Tari “Bedaya Duradasih”, Diciptakan Sinuhun PB IV Saat Hatinya Sedang Berbunga-bunga

  • Post author:
  • Post published:May 3, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:10 mins read
You are currently viewing Tari “Bedaya Duradasih”, Diciptakan Sinuhun PB IV Saat Hatinya Sedang Berbunga-bunga
SUASANA SUKACITA : Suasana sukacita menjadi simbol dan ciri sajian tari Bedaya Duradasih dari Kraton Mataram Surakarta pada event peringatan Hari Tari Dunia (HTD) yang diinisiasi ISI Surakarta dan digelar di Pendapa kampus Kentingan, Jebres, Sabtu malam 29 April. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Diciptakan “Sang Apekik” Saat Masih Bergelar Pangeran Adipati Anom

IMNEWS.ID – SEORANG seniman autodidak yang sejak lahir sudah memiliki cara berekspresi dengan citarasa seni tinggi dan terus berproses ke arah berkembang lebih baik meningkat kemampuannya, biasanya memiliki daya imajinasi yang tinggi pula ketika hendak melahirkan atau sedang berproses melahirkan karyanya. Bagaimana jadinya seandainya yang memiliki kemampuan autodidak berkesenian itu adalah seorang raja yang notabene pemimpin “negara” Mataram Surakarta dan punya gelar Sinuhun Paku Buwana IV (1788-1820) itu?.

“Sinuhun PB IV itu seorang seniman. Beliau memiliki hubungan yang baik dengan sanggar-sanggar seni wayang wong dan kesenian tradisional lain yang diinisiasi kemunculannya di berbagai daerah. Karya-karyanya sangat banyak dalam berbagai ragam. Mulai dari karya sastra Serat Wulangreh, wayang gedhog, karya tari dan sebagainya. Pemahaman spiritual religinya luar biasa. Serat Wulangreh, menjadi karya yang sangat bermanfaat karena memudahkan syi’ar Islam di kalangan masyarakat Jawa,” sebut Dr Purwadi, peneliti sejarah dari Lokantara Pusat (Jogja), beberapa waktu lalu.

BERBUNGA-BUNGA : Suasana hati “berbunga-bunga” menjadi simbol dan sinyal kuat dari sajian tari Bedaya Duradasih dari Kraton Mataram Surakarta, yang diinisiasi Pengageng Sasana Wilapa untuk memeriahkan peringatan HTD yang dipusatkan di kompleks Kampus ISI Kentingan, Jebres, Sabtu malam (29/4). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Penjelasan Dr Purwadi kepada iMNews.id yang menyebutkan tentang kekaryaan dan reputasi Sinuhun PB IV di bidang seni budaya, juga dikuatkan dengan penegasan kandidat doktor di FIB UGM, Rudy Wiratama yang juga seorang peneliti sejarah wayang yang ditemui iMNews.id di tempat dan waktu terpisah. Oleh sebab itu, “sempurnalah” sudah ketika menyebut sajian tari Bedaya Duradasih adalah karya Sinuhun PB IV yang luar biasa, karena repertoar tari itu diciptakan ketika masih berstatus Pangeran Adipati Anom atau calon Sinuhun PB IV sebelum dinobatkan sebagai “Raja” di Mataram Surakarta.

“Saat masih bergelar Pangeran Adipati Anom (calon raja), sudah punya karya wayang Kiai (K) Pramukanya Anom, (K) Mangu dan wayang (K) Kanyut. Setelah jumeneng nata sebagai Sinuhun PB IV, yasa (memproduksi-Red) wayang Kanjeng Kiai (KK) Jimat, Kiai Kadung dan wayang Gedhog KK Jayeng Katong. Beliau juga punya reputasi, sedikitnya sudah 100 kali mendalang. Beliau juga punya karya tari,” sebut Ki Rudy Wiratama, abdi-dalem anggota tim teknis “ngesis wayang” yang dipimpin Ki KRT Dr Bambang Suwarno selaku koordinator yang setia suwita di kraton sejak sebelum 2017.

PENGALAMAN PENTAS: Para penari yang diturunkan Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa) untuk mementaskan tari Bedaya Duradasih di ajang peringatan HTD yang dipusatkan di kompleks Kampus ISI Kentingan, Jebres, Sabtu malam (29/4), adalah penari senior bahkan “veteran” yang sudah banyak pengalaman pentas di berbagai tempat. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sinuhun PB IV memang seniman yang luar biasa, ketika menciptakan repertoar tari Bedaya Duradasih saat masih bergerlar Pangeran Adipati Anom. Karena, dari yang tampak secara citra visual karya tari itu, “Sang Apekik” mengekspresikan sukacitanya atau hatinya yang sedang “berbunga-bunga”, karena akhirnya bisa mendapatkan seorang pendamping hidupnya yang sudah didambakan sejak lama. Rasa sukacita dan riang-gembira karena bisa mewujudkan sesuatu yang dicita-citakan, semua hampir terlukis dalam sajian tari rumpun “bedayan” yang aslinya berdurasi 60-an menit.

“Ya, seperti seorang yang sedang jatuh-cinta, kemudian bisa terwujud mendapatkan seorang wanita yang didambakan menjadi istrinya. Kira-kira, sukacita dan riang-gembiranya seperti itu. Kalau sekarang sering disebut, hatinya sedang berbunga-bunga. Itu manusiawi sekali. Tetapi, melihat karya beliau tari Bedaya Duradasih ini, sosok wanita Madura yang didambakannya, dilukiskan lebih dari sekadar wanita pendamping hidup. Melainkan menempatkan wanita itu (RA Handayawati) sebagai wanita yang mulia. Karena beliau menyebutnya dengan kata-kata ‘…wong agung….”.

DI HABITATNYA : Sajian tari Bedaya Duradasih saat dipersembahkan Pengageng Sasana Wilapa di lingkungan “habitatnya”, ruang gedhong Sasana Handrawina Kraton Mataram, dalam sebuah acara menjamu tamu kehormatan di kraton, sebelum 2017. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Melihat bagaimana calon Sinuhun PB IV itu begitu memuliakan RA Handayawati dengan kata-kata ‘…bagaimana saya bisa mengabdikan kepada wong agung dan wong adi…’, bisa disimak cakepan atau lirik kalimat gending karawitan iringan tari Bedaya Duradasih itu. Ekspresi sukacita beliau itu biasanya terjadi pada si calon istri yang akan mendapat suami seorang raja. Tetapi ini terbalik. Dan oleh sebab itu, tampak sekali kesan bagaimana beliau memuliakan calon permaisurinya,” jelas Gusti Moeng, saat ditanya iMNews.id soal pesan yang ada di balik tari Bedaya Duradasih, kemarin.

Bila mencermati penjelasan Ketua Yayasan Pawiyatan Kabudayan yang juga instruktur pada Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton Mataram Surakarta itu, sejak masih menyandang gelar Pangeran Adipati Anom hingga jumeneng nata sebagai Sinuhun PB IV, tokoh raja ini bukan sekadar seniman. “Sang Apekik” adalah budayawan yang benar-benar ingin mewujudkan nilai-nilai ajaran religius ketuhanan yang pernah ia pelajari dan nilai-nilai humanistik yang sudah menyatu dalam sikap batin dan perilaku berkesenian.

BEDAYA SUKAHARJA : Pada peringatan HTD di Pendapa Kampus ISI Kentingan, Jebres, tahun lalu, Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa) mengeluarkan koleksi Kraton Mataram Surakarta tari Bedaya Sukaharja (Sukoharjo). Sebuah repertoar tari yang pernah disusun “Sang Maestro Tari” itu bersama tim yang dipimpinnya di tahun 1990-an. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Nilai-nilai humanistik yang terlukis dalam ungkapan memuliakan gender wanita, bukan hanya sebagai calon pendampingi hidup, istri atau bahkan “kanca wingking”, melainkan sebagai sosok mulia seperti terlukis dalam ungkapan “wong agung” atau “wong adi”. Bunyi lirik kalimat gending karawitan iringan tari itu jelas lebih dari sekadar kesetaraan gender. Sebagai bagian keluarga Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari (Ponogoro) yang sangat paham “kawruh dan “ngelmu” kehidupan, Sinuhun PB IV benar-benar mempraktikkan ajaran dan pelajaran kehidupan itu di dalam kehidupan nyata, melalui kesenian.

“Gending iringannya terkesan ‘regu’, ‘agung’ dan meditatif’. Hampir semua gending karya pada masa Sinuhun PB IV, bisa dipastikan kental makna meditatifnya. Estetika Sultan Agung seperti yang ada dalam Serat Satra Gendhing, benar-benar dijaga dan dipatuhi Sinuhun PB IV. Dan, tari Bedaya Duradasih yang disajikan lengkap satu paket dengan tatacara adatnya itu, karena Gusti Moeng hendak memperlihatkan bahwa semua itu menjadi perilaku budaya kehidupan nyata di kraton dalam keseharian. Bukan hanya saat dipentaskan di luar kraton,” sebut Dr Joko Daryanto di tempat terpisah.

DARAH MADURA : Sinuhun PB V “mendokumentasikan” kisah “perjodohan” antara pendahulunya yaitu Sinuhun PB IV dengan putri Adipati Pamekasan (Madura) Tjakra Adiningrat yang bernama RA Handayawati dalam sebuah repertoar tari “Srimpi Ludira Madu” (darah Madura-Red), seperti yang dipentaskan di Pendapa Sitinggil Lor, sebelum 2017. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ilmuwan dari FKIP UNS yang suwita sebagai abdi-dalem karawitan Kantor Pengageng Mandra Budaya di kraton mulai awal tahun 2000-an itu, banyak memberikan informasi tentang hal-hal detil di balik hampir semua karya tari, karawitan bahkan pedalangan dari kraton. Anggota abdi-dalem karawitan pimpinan KPH Raditya Lintang Sasangka ini, mengaku sudah beberapa kali ikut mengiringi pementasan tari Bedaya Duradasih, baik di kraton maupun di luar kraton, termasuk saat mengikuti misi seni-budaya kraton ke luar negeri, jauh sebelum 2017.

Memperhatikan penjelasan Gusti Moeng dan Dr Joko Daryanto itu, memberikan penekanan mengenai dua hal yang menonjol dalam pentas tari Bedaya Duradasih di ajang peringatan “Hari Tari Dunia” (HTD) yang dipusatkan di Kampus ISI Kentingan, Jebres, Sabtu malam (29/4). Hal pertama adalah ekseklusivitas karena makna konten karya Sinuhun PB IV itu, dan yang kedua adalah pesan yang disampaikan Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa bahwa Kraton Mataram Surakarta masih hidup dan menjalankan kehidupan budayanya secara nyata dalam keseharian.

BEDAYA SUKAMULYA : “Sang Maestro Tari” dari Kraton Mataram Surakarta itu, juga pernah mementaskan tati “Bedaya Sukamulya” yang pernah disusunnya, di Pendapa Cepuri Parangkusuma, Bantul, DIY sebagai pengantar ritual labuhan, beberapa waktu lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Message” atau pesan itu disampaikan melalui sepaket pertunjukan seni tari Bedaya Duradasih. Dalam menyajikan repertoar tari itu, di belakang panggung di Pendapa Kampus ISI itu, Gusti Moeng merangkai barisan kirab yang membawa semua uba-rampa yang diperlukan untuk aktivitas berkesenian itu. Termasuk uba-rampa caos dhahar, sesaji ketan biru, sikap ‘kurmat” ricikan dan sebagainya. Karena, ‘kagunan beksan, karawitan, wayang’ di kraton berkaitan dengan budaya hidup,” tandas peneliti gamelan iringan tari dan berbagai upacara adat di kraton itu.

Ekseklusivitas tari Bedaya Duradasih sebagai karya totalitas Sinuhun PB IV dalam memaknai “tujuan dan manfaat” hidup, memang sangat patut dipahami untuk diteladani dan diwujudkan walau zaman sudah sangat maju dan modern. Terutama oleh para tokoh generasi penerus, khususnya di lingkungan Mataram Surakarta saja. Agar para tokoh generasi penerusnya tidak ikut larut dalam suasana kehidupan materialistik, liberalistik dan gampang menyesatkan warga peradaban. Seperti “ajakan sesat” seorang putra-dalem yang sering diungkapkan sering melalui profesinya sebagai dalang. (Won Poerwono-i1)