Benarkah Kabupaten Nganjuk Punya Tanda-tanda Kelahiran dari Zaman Empu Sendok Abad 10? (Seri 2 – habis)

  • Post author:
  • Post published:June 9, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Benarkah Kabupaten Nganjuk Punya Tanda-tanda Kelahiran dari Zaman Empu Sendok Abad 10? (Seri 2 – habis)
MEMANFAATKAN PETUNJUK : Pakasa Cabang Nganjuk memanfaatkan "petunjuk" saat KRAT Sukoco (Ketua Pakasa Cabang) mengenakan busana kebesaran "Bupati Manca" yang khas "nagari" Mataram Surakarta pada kirab budaya ritual "boyong natapraja" yang digelar Pemkab Nganjuk, Kamis siang (6/6). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pakasa Cabang Nganjuk Seperti Menemukan “Petunjuk” untuk Masuk ke “Habitatnya”

IMNEWS.ID – KETIKA mencermati judul besar tulisan ini yang berbunyi “Benarkah Kabupaten Nganjuk Punya Tanda-tanda Kelahiran dari Zaman Empu Sendok Abad 10?”, mungkin terlalu tinggi bagi masyarakat awam. Karena, untuk mencari tahu dan menjawab pertanyaan ini, mungkin hanya bisa dilakukan kalangan intelektual kampus yang menekuni bidang sejarah peradaban di Jawa.

Oleh sebab itu, saat publik secara luas berusaha memahami Kabupaten Nganjuk yang disebut terlahir pada tanggal 10 April tahun 937 Masehi atau abad 10, tentu akan sulit mendapatkan jawabnya. Dan persoalan sejarah kelahiran Kabupaten Nganjuk, menjadi wilayah tersendiri ketika menyimak hajadan kirab budaya “boyong natapraja” yang digelar Pemkab setempat, Kamis 6/6.

Peristiwa budaya yang baru kali kedua diselenggarakan setelah yang pertama tahun 2023 itu, tampak sekali berbagai elemen masyarakat yang diinisiasi dan dibiayai APBD Kabupaten Nganjuk itu, berusaha menyajikan sebuah hiburan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin. Sajian hiburan itu, mungkin saja dijadikan menu objek wisata untuk destinasi wisata bagi khalayak luas.

SEBUAH PROSES : Untuk tampil mengenakan busana kebesaran “Bupati Manca nagari” Mataram Surakarta, harus melalui proses yang memakan waktu sejam, agar bisa tampil “memukau” di ajang kirab “boyong natapraja” yang digelar Pemkab Nganjuk, Kamis siang (6/6). Butuh waktu berapa lama segala komponen yang agung, anggun dan indah itu saaat diciptakan?. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Seperti tahun lalu atau kali pertama ritual “boyong natapraja” dilakukan lagi di tahun 2024 ini, organisasi Pakasa Cabang Nganjuk diundang lagi, bahkan bersama utusan-dalem beberapa Bregada Prajurit Kraton Mataram Surakarta juga disertakan. Kedua elemen ini hadir menjadi satu-kesatuan utusan-dalem, bahkan nasih didukung 30-an warga Pakasa Cabang Ponorogo (Jatim).

Seperti disebutkan pihak penyelenggara, refleksi sejarah “boyong natapraja” ini baru di tahun 2023 diaktifkan kembali setelah “beristirahat” sejak tahun 1930. “boyong natapraja” itu, untuk melukiskan cerita dari sebuah buku yang mengisahkan bahwa Ibu Kota Kabupaten Nganjuk, adalah pindahan dari Ibu Kota Kabupaten Berbek yang terjadi pada tanggal 6 Juni 1880.

Terlepas dari perpekstif kesejarahan peristiwa perpindahan yang menjadi latar-belakang event berbau sejarah, tradisi dan budaya ini, peristiwa ritual kirab budaya “boyong natapraja” itu sendiri bisa dimaknai sebagai “petunjuk” yang strategis bagi Pakasa Cabang Nganjuk. Bahkan, menjadi pintu masuk bagi Kraton Mataram Surakarta, untuk menunjukkan “posisinya”.

PENTINGNYA EDUKASI : Tampilnya Bregada Tamtama dan Korsik Drumband dari Kraton Mataram Surakarta pada kirab “boyong natapraja” yang digelar Pemkab Nganjuk, Kamis siang (6/6), mungkin terkesan aneh dan asing bagi kalangan warga yang menyaksikan peristiwa itu. Edukasi tentang masa lalu “bangsa Jawa” ternyata sangat penting. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Petunjuk” bagi Pakasa Cabang Nganjuk, adalah panduan arah tujuan yang tepat untuk dituju sesuai dengan tugas kewajiban utamanya, yaitu ikut menginisiasi dan mendorong upaya pelestarian budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta. Petunjuk arah yang sudah dijalani dalam dua tahun ini, sekaligus menjadi pintu masuk kraton untuk mengedukasi.

Dengan arah yang sudah terbuka jelas, tentu memberi kesempatan bagi Pakasa Cabang Nganjuk untuk mengembangkan organisasi, baik secara kualitas maupun kuantitas. Karena, ketika seluruh kecamatan di Kabupaten Nganjuk sudah memiliki pengurus anak cabang dan warganya semakin bertambah, akan sangat meringankan tugas pelestarian seni budaya Jawa sebagai tangan panjang kraton.

Sedangkan ketika kraton dibukakan pintu untuk ikut mewarnai kirab budaya event “boyong Natapraja”, jelas akan bisa mengedukasi tentang banyak hal kepada warga Kabupaten Nganjuk. Baik secara simbolik melalui berbagai kegiatan, simbol-simbol yang tersimpan dalam berbagai dokumen sejarah, artefak prasasti, karakter kepribadian dan tradisi masyarakatnya dan sebagainya.

DI LUAR SKENARIO : Karena mungkin berada di luar skenario yang disusun penyelenggara event “boyong natapraja”, pemandangan saat KRAT Sukoco berdiri di pinggir bersama pra prajurit menyaksikan barisan yang melukiskan “boyongan” sedang lewat, membuat peristiwa itu menjadi aneh. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Organisasi yang berkecimpung dalam bidang edukasi seni budaya karena berlandaskan pelestarian budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta sebagai ciri, sifat dan tugas Pakasa, termasuk cabang Nganjuk, kini sedang mendapatkan petunjuk arah tempat pengabdian dan tugas kewajiban yang menjadi “habitatnya”, yaitu masyarakat Kabupaten Nganjuk.

Karena di wilayah itulah, Pakasa Cabang Nganjuk mendapat tugas dari pengurus Pakasa Punjer dan Lembaga Dewan Adat (LDA) untuk mengedukasi masyarakat dan semua elemen di kabupaten, dan bergotong-royong bersama-sama melakukan tugas-tugas pelestarian seni budaya Jawa yang bersumber dari kraton. Karena, penguatan ketahanan budaya lokal, menjadi modal ketahanan budaya bangsa.

Kehadiran beberapa Bregada Prajurit Kraton Mataram Surakarta kali pertama ikut mewarnai rituel kirab “boyong natapraja”, juga menjadi kesempatan strategis yang bersifat ringan sebagai hiburan dalam warna tradisi konvensional dan bersifat. Yang bersifat sedang, adalah bentuk pengenalan kembali peradaban zaman Mataram Surakarta kepada generasi muda yang terkesan sangat awam itu.

TIDAK PENTING : Sejumlah penonton yang sempat diajak berbincang ikhwal peristiwa event “boyong natapraja” yang digelar Pemkab Nganjuk, Kamis siang (6/6) itu, apalagi ketika menunjuk tampilnya para prajurit kraton, rata-rata menjawab serba tidak tahu, tetapi merasa senang karena ada tontonan/hiburan gratis. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kerangka berfikir kehadiran Kraton Mataram Surakarta dan Pakasa Cabang Nganjuk di satu sisi dan event “boyong natapraja” dengan segala “kreativitas inovatifnya” di sisi lain, wajar saja mengarah ke bentuk-bentuk pemikiran positif ke depan. Karena, generasi muda bangsa ini tidak bisa dibawa ke arah yang sama sekali akan putus dengan masa lalu peradaban nenek-moyangnya.

Karena, fakta yang masih dijumpai saat ini warga masyarakat Kabupaten Nganjuk khususnya, adalah bagian dari masyarakat etnis Jawa, kalau tidak boleh disebut “Bangsa Jawa”, yang pernah lahir di lingkungan kultur Jawa, tiap hari menggunakan “bahasa ibu” yaitu “Bahasa Jawa”, dan masih banyak menggunakan naluri, insting dan kebiasaan-kebiasaan dari spiritual Jawa.

Padahal, seni, adat dan tradisi Jawa adalah produk budaya Jawa yang sumbernya dari kraton, yang telah disempurnakan selama 200 tahun eksistensi Mataram Surakarta (1745-1945). Proses terbentuknya budaya Jawa hingga capaian puncaknya tertinggi, bahkan sudah berjalan ratusan sampai ribuan tahun, sebelum memasuki masa akulturasi abad 15 sebagai tonggak akselerasi peradaban. (Won Poerwono-habis/i1).