Makna 1 Sura Tahun Baru 1958 Je Bagi Peradaban Mataram Surakarta di Alam Republik ( seri 1 – Won Poerwono)

  • Post author:
  • Post published:July 9, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:11 mins read
You are currently viewing Makna 1 Sura Tahun Baru 1958 Je Bagi Peradaban Mataram Surakarta di Alam Republik ( seri 1 – Won Poerwono)
HENDAK DIBERANGKATKAN : Kawanan mahesa pusaka keturunan Kiai Slamet disiapkan di dekat Kori Brajanala Lor atau halaman Kamandungan, menjelang diberangkatkan menjadi "cucuk lampah" kirab pusaka menyambut Tahun Baru Jawa/Hijriyah pada malam 1 Sura/Muharam yang tepat, Minggu malam (7/7) lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kehilangan Daya Dukung Pada Masa Transisi, Menandai Fenomena “Nut Jaman Kelakone”

IMNEWS.ID – PERISTIWA upacara adat kirab pusaka menyambut pergantian Tahun Jawa dari 1957 Jumawal ke Tahun 1958 Je dimulai 1 Sura atau 1 Muharam Tahun 1446 Hijriyah (H), Minggu malam (7/7) atau Senin (8/7) dini hari, sangat kaya makna. Salah satunya adalah munculnya momentum perubahan dengan beberapa sinyal atau simbol yang menghiasi ritual di Kraton Mataram Surakarta itu.

Sinyal dan simbol perubahan dalam momentum peristiwa ritual kirab pusaka yang khas dan ikonik Kraton Mataram Surakarta itu, salah satunya terletak pada tampilnya peran para pengurus Pakasa cabang yang datang dari berbagai daerah di Jateng, Jatim dan DIY. Mereka mengerahkan segenap “kekuatannya”, untuk mendukung salah satu kegiatan adat yang menjadi tugas dan kewajibannya.

Dari satu sisi bidang “pelibatan” potensi daya dukung legitimatif itu saja, sudah menjadi satu makna yang cukup menonjol dalam peristiwa kirab pusaka. Dan pemandangan tampilnya para pengurus Pakasa cabang bersama warganya yang dikerahkan, tentu akan memaknai proses perubahan yang sedang dimulai di kraton, sebagai keniscayaan fenomena “Nut jaman kelakone”.

Minggu Kliwon (7/7) atau Senin Legi dini hari (8/7) mulai pukul 12.00 WIB yang dalam hitungan Jawa sudah berganti hari malam itu, seakan menegaskan sinyalemen-sinyalemen yang sering diungkapkan Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA) di berbagai kesempatan/pertemuan sebelumnya. Ungkapan yang sering terucap tandas itu, melukiskan ada sebuah “keterpaksaan”.

“Keterpaksaan” yang dimaksud, konotasinya lebih tertuju pada situasi dan kondisi riil di internal keluarga besar Kraton Mataram Surakarta. Bahwa sejak tahun 2004 sudah terjadi “pecah kekerabatan” di antara 35 putra/putri-dalem Sinuhun PB XII. Friksi yang terus terulang dalam beberapa periode, terakhir 2017 hingga kini, juga membelah daya dukung masyarakat adatnya.

Karena sebagian besar putra/putri-dalem dan keluarga besarnya, termasuk para sentana yang bersimpati, tetap “pada pendiriannya” memilih berada “di seberang” atau “berseberangan” dengan “Bebadan Kabinet 2004”, maka langsung atau tidak langsung, Kraton Mataram Surakarta berjalan dengan potensi “daya dukung inti” yang sudah dan semakin banyak berkurang.

SIAP BERTUGAS : Beberapa ketua Pakasa cabang, seperti KRA Bambang S Adiningrat (Pakasa Cabang Jepara) dan KRT Suyono Sastroredjo (Pakasa Cabang Ngawi), bersiap di dekat Pendapa Sasana Sewaka untuk menerima tugas “ngampil, mbuntar dan nyumbul” pusaka pada kirab menyambut Tahun Baru Jawa/Hijriyah, Minggu malam (7/7) lalu.(foto : iMNews.id/Dok)

Sinyalemen Gusti Moeng tentang semakin berkurangnya daya dukung para putra/putri-dalem, para wayah-dalem dan para sentana-dalem itu, seakan terjawab pada kesibukan persiapan kirab pusaka di tahun 2004 ini. Dari inventarisasi para “paraga” yang bertugas “ngampil, “mbutar” dan “nyumbul” pusaka, hanya tersedia sekitar 35 sentana-dalem yang siap menjalankan tugas.

Sementara, dari jumlah itu harus dikurangi untuk tugas-tugas persiapan upacaranya, termasuk tugas pengaturan, inventarisasi semua yang sowan, tugas penyiapan pergantian urutan tatacara dan sebagainya. Sangat wajar butuh petugas “leader” di setiap sektor dan bagian sampai 100-an orang, kalau upacara adat seperti itu kedatangan lebih seribuan orang dari berbagai daerah.

Maka, ketika sentana-dalem KPP Haryo Sinawung Waluyoputro menyebut “Bebadan Kabinet 2004” hanya bisa mengumpulkan 35 sentana-dalem termasuk sentana garap, bisa dibayangkan betapa repot dan sibuknya semua sentana yang bertugas malam itu. Apalagi, di antara 35 sentana-dalem itu ada sejumlah figur yang harus bertugas untuk “ngampil, mbuntar dan nyumbul” pusaka.

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, agaknya tepat kalau meminjam istilahkan dari pemeo almarhum pelawak Srimulat, Fredy Aris alias “Gepeng” bernuansa “ndagel”, yang berbunyi “Untung ada saya” dan bisa diganti dengan “Untung ada Pakasa”. Pada peristiwa kirab pusaka Minggu malam itu, Gusti Moeng mendapat jawaban atas kegelisahannya karena kekurangan daya dukung.

Pakasa cabang dan juga paguyuban lulusan Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta (Pasipamarta) yang dihimpun melalui proses seleksi lebih baik, terutama unsur penguasaan soal adat dan budaya (Jawa) dibanding organisasi “tandingan” sejenis, menjadi sumber penyedia SDM andalan untuk kebutuhan yang “krusial” seperti ritual kirab pusaka, malam itu.

Bukan hanya bisa memenuhi kebutuhan petugas “ngampil, mbuntar dan nyumbul” pusaka, petugas “ngayab” atau mengiring pusaka yang jumlahnya bisa lebih dari 100 orangpun untuk satu pusaka, bisa dipenuhi dari Pasipamarta dan Pakasa cabang. Potensi SDM dari dua elemen inilah, yang malam itu benar-benar memulai mengemban tugas dan kewajiban “meneruskan perjalanan kraton”.

PAKASA KUDUS : Rombongan Pakasa Cabang Kudus yang akan ikut “ngampil, mbuntar dan nyumbul” pusaka sempat berfoto bersama ketuanya, KRA Panembahan Didik Gilingwesi di dekat menara Panggung Sangga Buwana sebelum memasuki barisan kirab pusaka yang digelar kraton menyambut Tahun Baru Jawa/Hijriyah, Minggu malam (7/7) lalu.(foto : iMNews.id/Dok).

Sebagai ilustrasi, jumlah para sentana-dalem dan sentana garap yang Minggu (7/7) malam itu hanya terkumpul 35 orang, bukan berarti tinggal sejumlah itu yang ada. Melainkan, banyak figur sentana yang masih setia dengan “Bebadan Kabinet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng, tetapi sudah tidak bisa beraktivitas karena faktor usia, selebihnya sudah meninggal dan “pasif”.

Yang “pasif” itu bisa dilatarbelakangi oleh berbagai alasan, di antaranya karena bersimpati dengan “pihak seberang” atau benar-benar “abstain” alias tidak ke seberang manapun. Potensi ketersediaan sentana-dalem yang sangat jauh dari kebutuhan itu, juga akibat sejumlah wayah-dalem dari saudara dekat “seperjuangan” Gusti Moeng, juga lebih memilih benar-benar pasif.

Para wayah-dalem yang tergabung dalam Paguyuban Sawo Kecik yang dipimpin GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani, sebenarnya bisa menjadi wadah pengkaderan untuk melahirkan para sentana-dalem yang lebih baik dalam segala hal dari kalangan generasi orang-tuanya, atau generasi Sinuhun Suyo Partono. Tetapi tampaknya, wadah itu hanya sekadar wadah, isinya terberai entah ke mana.

Tak hanya terberai oleh berbagai sebab dan alasan, yang ada sekarangpun terkesan tidak siap menjalankan tugas-tugas adat, contohnya sangat kelihatan pada peristiwa kirab pusaka, Minggu malam itu. Karena ketika berlangsung absensi para petugas “ngampil, “mbutar” dan “nyumbul” pusaka, tugas memanggil nama peraganya diambil-alih seorang wanita yang niatnya “membantu”.

Tetapi yang terdengar, tugas memanggil nama-nama figur yang dikumandangan lewat sound system itu, tidak berfungsi baik dari sesuai etika dan estetika seorang juru pambuwara khas ikon Kraton Mataram Surakarta. Tetapi malam terkesan kurnag menghargai dan mengecewakan, ketika gelar “RT” disebut begitu saja adanya, bukan diucapkan lengkap “Raden Tumenggung”.

Tidak hanya itu, kekecewaan dan suasana hati yang sedih mungkin dirasakan banyak kerabat yang malam itu mendengar ada suara wanita yang “membantu” tugas KP Budayaningrat dan KP Siswanto Adiningrat. Karena, bahasa pengantar yang digunakan untuk memanggil nama-nama petugas pembawa pusaka, selain disisipi bahasa Indonesia, juga bergaya logat bahasa prokem Jakarta.

MENUNGGU DIPANGGIL : KRA Bambang S Adiningrat (Ketua pakasa Cabang Jepara), KRT Suyono Sastroredjo (Ketua Harian Pakasa Ngawi) dan dua utusan Pakasa cabang lain, sedang menunggu namanya dipanggil untuk bersiap “ngampil, mbuntar dan nyumbul” pusaka, pada kirab yang digelar kraton menyambut Tahun Baru Jawa/Hijriyah, Minggu malam (7/7) lalu. (foto : iMNews.id/Dok)

“Saya dan Kanjeng Sis (KP Siswanto Adiningrat-Red) memilih menyikir saja, dari pada malu dilihat orang begitu banyak di sana. Saya juga lebih baik diam dan menyingkir. Karena, mendengarnya saja jadi malu sendiri. Ini di Kraton Mataram Surakarta, yang sedang memulihkan wibawanya, agar kembali menjadi pusat dan sumbernya budaya Jawa serta panutan masyarakat luas”.

Ungkapan KP Budayaningrat yang menandakan kekesalan dan kekecewaannya saat ditemui iMNews.id di Bangsal Smarakata saat kirab pusaka mulai keluar, malam itu, sangatlah wajar dan sangat beralasan. Mengingat, selain keduanya yang diberi tugas wewenang untuk mengatur persiapan para petugas, tentu disertai kepercaan Bebadan Kabinet 2004 bahwa keduanya memang ahli di bidangnya.

KP Budayaningrat adalah “dwija” (guru) Sanggar Pasinaon Pambiwara yang juga Ketua MGMP Bahasa Jawa SMA se-Jateng, yang sering menjadi narasumber dan tempat bertanya soal berbagai hal menyangkut budaya Jawa. Sementara KP Siswanto Adiningrat adalah Wakil Pengageng Sasana Wilapa “lulusan” sanggar, yang sering ditugaskan menjadi juru-pambiwara setiap ada kegiatan di kraton.

Suara wanita yang tak asing lagi sebagai anggota Paguyuban Sawo Kecik itu, juga bagian dari beberapa gelintir wayah-dalem yang selalu mencari kesan “tampak aktif” dalam kerja-kerja adat yang dianggap sesuai seleranya. Misalnya kirab pusaka dan tingalan jumenengan, yang dalam 2-3 dekade terakhir dijadikan “panggung” untuk ajang “kontes” berbagai keperluan.

Dari beberapa tokoh wanita wayah-dalem Sinuhun PB XII yang belakangan ini sering tampil di acara-acara khusus yang dianggap banyak “menguntungkan”, itu hanya sebagian kecil dari jumlah seluruh wayang-dalem Sinuhun PB XII yang totalnya di atas 50 orang. Kini mereka semua sudah dewasa, rata-rata usianya di atas 25 tahun, bahkan lebih 40 tahun untuk GKR Timoer Rumbai.

Tetapi, dari lebih 50 wayah-dalem itu, hanya belasan yang semula sering muncul ketika “Bebadan Kabinet 2004” banyak kegiatan terutama upacara adat. Lebih separonya memilih mengikuti kehendak orangtua masing-masing yang berada di “seberang” lain, atau tidak di seberang manapun. Belakangan dari belasan itu tinggal beberapa orang, seperti yang tampak pada Minggu malam (7/7).

JUGA HADIR : Sebagai cabang baru, Pakasa Bumi Wengker Pacitan yang diketuai KRAT Heru Arif Pianto juga hadir bersama rombongan pada pisowanan kirab pusaka yang digelar kraton menyambut Tahun Baru Jawa/Hijriyah, Minggu malam (7/7) lalu. (foto : iMNews.id/Dok)

Selain barisan “Trio Macan”, pada ritual kirab pusaka malam itu hanya tampak KRMH Suryo Manikmoyo yang mengawal “KGPH Mangkubumi” dalam tugas kirab di barisan paling depan. Sementara KPH Bimo Djoyo Adilogo dan KRMH Suryo Kusumo Wibowo, mendapat tugas mengatur lajur barisan kirab di lapangan. Total, hanya empat wayah-dalem yang “tampil” selain tiga wanita.

Dengan peta potensi ketersediaan SDM sentana-dalem dan putra/putri-dalem serta generasi “sentana sepuh” sebanyak itu, tentu bisa dibayangkan intensitas kerja yang dilakukan, misalnya dalam ritual kirab pusaka seperti Minggu malam (7/7). Dengan melihat itu pula, bisa dibayangkan bagimana setiap upacara adat bisa berjalan lancar? dan bagaimana kelangsungan kraton?

Oleh sebab itu, “Untung ada pakasa”, terlebih lagi “Untung ada Pasipamarta”, bahkan “Untung ada Sanggar Pambiwara” telah menjadi keniscayaan. Itulah jawaban atas dua pertanyaan di atas. Bahkan, jawaban atas pertanyaan penting dan mendasar, yaitu bagaimana pelestarian budaya Jawa yang bersumber dari kraton bisa dilakukan, seandainya tiga elemen itu tidak ada?. (Won Poerwono-bersambung/i1).