwa damai 3 Januari 2023 itu sangat sulit bisa terwujud dari atas ke bawah dan ke samping, selain antara pribadi Gusti Moeng dan Sinuhun.
Meskipun, proses perdamaian itu sudah mencairkan hubungan antara pribadi-pribadi lain di “dua seberang” untuk keperluan-keperluan tertentu, misalnya pelaksanaan upacara adat. Tetapi, pribadi-pribadi itu bukan tokoh kunci, sehingga kurang terasa pengaruhnya terhadap wujud riil perkembangannya bagi seluruh insan dalam kelembagaan Kraton Mataram Surakarta.
Namun, sekecil apapun sisi positif perkembangan itu sudah terjadi dan bisa dilihat citra visualnya. Misalnya tampilnya KPP Haryo Sinawung Waluyoputro, KPP Danurwendo, KPP Wijoyo Adiningrat dan beberapa sentana-dalem lain yang terlibat dalam tugas dan kewajiban “ngampil” pusaka, sesuai eksistensinya sebagai trah darah-dalem dari para leluhur Mataram Surakarta.
Sisi positif dalam perkembangan proses perdamaian, sangat mungkin bisa terwujud dari hasil “perjuangan” berdiplomasi yang rasional dan berdasar, bukan hasil pemberian cuma-cuma dari “pihak seberang”. Karena, banyak figur di situ yang hidupnya tergantung dari bantuan pemerintah dan “sumbangan” berbagai pihak, tentu tidak mau kehilangan “proyek” dan “objek”.
Selain hasil diplomasi, tampilnya warga dan pengurus Pakasa cabang serta anggota elemen Sanggar Pasinaon Pambiwara dengan Pasipamartanya, merupakan buah dari sikap antisipasi “Bebadan Kabinet 2004”. Karena celah kesempatan pelaksanaan berbagai upacara adat termasuk kirab pusaka, tidak mungkin diserahkan dengan sukarela dan penuh kesadaran kepada Bebadan Kabinet.
Langkah antisipasi itu, tentu lahir dari pengalaman pada kirab pusaka tahun 2023 lalu yang diwarnai insiden perbuatan yang tidak bermartabat. Karena, “pihak seberang” yang sudah bersepakat dengan “Bebadan Kabinet 2004” untuk mengeluarkan 13 pusaka, ternyata yang dikeluarkan hanya 7 pusaka, sehingga sempat membuat para pengurus Pakasa cabang “bingung”.
Sejumlah pengurus Pakasa cabang yang mengajak rombongan warganya masing-masing sampai jumlah 50-an orang, ketika sudah siap untuk “mbuntar” dan “nyumbul” pusaka, tetapi dibuat “melongo” di dekat plakat bertuliskan Pusaka 8 sampai 13 yang ditata berjejer di depan Bangsal Marcukunda. Bila tidak ada “akal-akalan”, plakat itu dibawa masing-masing Pakasa cabang.
Minggu malam (7/7) itu, siasat akal-akalan yang bernuansa “sabotase” sebenarnya masih saja terjadi, karena dari 15 songsong yang semula diumumkan, ternyata hanya 12 songsong untuk memayungi 12 pusaka. Siasat ini kecil pengaruhnya, karena tidak sampai menimbulkan pembatalan, mengingat para pengurus Pakasa cabang sudah “mengantisipasi” dengan baik.
Berbagai insiden yang terjadi di dalam persiapan pelepasan prosesi kirab pusaka, memang sulit dibaca publik di luar kraton, atau bagi yang sudah berada di dalam sekalipun jika tidak memahami persoalan mendasarnya. Yang bisa dibaca mungkin ketika Gusti Moeng terpaksa turun tangan mengatur dan mengawasi setiap barisan pembawa pusaka, agar “firm”.
Yang terjadi di luar ruang privasi kedhaton, walau tidak memahami berbagai persoalan yang terjadi di dalam, tetapi lebih mencerminkan trend perkembangan positif. Yaitu, antusias masyarakat pengunjung yang cukup penuh di halaman Kamandungan, meski tidak sepadat dan berdesak-desak seperti pemandangan kirab pusaka pada 10-15 tahun silam.
Trend perkembangan positif berupa meningkatnya jumlah pengunjung dibanding tahun 2023 atau sebelumnya itu, masih perlu dikaji dan didalami lagi untuk mengetahui siapa mereka, dari mana saja asalnya dan apa motivasinya menyaksikan kirab pusaka itu?. Sebab, secara umum ada hal-hal yang membedakan antara pengunjung 15 tahun lalu dengan Minggu malam itu.
Hal yang membedakan dari para pengunjung itu, adalah dari perilaku dan gayanya yang mewakili generasi milenial yang usianya 40 tahun ke bawah yang mendominasi. Mereka itu rata-rata lahir mulai tahun 1980-an, yang selalu siap dengan HP di tangannya untuk berselfie dan mengabadikan apa saja yang menurutnya menarik direkam di lokasi kirab pusaka.
Jauh berbeda dengan generasi orangtua atau kakek-neneknya yang selalu rajin berkunjung pada hampir semua upacara adat yang digelar kraton, minimal kirab pusaka 1 Sura dan Sekaten Garebeg Mulud. Mereka ini, adalah generasi yang setia dan masih punya keasadaran tentang budaya Jawa, yang selalu ingin hadir untuk “ngalab berkah”.
Sedangkan para pengunjung kirab pusaka, Minggu malam (7/7) itu, meskipun termasuk banyak atau meningkat dari tahun lalu, tetapi bukan tipe masyarakat yang ingin “ngalab berkah”. Tetapi sekadar ingin tahu, mencari hiburan, memanfaatkan waktu liburan kalangan siswa sekolah, sekaligus bisa berselfie dan bisa merekam video objek apa saja yang disukai dengan hpnya.
Tetapi, fenomena “ngalab berkah” tidak benar-benar hilang atau mati, ketika iMNews.id mendapati para pengunjung yang kebanyakan usia muda, sedang berebut janur dan penjor yang menghias topengan Kori Kamandungan, Minggu (7/7) malam itu.
Bahkan, terdengar ada ungkapan di antara pengunjung yang menanyakan apakah bisa mendapatkan “telethong”.
“Telethong” adalah tinja dari kawanan mahesa keturunan Kiai Slamet, yang malam itu dikeluarkan enam ekor untuk menjadi “cucuk lampah” kirab pusaka. Saat satwa jinak pusaka kraton itu disiapkan di halaman Kamandungan, dalam satu jam lebih menunggu pasti buang air kecil dan besar di situ, karena disiapkan santapan makan kesukaannya yaitu ketela rambat.
Begitu kirab diberangkatkan dan semua pengiring kirab sudah berlalu, bekas tempat enam ekor Kiai Slamet itu menunggu sudah bersih tetapi basah, karena habis disiram air dari beberapa ember besar yang disediakan, baik untuk minum dan menyentor sisa-sisa limbah. Besar kemungkinan, tinja yang dibuang di situ, juga “dibersihkan” oleh yang “ngalab berkah”.
Bila dugaan itu benar, berarti masyarakat pengunjung kategori yang “ngalab berkah” itu masih ada atau kembali muncul generasi baru. “Telethong” satwa mahesa pusaka kraton, diyakini bisa menjadi pupuk berbagai tanaman yang sangat baik dan menyuburkan. Sikap spiritual masyarakat Jawa di desa-desa, ternyata masih ada dan memang seharusnya terus ada selamanya.
Bila analisis dan kemungkinan-kemungkinan itu benar dan terwujud, berarti kirab pusaka menyambut Tahun Baru Jawa/Hijriyah di malam 1 Sura/Muharam, masih punya makna dan manfaat bagi masyarakat luas, khususnya bagi publik peradaban Jawa yang ingin tetap melestarikan sebagai “sutrena”, bahkan ingin menjaga kelangsungan kraton sebagai sumber budaya Jawa.
Berikutnya, kirab pusaka malam 1 Sura itu bisa diartikan akan tetap bermakna bagi khususnya masyarakat Jawa sepanjang masa. Karena, masyarakat yang “ngalab berkah” itu akan muncul silih berganti generasi dan selalu hadir pada setiap upacara adat digelar kraton, setidaknya ritual kirab pusaka yang banyak memberi edukasi tentang spititual kebatinan.
Selain daya dukung legitimasi dari masyarakat pengunjung terutama para “pengalab berkah”, kirab pusaka malam 1 Sura di alam republik pada abad milenial ini, ternyata masih bisa menghasilkan daya dukung pelaksana upacara adatnya. Yaitu tampilnya elemen Pakasa cabang, Sanggar Pambiwara dan Pasipamartnya, yang sudah menjawab kebutuhan kekurangan SDMnya. (Won Poerwono-bersambung/i1).