Eksplorasi Literasi Dokumen Manuskrip, Sumber Transfer Knowldge
IMNEWS.ID – UPACARA adat “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung yang berlangsung di Pendapa Sitinggil Lor Kraton Mataram Surakarta, hanya berlangsung sekitar 60 menit setelah prosesi arak-arakan yang membawa kepala kerbau dan segala macam uba-rampenya tiba dan ditata di atas meja panjang. Sambil menunggu seleesainya para abdidalem menata semua yang diperlukan untuk kenduri “Wilujengan nagari”, GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua LDA sekaligus Pengageng Sasana Wilapa sebagai penanggungjawab ritual itu segera memberi dhawuh ujub (tugas) kepada abdidalem jurusuranata MNg Irawan Wijaya Projodipuro untuk memimpin “wilujengan nagari” secara Islam.
Pisowanan di Pendapa Sitinggil Lor untuk meneruskan rangkaian “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung, dimulai sekitar pukul 09.00 WIB, Kamis Wage pagi, 24 November atau 29 Rabiulakir Tahun Ehe 1956 itu, dan berakhir sekitar 60 menit kemudian. Bubaran dari Pendapa Sitinggil, barisan prosesi yang membawa segala macam uba-rampe ritual itu kembali disusun dan berjalan menuju tempat parkir berbagai jenis angkutan. Hampir semua peserta upacara bergegas menuju dua bus besar dan sejumlah mobil yang disiapkan, termasuk beberapa bregada prajurit korp musik drumb band yang habis memandu barisan dari Pendapa Sitinggil.
Menempuh perjalan sekitar 20 KM dalam waktu sekitar 30 menit, konvoi bus dan mobil pengangkut peserta upacara adat Sesaji Mahesa Lawung tiba di depan Bali Desa Krendowahono, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Barisan kembali disusun sesuai urutan yang sudah dibentuk pada prosesi di Pendapa Sitinggil, dengan bregada abdidalem prajurit berada di depan memandu. Para abdidalem yang membawa uba-rampe upacara mengikuti di belakangnya, baru diikuti Gusti Moeng beserta kerabat dan para pamong bebabadan serta jajarannya kembali berjalan kaki menuju punden berundak tempat upacara di tengah Alas (hutan lindung) Krendhawahana.
Pukul 11.00 WIB lebih beberapa menit, upacara terakhir atau puncak dari rangkaian ritual “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung dimulai dan Ketua LDA/Pengageng Sasana Wilapa yang akrab disapa Gusti Moeng kembali memberi dhawuh ujub doa kepada MNg Irawan Wijaya Projodipuro untuk memimpin doa yang sebagian kalimat lafalnya bercirikan agama Budha, dan selebihnya doa dalam budaya Jawa yang mengadaptasi dari agama Islam. Doa untuk ritual Sesaji Mahesa Lawung sebagai “pembaharuan” dari nama Sesaji Raja Wedha itu berlangsung singkat, dan digenapi pembacaan riwayat singkat asal-mula ritual itu oleh KP Puspitodiningrat lalu ditutup sambutan tunggal Gusti Moeng, seluruh rangkaian upacara berakhir pukul 12.00 WIB lebih beberapa menit.
“Wontenipun upacara adat wilujengan nagari Sesaji Mahesa Lawung menika, mujudaken bilih Kraton Mataram Surakarta nerasaken Mataram Islam ingkang kedah ngayomi simbol-simbol sadaya agami ingkang wonten ing tanah Jawi, wekdal menika. Inggih namung upacara adat menika ingkang ketingal sanget simbol-simbol agami Budha, tatacara ndedonga wonteni ing budaya Jawi ingkang dipun ayomi tata cara donga miturt agami Islam. Dados, Kraton Mataram Surakarta nyawijekaken antawisipun, Islam, Jawi lan Budha,” tandas Gusti Moeng menyebut sebagian sambutan tunggalnya dalam bahasa Jawa krama madya dan krama inggil di ritual itu, yang kemudian juga disinggung dalam wawancara dengan para awak media yang meliput upacara adat itu, Kamis siang itu (iMNews.id, 24/11/2022).
Salah satu sisi esensi upacara adat Sesaji Mahesa Lawung yang dipresentasikan Gusti Moeng itu, sangat jelas dalam menempatkan Kraton Mataram Surakarta yang sejak Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma dengan tegas menyatakan sebagai Kraton Mataram Islam yang mengayomi agama dan keyakinan apa saja yang berkembang di wilayah kedaulatannya, terutama yang ada dalam budaya Jawa. Karena, posisinya sebagai payung bagi semuanya terutama minoritas, itu sangat sesuai dengan ajaran Islam yang “rahmatan lil ‘alamin” yang dipegang teguh dan dilestarikan hingga sekarang, yang salah satunya tercermin dalam ritual Sesaji Mahesa Lawung, Garebeg Mulud Sekaten dan sebagainya.
Tentang upacara adat “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung itu sendiri, menurut riwayat singkat yang diambil dari catatan abdidalem pengulu Kraton Mataram Surakarta bernama KRT H Handipaningrat yang dibacakan KP Puspitodiningrat siang itu, sumber tatacara upacara adat ini tertulis dalam Serat Pustaka Raja, Serat Wita Radya yang dijelaskan dalam Serat Pangenget-enget (Pengingat). Dari sumber-sumber manuskrip yang aslinya tersimpan di Sasana Pustaka Kraton Mataram Surakarta dan beberapa tempat lain misalnya Museum Radya Pustaka, tatacara adat “wilujengan nagari” itu sudah dilakukan sejak zaman dulu (Kraton Kalinga-abad 8) dengan nama Rajawedha.
Raja dan para kerabat raja atau Nata Binathara di tanah Jawa (Nuswa Jawi), menjalankan upacara adat “Rajawedha” dengan maksud untuk menjalankan sodaqohnya setiap datang awal tahun, agar “wilujengan” yang diadakan itu mendatangkan kemuliaan, keselamatan dan bertambahnya kesejahteraan negara seisinya. Oleh sebab itu, tata cara upacara adat ini lalu disebut dengan nama “Wilujengan Rajawedha” atau “Sesaji Rajawedha” yang diangkat pula menjadi lakon dalam seni pakeliran “Ringgit Wacucal Purwa” dengan nama “Sesaji Raja Suya”, sebagai simbol bersatunya “Seribu Raja atau Negara”.
Serat Pustaka Raja dan Wita Radya yang menyebut kisah Prabu Sitawaka di “nagari” (Kraton) Gilingaya yang meminta tokoh spiritual Brahmana Radhi dari Ngandhong Dhadhapan untuk menggelar upacara wilujengan nagari yang juga dilaksanakan sampai ke tingkat desa yang mirip dengan ritual “Bersih Desa”. Kisah menggelar sesaji yang dilengkapi dengan kisah Prabu Aji Pamasa dari Kraton Pengging, juga bersumber dari Serat Aji Pamasa yang pernah ditulis Pujangga Jawa Mataram, RNg Ranggawarsita. Menurut buku “Sejarah Budaya Kabupaten Klaten” yang ditulis Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat-Jogja) tahun 2020, pujanggadalem Sinuhun PB IV (1788-1820) itu juga menulis Serat Pustaka Raja dan Serat Wita Radya dan banyak lagi karya-karya sastra yang dihasilkan.
Dalam hal proses transfer knowledge dan edukasi, apa yang dilakukan KP Puspitodiningrat dan beberapa tokoh penerus di bidang eksplorasi literasi dokumen manuskrip berisi nilai-nilai kebajikan dan kebijakan, termasuk KP Siswantodiningrat, karena didorong semangat melestarikan budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta, untuk meneruskan “perjuangan: LP Winarno Kusumo (alm). Karena almarhum juga meneladani KRT H Handipaningrat, yang jelas meneruskan pengabdian para leluhur Mataram di bidangnya, seperti yang dilakukan Pujangga Jawa Mataram Surakarta RNg Ranggawarsita. (Won Poerwono-bersambung/i1).