Ritual Ringan, Tepat Menjadi Proses Pembelajaran dan “Pembekalan” Generasi “Wayah-Dalem”
IMNEWS.ID – DI antara sejumlah upacara adat yang hingga kini masih dijalankan dengan baik di Kraton Mataram Surakarta, terutama oleh jajaran “Bebadan Kabinet 2004”, ritual “ngisis ringgit” yang digelar tiap “Anggara Kasih” atau Selasa Kliwon itu menjadi “ritual favorit” sebagai sumber banyak pengetahuan, sekaligus mudah dan strategis untuk dipelajari.
“Ngisis ringgit” menjadi ritual “favorit”, karena memiliki durasi waktu panjang prosesi upacaranya, yaitu sekitar 3 jam jika melihat praktik praktik pelaksanaan yang rutin dilakukan mulai pukul 10.00 WIB hingga ukul 12.00 WIB. Walau bergiliran yang dikeluarkan dari 18 kotak koleksi kraton, tetapi tiap “weton” Anggara Kasih pasti ada yang “diisis”.
Tak hanya durasi waktu untuk melihat, mengenal dan mencermati prosesi “menjereng” setiap anak wayang dalam 3 jam itu, ritual itu pasti melibatkan belasan abdi-dalem yang berlatarbelakang profesi atau mahasiswa jurusan pedalangan. Sebagian besar di antaranya abdi-dalem Keparak Mandra Budaya bersama para pengagengnya, termasuk petugas “tindhih”-nya.
Dalam durasi waktu 3 jam sejak kotak wayang pusaka dibuka di “gedhong” Sasana Handrawina hingga anak wayang dikeluarkan satu-persatu, dibersihkan satu demi satu, lalu disampirkan di seutas tambang berbalut mori putih yang terbentang di empat “saka guru” Sasana Handrawina, merupakan waktu yang panjang bisa dimanfaatkan untuk mencermatinya.
Tetapi, kesempatan seperti ini bukan untuk khalayak umum, melainkan hanya kalangan terbatas yang bertugas dan mengasuh ritual “ngisis ringgit” itu. Tetapi, kesempatan ini bisa dimanfaatkan sebagai saat yang baik dan tepat bagi kalangan generasi muda “wayah-dalem” Sinuhun PB XII, sebagai kalangan internal yang nota-bene masih “keponakan” Gusti Moeng.
Kesempatan “ngisis ringgit” menjadi cara dan metode yang tepat bagi kalangan generasi muda kraton itu serius mengenal, mencermati dan memahami ikhwal ritual yang fungsinya untuk memelihara koleksi kekayaan sejarah dan budaya Kraton Mataram Surakarta, yang tidak ternilai harganya itu. Prosesi itu dilakukan agar kekayaan itu bisa awet, berumur semakin panjang.
Gusti Moeng atau GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Pangarsa Lembaga Dewan Adat (LDA), memang sosok tokoh pemimpin yang tidak memiliki kapasitas sebagai “Sinuhun”, tetapi sudah berpengalaman dan “tahan banting” serta teruji dalam berbagai situasi sebagai pemimpin jajaran “Bebadan Kabinet 2004” Kraton Mataram Surakarta.
Sebab itu, kekuatan dan keteguhan sikapnya sebagai ciri-ciri seorang pemimpin memang tak pernah memperlihatkan ekspresi mengeluh atau berkeluh-kesah tentang beban tugas, pekerjaan dan kewajibannya. Tetapi, sangat manusiawi apabila pada kesempatan-kesempatan yang terbatas, sering terlontar rasa kesal ketika memikirkan nasib kraton ke depan.
Dalam beberapa kali percakapan dengan iMNews.id di sela-sela ritual “Ngisis Ringgit”, atau saat memberi sambutan di acara internal yang digelar di dalam kraton, Gusti Moeng sering melempar sinyal-sinyal rasa kesalnya. Kekesalan itu, tentu tertuju pada kalangan generasi muda keponakannya, yang hingga kini dianggap sangat “pasif” terhadap “tugasnya”.
“Saya sampai tidak mudeng (memahami-Red), kerepe (maksud) ponakan-ponakan (keponakan) saya itu. Dalam kesempatan ini ‘kan sebetulanya mereka bisa datang, nunggoni (menunggui-Red). Sambil bergaul dengan para abdi-dalem yang bertugas, bisa tanya-tanya mencari tau. Dan kalau mau datang bergabung dalam ritual ini, ada pengalaman yang didapat”.
“Saya hanya khawatir, kalau mereka tidak tahu tentang hal-hal seperti ini, bagaimana nanti kalau ada yang bertanya kepadanya? Apakah bisa menjawab seandaianya ada yang menanyakan soal wayang yang diisis? Upacara adat ngisis ringgit itu apa dan bagaimana? Kalau mereka tidak belajar dari sini, bagaimana nanti?,” ujar Gusti Moeng dalam pertanyaan.
Keluh-kesah bernada kesal Gusti Moeng saat bersantai di depan pintu “gedhong” Sasana Handrawina yang digunakan ritual “ngisis ringgit”, weton Anggara Kasih (28/5) itu, memang tidak berkepanjangan. Dia terkesan sangat menjaga apa yang sebenarnya terjadi di kalangan generasi muda keponakannya itu, yang konon terwadahi dalam Paguyuban “Sawo Kecik”.
Sebagai ilustrasi, Paguyuban “Sawo Kecik” yang isinya para generasi muda wayah-dalem Sinuhun PB XII, berdiri sejak beberapa tahun lalu atau sejak “Bebadan Kabinet 2004” terbentuk. Paguyuban ini diketuai oleh GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani, putri tertua Sinuhun Suryopartono (PB XIII) atau kakak putra mahkota KGPH Hanabehi.
Dalam suatu kesempatan wawancara dengan iMNews.id, GKR Timoer Rumbai pernah menyebutkan, para generasi muda wayah-dalem yang aktif bergabung dan berkomunikasi di Paguyuban Sawo Kecik ada sekitar 25 orang. Tetapi jumlah semua wayah-dalem Sinuhun PB XII, dimungkinkan lebih dari itu, karena orang-tua mereka ada 35 orang yang merupakan putra/putri PB XII.
Dari sekitar 25 orang yang disebut aktif di Paguyuban Sawo Kecik itu, sampai kini yang kelihatan hanya beberapa gelintir, kurang dari 10 orang. Di antara GKR Timoer, KGPH Hangabehi, GRAy Devi, GRAy Ratih, KRMH Bimo Djoyo Adilogo, KRMH Suryo Manikmoyo, KRMH Suryo Kusumo Wiboyo dan BRA Arum sudah jarang kelihatan, lebih sering “mblirit” akhir-akhir ini. (Won Poerwono – bersambung).