Makna 1 Sura Tahun Baru 1958 Je Bagi Peradaban Mataram Surakarta di Alam Republik (seri 3 – habis)

  • Post author:
  • Post published:July 11, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:11 mins read
You are currently viewing Makna 1 Sura Tahun Baru 1958 Je Bagi Peradaban Mataram Surakarta di Alam Republik (seri 3 – habis)
PADA POSISINYA : Walau zaman berganti dan berubah menjadi apapun, keberadaan kawanan mahesa bula pusaka kraton keturunan Kiai Slamet tetap pada posisinya sebagai satwa piaraan yang dilindungi dan dikeramatkan. Bahkan selalu menjadi "cucuk lampah" di barisan paling depan dalam kirab pusaka di malam 1 Sura. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sudah Teruji dan “Survive” Ratusan Tahun, Dan Akan Terus Dibutuhkan Sepanjang Zaman

IMNEWS.ID – DENGAN mencermati peristiwa kirab menyambut Tahun Baru Jawa/Hijriyah di malam 1 Sura dari tahun ke tahun, dari zaman ke zaman dalam rentang waktu yang sangat panjang sekitar 500-an tahun, sudah menjelaskan bahwa peristiwa itu punya makna dan akan tetap bermakna bagi kehidupan sampai kapanpun selama dunia ini masih ada.

Rentang waktu 500-an tahun setidaknya dari zaman Kraton Demak (abad 15), zaman Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma (abad 17) dan mulai zaman Mataram Surakarta (abad 18) seperti yang digambarkan para pemerhati budaya dan peneliti sejarah, sudah membuktikan bahwa peristiwa budaya itu sudah teruji “survive” oleh berbagai situasi dan kondisi yang terus berubah.

Walau masih belum bisa digelar lagi sejak peristiwa lahirnya NKRI atau masuknya Kraton Mataram Surakarta sebagai bagian dari republik ini karena ada berbagai “ontran-ontran” sosial dan politik hingga tahun 1950-an, tetapi Sinuhun PB XII masih bisa meneruskan tradisi upacara adat peninggalan leluhur kirab pusaka menyambut pergantian Tahun Jawa/Hijriyah itu.

“Selama Sinuhun PB XI (1939-1945), upacara adat kirab pusaka tidak ada karena memang terpaksa ditiadakan. Karena, pada masa penjajahan Jepang, Kraton Mataram Surakarta tidak diizinkan menggelar upacara adat yang cirinya mengumpulkan banyak orang dengan memperlihatkan berbagai jenis senjata tajam, khususnya keris dan tombak”.

“Larangan itu sangat masuk akal, karena Jepang tidak memahami makna upacara adat kirab pusaka. Yang dipahami, kalau ada penduduk asli berkumpul dalam jumlah yang banyak dan membawa senjata, dianggap akan memberontak atau melawan pemerintah (penjajah). Jadi, selama beliau jumeneng nata, kirab pusaka tidak ada. Di era Sinuhun PB XII, juga baru-baru saja ada”.

“Karena ada berbagai peristiwa setelah 17 Agustus 1945, kirab pusaka di malam 1 Sura belum bisa diadakan kembali di kraton. Baru setelah peristiwa G30S/PKI pemerintah mengizinkan upacara adat itu diadakan kembali. Karena, kirab pusaka itu memang doa panyuwunan kita untuk keselamatan seluruh bangsa dan negara, termasuk kraton,” ujar KP Budayaningrat.

“TERPAKSA” BERJAGA : Gusti Moeng “terpaksa” berjaga di belakang pintu Kori Kamandungan untuk mengatur laju keluarnya barisan pembawa pusaka, karena 35 sentana yang ada sudah habis terbagi dalam posisi tugas pengelolaan ritual kirab pusaka menyambut Tahun Baru Jawa/Hijriyah, Minggu (7/7) itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pemerhati budaya Jawa yang juga dwija (guru) pada Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta itu juga menjelaskan, bahwa doa panyuwunan yang diekspresikan dengan kirab pusaka yang digelar kraton, untuk kepentingan yang lebih besar. Tidak hanya “nyuwun kawilujengan” untuk kraton dan seisinya, para kawula, negara dan bangsa NKRI.

Tetapi juga kawilujengan para pemimpin yang ada di kraton, bangsa dan NKRI. Bahkan kawilujengan dunia semesta ini dan para pemimpinnya. Dalam pandangannya, walau simbol kraton yang disempurnakan Sinuhun PB X (1893-1939) dalam Sri Radya Laksana hanya melukiskan Pulau Jawa, tetapi keberadaan kraton diupayakan bisa memberi energi positif bagi dunia.

Artinya, ekspresi kirab pusaka yang digelar tiap malam 1 Sura untuk menyambut pergantian Tahun Jawa sekaligus Tahun Hijriyah itu, adalah ekspresi spiritual kebatinan dan religi yang sudah terakulturasikan dalam Budaya Jawa yang Islami. Tetapi tujuan besar dan utamanya, adalah untuk keselamatan dunia seisinya, termasuk NKRI, kraton serta para pemimpinnya.

“Oleh sebab, seharusnya kirab pusaka yang sampai sekarang ini masih bisa berjalan ini, sebaiknya mulai melengkapi dengan persyaratan juga. Yaitu, begitu keluar dari kraton, ada ekspresi doa yang dilakukan di 10 titik lokasi di sepanjang rute kirab itu. Ini perlu diedukasi, minimal terhadap petugas yang dilibatkan,” lanjut KP Budayaningrat.

Persyaratan doa di 10 titik lokasi yang dimaksud, terdapat di sepanjang rute kirab yaitu dari halaman Kamandungan, Jalan Supit-Urang Kulon, memasuki Alun-alun Lor, perempatan Gladag, pertigaan Kantor Telkom, ujung Benteng Vastenberg, jalan Kapten Mulyadi hingga perempatan Baturono, Perempatan Gemblegan, Perempatan Nonongan, Gladag dan kembali masuk kraton.

Penjelasan KP Budayaningrat itu semakin memperkaya pengetahuan tentang upacara adat kirab pusaka, atau setidaknya menjadi petunjuk adanya data informasi baru yang selama ini tidak pernah diketahui publik secara luas. Dan ketika dianalisis lebih lanjut, akan semakin menambah daya tarik untuk banyak hal yang bermanfaat bagi banyak orang.

PALING MUDA : KPP Haryo Sinawung Waluyoputro trah darah-dalem Sinuhun PB IX ini menjadi sentana-dalem yang paling muda di antara kerabat sentana yang aktif dalam kerja-kerja adat di kraton hingga kini. Termasuk, penampilannya dalam kirab pusaka menyambut Tahun Baru Jawa/Hijriyah, Minggu malam (7/7) lalu. (foto : iMNews.id/Dok)

Setidaknya, bagi dunia pendidikan karena kekayaan data informasi yang bisa melukiskan sebuah peristiwa peradaban sejarah, akan memberi data informasi yang lengkap guna keperluan penelitian ilmiah. Selain itu, kelengkapan sebuah peristiwa sejarah yaitu upacara adat kirab pusaka, akan semakin menambah daya tarik wisata yang tentu punya aspek manfaat besar.

Namun di sisi lain, terjaganya kelangsungan upacara adat kirab pusaka khas ikonik milik Kraton Mataram Surakarta itu, dalam penampilan yang selama ini digelar rutin tiap tahun setidaknya selama 4-5 dekade terakhir, sudah sangat menarik. Karena, kirab pusaka ini sangat berbeda dengan yang digelar beberapa masyarakat adat sejenis lain daerah.

Dibanding kirab pusaka yang digelar Kadipaten Mangkunegaran saja, sudah sangat jauh berbeda karena yang digelar Kraton Mataram Surakarta jauh lebih banyak jumlah pusakanya, lebih jauh rutenya, punya ikon mahesa bule keturunan Kiai Slamet dan mengikuti kalender sendiri peninggalan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma yang selama ini dijaga dengan baik.

Kirab pusaka yang digelar Kadipaten Mangkunegaran, rata-rata hanya mengeluarkan tujuh pusaka yang didominasi peninggalan KGPAA Mangkunagara I atau Pangeran Sambernyawa dan yang menjadi andalan adalah rompi Raden Mas Said. Kadipaten Mangkunegaran tentu bukan kraton yang batas spiritual kawasannya hanya sekitar 1,5 KM, karena tidak punya alun-alun.

Meski bukan kraton, Kadipaten Mangkunegaran yang identik dengan “Praja” dilengkapi pasukan kavaleri, baru di alam republik mengenal kirab pusaka ketika ada permintaan dari pemerintah beberapa saat seusai G30S/PK. Kirab dilaksanakan mengikuti kalender libur 1 Muharam yang ditentukan pemerintah (NKRI), hanya berlangsung 2 jam dari pukul 19.00 WIB.

Kirab pusaka di Kadipaten Mangkunegaran menjadi menarik setelah ada tatacara “berebut” air kembang setaman “bekas jamasan” yang ditampung di sejumlah wadah oleh masyarakat pengunjung. Kirab yang berakhir sekitar pukul 21.00 WIB, terkesan menjadi “pemanasan” untuk menyaksikan kirab pusaka di Kraton Mataram Surakarta baru dimulai pukul 00.00 WIB.

MENDAPAT KESEMPATAN : Setelah menunggu lebih dari 7 tahun, KPP Wijoyo Adiningrat baru mendapat kesempatan ikut “ngampil” (memikul) pusaka pada kirab menyambut Tahun Baru Jawa/Hijriyah, Minggu malam (7/7) lalu. Dia adalah sentana-dalem setia yang ikut menjadi “korban” insiden April 2017. (foto : iMNews.id/Won Poerwono).

Dibanding kirab pusaka yang digelar Kraton Jogja-pun, juga sangat jauh berbeda. Terutama dari sisi kelengkapan upacaranya, yaitu keberadaan kawanan mahesa bule Kiai Slamet yang menjadi “cucuk lampah” kirab. Oleh sebab itu, daya tariknyapun menjadi berbeda, dan jumlah kunjungan masyarakat yang ikut memeriahkannyapun juga berbeda.

Tak hanya beberapa kelengkapan upacara adatnya yang berbeda, tetapi ada perbedaan mendasar antara Kraton mataram Surakarta dengan tiga lembaga keturunan Dinasti Mataram yang sering disebut Catur Sagatra. Yaitu posisi Kraton Mataram Surakarta yang merupakan penerus Mataram Islam, sebagai kelanjutan kraton-kraton di Jawa yang ada sebelumnya.

Karena, Kraton Mataram Surakarta, juga merawat dengan baik berbagai benda budaya bersejarah yang sudah menjadi pusaka dari Kraton Mataram Kartasura, dari Sultan Agung, dari Panembahan Senapati sebagai pendiri Mataram, dari para Raja Kraton Pajang, dari para Raja Kraton Demak dan dari kraton-kraton sebelumnya yaitu Majapahit, Kediri dan sebagainya.

Hal yang berbeda mendasar berikutnya, adalah kepemilikan pusaka berupa kawanan mahesa bule keturunan Kiai Slamet. Karena “pusaka” itu tidak dimiliki tiga masyarakat adat lain keturunan Dinasti Mataram, apalagi kraton-kraton lain yang kini masih ada, termasuk yang ada di Cirebon (Jabar). Pusaka “hidup” inilah yang menjadikan kraton semakin unik.

Pusaka “hidup” mahesa bule keturunan Kiai Slamet, kini jumlahnya lebih dari 20 ekor yang terpelihara dalam kadar cukup di dua titik lokasi, yaitu di kawasan Alun-alun Kidul dan sebagian di kediaman warga di kawasan Pengging, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali. Saat Sinuhun PB II hendak memindahkan Ibu Kota Kraton Mataram, jumlahnya hanya 2 ekor.

“Betul. dari catatan yang saya peroleh, jumlah mahesa Kiai Slamet itu saat diaturkan kepada Sinuhun PB II sebagai pisungsung, jumlahnya hanya sepasang. Mahesa itu, melengkapi pusaka keris yang bernama Kiai Slamet. Informasi itu yang saya dapat dari eyang-eyang saya. Pusak dan mahesa itu, adalah pisungsung Bupati Surabrata,” ujar KRRA MN Gendut.

MENJADI KEKUATAN : Deretan abdi-dalem ulama khususnya abdi-dalem “Kanca-Kaji” yang khusus mendukung doa di saat-saat khusus seperti upacara adat kirab pusaka, Minggu malam (7/7) lalu, kini sudah hampir mencukupi sebagai kekuatan spiritual religi Kraton Mataram Surakarta sebagai penerus kraton Islam. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Bupati Surabrata yang disebut KRRA MN Gendut Wreksodiningrat selaku Ketua Pakasa Cabang Ponorogo itu, adalah pejabat Bupati Ponorogo pada zaman Sinuhun PB II sejak masih jumeneng nata di Kraton Mataram Kartasura. Keris dan mahesa bule itu menjadi “pusaka” andalan yang disertakan dalam “boyong kedhaton” pindahan dari Ibu Kota Kartasura ke Ibu Kota Surakarta.

Di Kraton Mataram yang berIbu Kota di Surakarta Hadiningrat inilah, setiap menyambut Tahun Baru Jawa, kirab pusaka disertai mahesa bule Kiai Slamet. Seterusnya, hingga Kraton mataram Surakarta berusia 200 tahun (1745-1945), selama itulah kirab pusaka di malam 1 Sura dijalankan nyaris rutin dan nyaris utuh tiap tahun hingga di alam republik ini.

Dalam rentang 500-an tahun, kirab pusaka diadakan sebagai ekspresi spiritual kebatinan dan religi orang Jawa. Begitu pula masih terus berjalan di alam republik yang berusia 79 tahun ini. Mengapa masih bisa bertahan?, pasti dan tentu memberi banyak manfaat bagi kehidupan. Oleh sebab itu, kirab pusaka ini pasti akan terus ada karena dibutuhkan sepanjang zaman. (Won Poerwono-habis/i1).