Melahirkan Forum Diskusi Kecil yang Tema Bahasannya dari Wayang
IMNEWS.ID – KOTAK wayang Kiai Dagelan mendapat “keistimewaan” karena dikeluarkan dalam ritual “ngisis wayang” saat weton “Anggara Kasih” di gedhong Sasana Handrawina, Selasa Kliwon (13/6) yang belum lama lewat. Itu bukan sebuah rancangan khusus untuk memperlakukan lebih dari sejumlah kotak wayang lain, karena biasanya semua kotak “wayang padintenan” bisa dikeluarkan pada jadwal “ngisis” tiap Kamis, seminggu sekali. Tetapi karena jumlah wayang level satu (Kanjeng Kiai-Red) hanya tiga kotak, weton Anggara Kasih berikutnya bisa dimanfaatkan untuk “ngisis wayang” pusaka level dua (Kiai-Red).
Sekotak wayang pusaka Kiai Dagelan, berisi tokoh-tokoh anak wayang perlengkapan jika ada pementasan seni pakeliran menggunakan kotak wayang pusaka baik Kanjeng Kiai maupun Kiai, yang isinya para tokoh dari rumpun kisah/cerita, misalnya dari serial Ramayana yang bisa mengambil kotak wayang “Madya” atau “Gedhog” Kanjeng Kiai Dewa Katong. Atau dari serial Mahabharata yang sudah diadaptasi dalam beberapa karya sastra, misalnya Serat Pustaka Raja Purwa, yang bisa menggunakan kotak wayang Kanjeng Kiai Jimat, Kanjeng Kiai Kadung, Kiai Pramukanya, Kiai Mangu dan sebagainya.
“Jadi, kalau misalnya ada pentas (tanggal) 10 Sura (di kraton-Red) mengeluarkan Kanjeng Kiai Kadung atau Kanjeng Kiai Jimat atau Kiai Pramukanya, tokoh-tokoh Panakawannya bisa diambil dari kotak Kiai Dagelan. Begitu pula kalau butuh perlengkapan apa saja yang dibutuhkan dalam lakonnya, misalnya senjata atau apa saja untuk mengisi waktu ‘Limbuk-Cangik’ atau ‘Gara-gara’, bisa diambil dari kotak wayang itu. Mengapa disebut Kiai Dagelan, karena isinya sebagian besar tokoh-tokoh dagelan atau lucu dari bentuk, wujud dan karakter saat dimainkan,” jelas Gusti Moeng menjawab pertanyaan iMNews.id, siang itu.
Penjelasan serupa dan panjang lebar menyangkut berbagai hal juga diberikan empu dalang wayang Gedhog, Ki KRT Dr Bambang Suwarno yang hampir selalu hadir dalam ritual “ngisis wayang”, terutama tiap weton Anggara Kasih. Data dan informasi soal latarbelakang sejarah seni pakeliran, juga banyak diberikan Ki RT Nata Adipura SSn MA selaku “tindhih” abdi-dalem “ngisis wayang”. Bahkan, kandidat doktor di FIB UGM Ki Rudy Wiratama, kandidat doktor di UNS RM Restu Budi Setiawan dan abdi-dalem dalang Ki RT Purnomo Carito Adipuro juga sering bertutur saat ada diskusi kecil di sela-sela ritual itu.
Di sela-sela ritual dan jeda menunggu saat proses mengangini semua anak wayang dirasa cukup, baik di weton Anggara kasih maupun “ngisis wayang padintenan” tiap Kamis, selalu dimanfaatkan untuk berdiskusi membahas berbagai hal terutama yang menyangkut upaya pelestariannya. Dan Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa dan penanggungjawab semua upacara adat di kraton, selalu memanfaatkan waktu jeda itu dengan menginisiasi terjadinya diskusi kecil yang sangat konstruktif dan sangat mengedukasi. Apalagi, hampir pada setiap ritual itu selalu hadir Dr Purwadi, peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja.
Kehadiran intelektual kampus yang juga warga Pakasa Cabang Jogja itu selalu mengartikulasi data-data penting yang tereksplorasi dari ritual “ngisis wayang”, yang kemudian dibahas dalam diskusi-diskusi kecil yang diinisiasi Gusti Moeng. Bahkan informasi-informasi yang diberikan banyak melengkapi data-data hasil eksplorasi itu, hingga menjadi satu bangunan data informasi tentang sesuatu yang sangat lengkap dan sangat bermakna serta banyak manfaatnya ketika dikembangkan untuk berbagai keperluan positif, baik untuk kraton maupun untuk warga peradaban secara luas.
Misalnya ketika Gusti Moeng membawa sepasang anak wayang yang melukiskan pemuda-pemudi yang identik dengan suku Papua, dengan spontan di antara peserta diskusi itu menyebutnya sebagai informasi sejarah yang bisa digali lebih jauh dan lebih banyak didapatkan informasi yang lebih lengkap. Karena, anak wayang itu dibuat di zaman Sinuhun PB V (1820-1823), tetapi sudah bisa menampilkan keragaman suku-suku yang mendiami di ribuan pulau yang tersebar di Nusantara, khususnya suku Papua. Dan ternyata, sebagian pulau Papua waktu itu berada di wilayah kedaulatan Kesulatanan Ternate, kemudian Kesultanan Tidore sampai NKRI lahir.
Diperlihatkannya sepasang pemuda Papua dalam boneka anak wayang, di satu sisi seni kriya tatah-sungging yang berkembang di zaman Sinuhun PB V itu jelas sudah sangat berwawasan, hingga bisa menampilkan citra suku Papua seperti apa adanya walau hanya dalam wujud dua dimensi. Karena tampilan wayang sepasang pemuda Papua itu mengingatkan pada sebutan “Jong Java”, “Jong Celebes”, “Jong Sumatera”, “Jong Papua”, “Jong Ambon” dan sebagainya pada peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, saat 2/3 pulau Jawa berada di bawah kedaulatan Sinuhun PB X (1893-1939) sebagai Raja/kepala pemerintahan “nagari” Mataram Surakarta.
Ketika membahas soal “Jong Papua” dan peristiwa Sumpah Pemudanya, juga muncul pendapat bahwa memang sangat masuk akal bahwa sebelum lahir NKRI atau nama Indonesia, nama Nusantara adalah paling tepat untuk memberi sebutan sekaligus ikatan bagi berbagai suku bangsa dan “bangsa Jawa” yang tersebar di wilayah itu. Dan nama Indonesia yang hingga kini tak jelas siapa yang mencetuskan dan payung hukum (UU) perlindungannya, ternyata menjadi bagian dari yang sempat tereksplorasi pada ritual itu. Dengan diketahuinya awal nama Indonesia muncul tahun 1920, maka peristiwa Sumpah Pemuda di tahun 1928 menjadi tidak aneh.
Ki KRT Bambang Suwarno saat memperlihatkan wayang yang melukiskan “sel tahanan”, Batahara Wisnu “triwikrama”, berbagai macam/jenis “rampogan” termasuk simbol keluarga besar karena punya banyak anak yang disebut “Brayut”, juga menjadi bahan ulasan dan diskusi yang menarik. Belum lagi, wayang yang melukiskan aneka macam tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan buah-buahan dan sayur-mayur, ide dasar pembuatannya sangat mengesankan, begitu pula wujud fisik anak wayangnya luar biasa. Siapapun seniman dan tokoh yang menginspirasi pembuatannya, jelas punya pandangan jauh ratusan tahun ke depan. (Won Poerwono-bersambung/i1)