Ritual “Ngisis Ringgit” Bisa Menjadi Basis Penguasaan Materi Aset Budaya dan Sejarah
IMNEWS.ID – UPACARA adat “ngisis ringgit” yang secara konsisten diselenggarapan “Bebadan Kabinet 2004” Kraton Mataram Surakarta hingga “weton” Anggara Kasih atau Selasa Kliwon, 28 Mei lalu, langsung atau tidak langsung sebenarnya menjadi ruang terbuka untuk pembelajaran diri bagi kalangan generasi muda para wayah-dalem calon pemimpin di kraton.
Instrumen kelembagaan secara resmi semacam pusat pendidikan dan latihan (pusdiklat) secara khusus untuk itu memang tidak ada, bahkan tidak pernah ada dalam sejarah kraton. Tetapi, sebagai bagian dari keluarga Dinasti Mataram, apalagi bagian Dinasti Paku Buwana, tiap generasi trah darah-dalem keturunannya wajib menguasai pengetahuan sejarah dan budayanya.
Kewajiban menguasai materi aset budaya (Jawa) dan sejarah kraton bagi kalangan trah-darah dalem, sangat terbuka kesempatannya, bahkan ada “privilege” (keistimewaan) bagi kalangan keluarga raja khusus generasi muda, untuk melakukan proses pembelajaran sampai level penguasaan tak terbatas, demi keberlangsungan jauh kraton ke depan.

Sebagai kewajiban yang bahkan bisa disebut keharusan bagi setiap wayah-dalem atau putra/putri-dalem mengedukasi diri sampai level penguasaan materi secara detail, karena memang sudah menjadi tuntutan kapasitas pribadinya sebagai bagian keluarga inti. Bahkan, seorang putra/putri-dalem atau wayah-dalem, harus memiliki kapabilitas berbasis lingkungannya.
Oleh sebab itu, ritual “ngisis ringgit” yang hanya digelar tiap “weton” Selasa Kliwon itu, seharusnya menjadi kesempatan yang luar biasa untuk belajar memperkaya diri wawasan dan pengetahun teknis soal tatacara ritualnya, teknis perawatan anak wayang dan “syukur bage” bisa mendapatkan pengetahuan teknis tentang seni pedalangan, walau dari sedikit.
Mengedukasi diri tentang apa saja yang tersaji dalam ritual “ngisis ringgit” di dalam kraton, tak perlu mempersoalkan latar-belakang pendidikan dan bidang ketrampilan yang didapat dari bangku sekolah umum di luar kraton. Tetapi, dengan mencoba memahami ritual “ngisis ringgit”, kelak akan mendapat manfaat berbagai jenis dan macam pengetahuan.

Apalagi yang dikeluarkan untuk diangin-anginkan dalam ritual “ngisis ringgit” itu, adalah kotak wayang Kiai Dagelan. Hampir seluruh isinya yang lebih dari 200 buah anak wayang itu menarik untuk dicermati dan dipahami identitas, fungsi dan ketokohannya dalam seni pertunjukan wayang kulit. Karena, dari melihat keunikan ragam tatah-sunggingnya sudah menarik.
Mengedukasi diri dari ritual “ngisis ringgit”, jangan diartikan akan diajak menjadi seniman dalang atau sejenisnya. Sebagai bagian dari keluarga inti raja dan bagian keluarga besar masyarakat adat Mataram Surakarta, seharusnya memiliki kapasitas dan kecakapan pribadi tentang seni, budaya dan sejarah lebih dari orang di luar kraton.
Sebagai ilustrasi, selama perjalanan kraton di alam republik memang terasa kurang menguntungkan, bahkan banyak merugikan keluarga besar secara pribadi maupun kelembagaan, itu memang benar. Tetapi hampir semua peristiwan atau masalah itu sudah lewat. Kini sudah tidak ada manfaatnya menyalahkan itu, tetapi harus cepat sadar dan bangkit mengejar ketinggalan.

Tetapi, mengejar ketinggalan menggenapi kapasitas diri bukan harus menjadi “liar” dengan mengabaikan kendali kelembagaan yang sedang “mengantar” menuju batas transisi/peralihan generasi. Karena dengan bertindak “liar” di luar kendali, hanya akan menciptakan perpecahan, yang justru berpotensi melemahkan kekuatan “Bebadan Kabinet 2004” secara keseluruhan.
Perpecahan yang bisa terjadi dari soliditas yang sudah tersusun sejak 17 Desember 2022 itu, jelas akan melemahkan semuanya. Dan kesempatan seperti itu, pasti akan dimanfaatkan oleh siapapun yang memang menghendaki agar konsolidasi kekuatan masyarakat adat melalui momentum 17 Desember 2022 di bawah kepemimpinan Gusti Moeng, gagal, hancur dan bubar.
Suasana seperti itulah, yang sangat mungkin dikehendaki pihak-pihak tertentu, dan sangat mungkin datang dari kekuasaan. Karena, tanda-tanda campur-tangan dan intervensi yang bersifat mengadu-domba dan memperuncing friksi sisa-sisa beberapa peristiwa lama, sudah banyak terjadi dan sangat jelas, misalnya dalam peristiwa proyek revitalisasi kraton.

Oleh sebab itu, sangat perlu diwaspadai setiap bibit perpecahan yang muncul melalui berbagai aktivitas yang kelihatannya formal sekalipun. Ketika mekanisme prosedurnya tidak sesuai aturan main yang selama ini berlaku dan disepakati bersama, itu merupakan bibit perpecahan yang membahayakan keutuhan “perjuangan mengantar” para generasi muda ke batas transisi.
Anasir-anasir yang berpotensi memecah-belah soliditas itu sebaiknya segera dihindari, dan kalangan generasi muda tetap fokus pada agenda-agenda kegiatan adat yang ada maupun bentuk-bentuk pengembangan. Tetapi, mekanisme prosedur perjalanannya harus tetap dalam jangkauan kendali aturan main yang sudah disepakati bersama.
Memang, tak hanya ritual “ngisis ringgit” yang bisa menjadi pijakan proses pembelajaran sampai level penguasaan. Bidang seni lain dan agenda upacara adat masih banyak yang bisa dijadikan basis pembelajaran dan pemahamannya. Seni tari, karawitan dan proses pemahaman naskah-naskah manuskrip yang begitu kaya data informasi sejarah, perlu juga dikuasai. (Won Poerwono – habis/i1).