Konser Musik Karawitan di Kraton = Konser Catatan Perjalanan Para Leluhur Dinasti Mataram (seri 3 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:May 18, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:9 mins read
You are currently viewing Konser Musik Karawitan di Kraton = Konser Catatan Perjalanan Para Leluhur Dinasti Mataram (seri 3 – bersambung)
LAGU KEBANGSAAN : Format pertunjukan "Konser Karawitan" Weton Selasa Legi yang digelar "Bebadan Kabinet 2004" di Bangsal Smarakata, Senin (14/5), ketika menyanyikan lagu kebangsaan "Indonesia Raya", sebelum gendhing karya Mataram Surakarta disajikan dengan caranya yang khas. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Lagu Kebangsaan “Tujuh Belas Agustus” Juga Jenis Lagu yang Menyimpan Data Sejarah

IMNEWS.ID – : KONSER orkestra musik karawitan bisa disebut “Bukan Konser Musik Biasa” (iMNews.id, 17/5), ini bukan pernyataan “bombastis sensasional” yang berlatar-belakang “superioristik” eksklusif yang bisa disamakan dengan stigma negatif “politik identitas”. Karena, esensi materi, aktivitas dan tujuannya dalam kerangka “edukasi keindahan”.

Sangat jauh berbeda dengan sikap “superiotistik ekslusif” yang berada dalam stigma politik identitas, esensi materinya memang benar-benar negatif adanya, menjadi konten aktivitas baik bahkan “jahat” dan untuk tujuan negatif yang bisa dikategorikan jahat. Budaya Jawa khas Mataram Surakarta, jauh dari label dan stigma itu, karena isinya supremasi estetika.

Oleh sebab itu, karya musik karawitan baik secara mandiri maupun ketika menyatu sebagai iringan karya “gendhing” (lagu), sangat tidak bisa disamakan, apalagi disejajarkan dengan lagu karya zaman-zaman setelah Mataram Surakarta. Terlebih lagu karya zaman yang “kurang mengenal” supremasi estetika, apalagi etika, karena lebih mengandalkan supremasi “matematis”.

Pada tulisan seri sebelumnya, lagu atau “gendhing” kategori “Dhandhanggula” dari rumpun tembang “Macapat” yang diambil dari dokumen manuskrip “Serat Pindhah Kedhaton”, kontennya “berbicara” tentang pindahnya Ibu Kota Kraton Mataram Islam dari Plered (Amangkurat Agung), dan pindahnya Ibu Kota dari Kartasura ke Kartasura Surakarta Hadiningrat (Sinuhun PB II).

Lagu tanpa iringan atau “akapela” itu, mirip jenis-jenis lagu yang diciptakan untuk mengenang atau menandai proses dan kelahiran NKRI yang masuk rumpun lagu-lagu kebangsaan. Rumpun lagu ini, bisa mandiri tanpa iringan musik atau lebih kuat membangun suasana dan semangat bila disertai musik, semisal lagu “Indonesia Raya”, “Tujuh Belas Agustus” dan sebagainya.

Walau Kraton Mataram (Islam) sejak didirikan Panembahan Senapati disebut “negara” monarki, apalagi Mataram Surakarta yang jelas berbasis “bangsa Jawa”, tetapi sepanjang perjalanannya tidak tercipta secara khusus “lagu kebangsaan”. Berbeda beberapa negara monarki lain di dunia, atau negara-negara yang lahir setelah perang dunia (PD) II, semisal NKRI.

MENGGELAR “KEKAYAAN” : Konser Karawitan Weton Selasa Legi yang digelar “Bebadan Kabinet 2004” di Bangsal Smarakata, Senin (14/5), adalah kesempatan menggelar “kekayaan” seni budaya yang lebih bernilai bagi peradaban luas, dari sekadar lagu dan musik ciptaan untuk kepentingan industri. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Walau bukan kategori atau tidak disebut sebagai “lagu kebangsaan”, gendhing “Dhandhanggula” yang melukiskan kepindahan kraton dan kelahiran “negara” Mataram Surakarta, bisa dinyanyikan dengan atau tanpa instrumen iringan musik. Mungkin, eranya belum sampai ke level “ego geo-politik” seperti itu. Bila diperlukan, iringan musiknya lebih ke arah ilustratif.

Oleh karenanya, semua karya lagu atau “gendhing” yang melukiskan peristiwa apa saja, bisa diiringi instrumen musik. Baik karena, iringan karawitannya memang sudah menjadi satu-kesatuan yang terstruktur, atau hanya sebagai ilustrasi sepertu semua tembang “Macapat”, dari “Mijil” sampai “Wirangrong”. Yang jelas, semua karya gendhing itu, bukan “Lagu Kebangsaan”.

Ketika menyebut lagu-lagu kebangsaan inilah, mungkin ada kesejajaraan atau kesetaraan dengan lagu-lagu atau karya gendhing pada zaman “negara monarki” Mataram Surakarta. Letaknya, ada pada fungsi dan manfaatnya sebagai tempat menyimpan data peristiwa sejarah, yang bisa mengarah pada peran para tokoh penting dalam peristiwa yang disebut dalam lirik lagunya.

Namun, ketika dibandingkan dengan karya-karya lagu kebangsaan itu, karya lagu atau “gendhing” punya keunggulan lain yang terletak pada esensinya sebagai karya seni vokal dan karya musik. Karena pada esensi ini, karya gendhing memiliki fungsi dan manfaat sebagai materi intertain edukatif yang tinggi, karena bisa dinikmati sampai level penghayatan unsur-unsurnya.

Ketika karya lagu atau “gendhing” sudah bisa dinikmati sampai level penghayatan unsur-unsur “content-nya”, maka karya itu tidak hanya sekadar hiburan dan membangun semangat, tetapi juga bisa membentuk opini, karakter, sikap, perilaku dan cara berpikir. Tetapi, dalam kadar yang paling rendah, mendengarkan tembang macapat, bisa menurunkan tensi dan ketegangan.

Dari perbandingan di atas, bisa dipilahkan antara karya-karya lagu atau “gendhing”, karya lagu-lagu kebangsaan dan karya lagu produk industri kesenian atau budaya. Antara ketiganya menjadi jelas fungsi dan manfaat masing-masing. Yang jelas, karya lagu atau gendhing, diciptakan bukan untuk tujuan komersial, walau praktiknya ikut jadi korban industri musik.

BUTUH PENGHAYATAN : Masyarakat bangsa ini, sudah terlalu jauh dipisahkan dari karya-karya leluhur peradabannya yang lebih bernilai dan bermanfaat. Butuh proses apresiasi dan penghayatan yang baik bagi generasi masa kini untuk memahami Konser Karawitan Weton Selasa Legi yang digelar “Bebadan Kabinet 2004” di Bangsal Smarakata, Senin (14/5). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ketika menyimak perbandingan antara ketiganya, juga menjadi jelas bahwa karya lagu atau gendhing posisinya menjadi tidak berada di wilayah lagu-lagu kebangsaan dan juga tidak berada di wilayah karya lagu yang diciptakan untuk industri musik.
Karena di luar dua wilayah itu, posisi karya lagu atau gendhing kurang mendapat apresiasi setimpal di ruang publik.

Perlakuan yang tidak apresiatif itu, bisa berupa selalu dijadikan objek “pembajakan” oleh sebagian masyarakat modern yang mengetahui perilaku/keuntungan industri musik. Anehnya, di saat bersamaan mereka yang menjadi bagian besar masyarakat modern justru menganggap karya gendhing sebagai karya seni yang sudah ketinggalan zaman karena “sulit dipahami”.

Dalam posisi semacam itu, hampir semua karya peradaban masa lalu terutama produk budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta, termasuk karya lagu atau gendhing, batik itu, menghadapi tantangan yang semakin besar sejak kesenian dan kebudayaan dimasukkan dalam industri yang punya ciri liberal kapitalis itu.

Tetapi, nasibnya masih lebih baik batik yang sempat menjadi “polemik” hebat dan panjang di era republik yang akhirnya terselamatkan oleh pengakuan Unesco sebagai karya heritage asli Indonesia. Di satu sisi ada nilai positif karena lolos dari “klaim” atau pengakuan bangsa lain, tetapi sisi negatifnya, semua motif batik dianggap sama perlakuannya.

Mungkin karena proses produksi “gendhing” harus melalui penghayatan yang luar biasa, dari sisi waktu, kematangan sikap batin, intelektualitas dan sebagainya, nasibnya tidak “separah” batik dalam hal bentuk apresiasi yang diterimanya. Karena, perlakuan buruk yang diterimanya hanya sebatas “pemaksaan” beberapa instrumennya agar mendapatkan “titik ideal tertentu”.

“Pemaksaan” untuk mendapatkan “titik ideal tertentu” itu, dimaksudkan untuk mewakili beberapa instrumen untuk dipindahkan ke satu instrumen saja, yaitu “keyboard”, dan mungkin juga termasuk melodi gitar. Dan pencapaian dari kerja “pemaksaan” agar karya-karya lagu atau “gendhing” kekinian bisa mendatangkan keuntungan materi itu, adalah “musik campursari”.

TIDAK BUTUH : Untuk “memahami” pertunjukan musik dangdut campursari yang digarap “koplo” seperti ini, tidak dibutuhkan proses apresiasi dan penghayatan. Karena, karya lagu-lagunya tak lebih dari hanya sekadar hiburan untuk “lewat sesaat” karena nyaris tak bernilai apapun. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pencapaian pada sukses menciptakan jenis musik yang pernah disebut “keroncong dangdut” (congdut), keroncong campursari, langgam campursari dan berbagai istilahnya, karena ada unsur suara instrumen gamelan masuk, mungkin bisa dianggap “prestasi” bagi kalangan “industri musik”. Bahkan, prestasi itu diartikan juga sangat menguntungkan secara materi.

Tetapi, itu bukan prestasi. Dan tidak bisa disebut prestasi bagi masyarakat adat, atau peradaban yang lebih luas, yang masih sadar dan bisa membedakan antara karya gendhing dan karya musik karawitan produk budaya Jawa, yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta. Walaupun, memang ada karya gendhing kekinian yang ikut sukses ketika masuk industri seni.

Mungkin hanya karya lagu kekinian semisal, “Caping Gunung” (Gesang), “Numpak Prahu Layar” (Ki Nartosabdo), karya Manthous dan Didik Kempot (alm), apalagi lagu-lagu yang diiringi musik “koplo” belakangan ini, bisa disebut prestasi. Tetapi, karya-karya itu tak lebih hanya sekadar hiburan sesaat, karena nyaris tak punya manfaat dan makna “edukatif ideal. (Won Poerwono-bersambung/i1).