Kraton Mataram Surakarta Punya Sekotak Wayang yang Isinya “Peralatan” Untuk 17 Kotak Lainnya

  • Post author:
  • Post published:May 28, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:9 mins read
You are currently viewing Kraton Mataram Surakarta Punya Sekotak Wayang yang Isinya “Peralatan” Untuk 17 Kotak Lainnya
"CANDRA SENGKALA" : Hampir setiap karya dari para tokoh zaman Mataram terutama Mataram Surakarta (1745-1945), punya kode "Candra Sengakala" yang merujuk pada angka tahun pembuatan atau terjadinya peristiwa, yang sedang dibaca bersama Gusti Moeng dan Ki KRT Gatot Purnomo pada anak wayang "krobongan" saat "ngisis ringgit", siang tadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kalau Para “Tokohnya” Dijejer di Sampiran, Mirip Sedang Berparade

SURAKARTA, iMNews.id – Kekayaan seni budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta, berikut produk-produknya berupa benda seni seperti koleksi wayang yang dimiliki, termasuk luar biasa dalam jumlah, ragam, kualitas dan teknik/cara menyimpannya. Keunggulan terakhir itu, lebih disesuaikan dengan penggunaannya dalam pertunjukan seni di masa lalu.

Beberapa indikasi luar biasa itu, teridentifikasi saat berlangsung ritual “ngisis ringgit” pada “weton pasaran” Anggara Kasih atau Selasa Kliwon, seperti yang digelar di “gedhong” Sasana Handrawina, Selasa (28/5) siang tadi. Sekotak anak wayang bernama Kiai Dagelan, digelar dalam sebuah upacara adat, untuk mendapatkan angin segar sebagai bentuk perawatan.

GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat (LDA), memimpin ritual dan menunggui tradisi untuk mengurangi risiko jamur dan menghilangkan debu yang menempel pada anak wayang. Meskipun tersimpan dalam kotak dan di dalam “gedhong” Lembisana selama watu satu weton (35 hari) saja, bisa berisiko kena jamur dan debu.

Seperti diketahui, upacara adat “ngisis ringgit” saat “weton pasaran” Anggara Kasih atau Selasa Kliwon tiba, memiliki berbagai tujuan dan manfaat. Di antara beberapa tujuan itu, adalah perawatan untuk menghindarkan dari potensi kerusakan akibat jamur yang terjadi saat kondisi udara ruangan lembab, dan juga debu.

Tradisi mengeluarkan anak wayang dari kotak penyimpanannya, seperti kotak “Kiai Dagelan”, siang tadi, kemudian sebagian ditata berdiri di gawang kecil, sedangkan sebagian besar “disampirkan” pada tali beralaskan mori putih, sangat dimungkinkan mendapatkan angin segar di udara terbuka. Apalagi, tali dibentang panjang dan dikaitkan di antara “saka guru” yang ada.

Tujuan berikutnya adalah, untuk kebutuhan preventif pengamanan aset luatr biasa peninggalan peradaban ratusan tahun lalu yang tidak ternilai itu. Yaitu, pengamanan dari sisi jumlah anak wayang dan jenisnya, karena ketika dikeluarkan dan dimasukkan kembali ke kotak, anak wayang dihitung dan diidentifikasi jenis dan nama sesuai satuan kotaknya.

“SEDANG DIJAHIT” : Tokoh anak wayang Ki Togog “sedang dijahit” kerangka penjepitnya yang terbuat dari tanduk kerbau atau “gapit”, karena ada beberapa tali penguat jepitan itu yang putus. Reparasi ringan itu dilakukan para abdi-dalem yang bertugas pada ritual “ngisis ringgit” di gedhong Sasana Handrawina, siang tadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Karena kerja “ngisis ringgit” perlu teliti, cermat dan tepat menghitungnya, perlu jumlah abdi-dalem yang cukup. Selain abdi-dalem senior Ki KRT Gatot Purnomo Adicarito yang bisa memandu proses kerja dan mengidentifikasi, ada belasan abdi-dalem lain yang bertugas dan termasuk dalang senior Ki KRT Notohadinagoro yang menjadi tugas “tindhih ngisis ringgit”.

Kerja “ngisis ringgit” menjadi mirip proses kerja pendataan ulang koleksi wayang pusaka aset Kraton Mataram Surakarta. Karena, selain mengidentifikasi yang menyangkut kondisi anak wayang, juga kembali mencacah jumlahnya yang bisa menjadi bagian dari upaya menjaga keamanan aset. Mengingat, kraton kehilangan anak wayang sudah berulang kali di masa lalu.

Kemanan aset, juga termasuk mendeteksi apabila terjadi kerusakan pada tiap anak wayang, atau kembali mengoreksi apabila rencana perbaikan anak wayang yang rusak belum jadi dilaksanakan pada saat dikeluarkan sebelumnya. Mengingat, perbaikan anak wayang pusaka koleksi kraton, harus dilakukan saat kotak tersebut dikeluarkan dan harus dijekarjan di tempat.

“Betul. Jadi, kalau ada kerusakan, baik ringan atau berat, harus dilakukan saat kotak yang berisi wayang dimaksud pas dikeluarkan. Itu bisa dikoordinasikan di antara kami dengan para abdi-dalem yang bertugas. Dan untuk mengerjakan perbaikan, ya harus di tempat (Ngisis Ringgit). Tidak boleh dibawa pulang. Kalau belum selesai, ya diteruskan saat ngisis berikutnya”.

“Karena, ini adalah termasuk (wayang) pusaka kraton. Aset yang tak ternilai, apalagi langka. Tetapi, wayang kotak Kiai Dagelan ini rata-rata masih baik. Memang, saya lihat tadi, wayang ‘Krobongan’ ada yang sobek sedikit. Tapi belum terpikirkan bagaimana nanti perbaikannya. Yang jelas, ini lagi mikir eblek. Ada yang masih kurang,” ujar Gusti Moeng.

GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng, saat dimintai konfirmasi menjelaskan hampir semua kotak wayang sudah mulai mendapat perbaikan sebagai bagian dari upaya pengamanan dan pelestarian aset peninggalan sejarah yang luar biasa itu. Di antara 18 kotak itu, alas sekaligus sekat tumpukan wayang, sudah banyak yang diganti, meskipun masih banyak yang rusak.

“GAPURAN UNIK” : Dari sekotak anak wayang “ricikan” bernama “Kiai Dagelan” yang digelar dalam ritual “ngisis ringgit” weton Anggara Kasih, siang tadi, ada anak wayang “Gapuran” yang cukup unik yang sangat langka, seperti sedang diamati salah seorang abdi-dalem itu. Anak wayang sudah robek sayap kanannya sudah robek. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dari 18 kotak wayang koleksi Kraton Mataram Surakarta, masing-masing mendapat perawatan berupa dikeluarkan dalam ritual “ngisis ringgit” tiap “weton pasaran” Anggara Kasih atau 35 hari sekali. Upacara adat mengangin-anginkan wayang itu, tiap Selasa Kliwon prioritas untuk kotak wayang  pusaka level “Kangjeng Kiai” (KK) dan sisanya baru level “Kiai” (K).  

Kalau dalam setahun untuk wayang level “KK” maksimal hanya bisa dikeluarkan dua kali, tetapi wayang pusaka level “K”, bisa sampai tiga kali dalam setahun. Karena, selain weton “Selasa Kliwon” masih ada hari Kamis yang bisa dimanfaatkan untuk ritual “ngisis ringgit”, terutama untuk jenis wayang pusaka “Srambahan” seperti Kyai Pramukanya.

Sampai “weton pasaran” Selasa Kliwon siang tadi, kotak wayang Kiai Dagelan sudah dikeluarkan dalam ritual “ngisis ringgit” tiga kali sejak 17 Desember 2022. Karena, tepat pada tanggal itu ada peristiwa “insiden Gusti Moeng Kondur ngedhaton”, yang menjadi momentum bisa bekerja kembali penuh di dalam kraton, yang salah satunya “menyelamatkan” seluruh aset-aset kraton.

Ritual “ngisis ringgit” kotak wayang Kiai Dagelan siang tadi, merupakan salah satu bentuk penyelamatan aset-aset kraton, karena prosesnya berupa upacara adat mengeluarkan dan mengangin-anginkannya, membuat wayang terbebas dari potensi kerusakan dan potensi “kehilangan”. Dan, ritual itu menjadi salah satu bentuk pemandangan menarik yang punya nilai manfaat luas.

Salah satu nilai manfaatnya, adalah ketika para pengunjung atau wisatawan bisa masuk sampai halaman dekat “gedhong” Sasana Handrawina. Dari situ bisa terlihat aktivitas “ngisis ringgit”, walau jaraknya masih agak jauh. Bahkan bisa melihat “gladen” tari Bedhaya Ketawang, karena tempatnya di Pendapa Sasana Sewaka yang jaraknya lebih dekat.

“Ngisis ringgit” dari kotak wayang Kiai Dagelan ini, menjadi titik awal nilai luar biasanya koleksi wayang karya para tokoh Raja, Pujangga dan Empu pada zaman Mataram, mulai dari Kartasura hingga Mataram Surakarta yang lebih dari 200 tahun. Karena, di dalam kotak Kiai Dagelan itu saja, terdapat wayang “Gapuran” yang dibuat pada zaman Sinuhun Amangkurat IV.

“PARADE SEMAR” : Karena Kraton Mataram Surakarta punya 18 kotak wayang pusaka peninggalan sejarah Mataram sejak Kartasura hingga Surakarta, lebih 200 tahun, ketika mengeluarkan kotak wayang Kiai Dagelan, didapati tokoh Semar sekitar 10 macam. Ketika dijejer pada ritual “ngisis ringgit”, siang tadi, mirip “parade Semar”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Anak wayang “Gapuran” produk empu pada zaman Sinuhun Amangkurat IV atau Amangkurat Jawi (1719-1727) zaman Kraton Mataram Islam berIbu-Kota di Kartasura itu, memilik kode tahun pembuatan yang disebut “Candra Sengkala”. Kode itu menyebut pada angka tahun pembuatan, yaitu 1649, tahun menurut kalender Jawa, atau sekitar tahun 1725 (kalender Masehi).

Karya aset koleksi Kraton Mataram Surakarta apa saja, rata-rata menggunakan angka “Tahun Sengkalan” atau memakai kode tahun Candra Sengkala, sebagai langkah “pengaman produk”. Termasuk pula yang rata-rata terdapat pada karya gendhing, sastra dan sebagainya, sehingga memudahkan untuk diidentifikasi saat benda pusaka/budaya itu pernah hilang dan ditemukan kembali.

Menyaksikan ritual “ngisis ringgit” Kiai Dagelan siang tadi, seperti melihat “parade” tokoh wayang kembar banyak, misalnya  Semar, tapi berbeda-beda penampilan. Tokoh itu berasal dari 17 kotak wayang koleksi kraton, tetapi dijadikan satu dengan berbagai wujud/tokoh wayang pendukung lainnya, yang baru difungsikan sebagai “pelengkap” pendukung saat ada pentas. (won-i1).