Di Kraton Mataram Surakarta, Wayang “Tokoh Pendukung” Dipisahkan Dalam Satu Kotak Tersendiri (seri 1 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:May 30, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:9 mins read
You are currently viewing Di Kraton Mataram Surakarta, Wayang “Tokoh Pendukung” Dipisahkan Dalam Satu Kotak Tersendiri (seri 1 – bersambung)
BERBAGAI JENIS : Isi kotak wayang "Kiai Dagelan" yang dikeluarkan dalam upacara adat "ngisis ringgit" weton pasaran Selasa Kliwon atau Anggara Kasih, (28/5) lalu, terdapat berbagai jenis wayang pendukung pentas seperti beragam "rampogan", aneka satwa, aneka rupa tokoh "dagelan" dan sebagainya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam Setahun Hanya Sekotak yang Mungkin Dikeluarkan Untuk Pentas Pertunjukan Pakeliran

IMNEWS.ID – KRATON Mataram Surakarta mungkin memiliki koleksi wayang pusaka paling banyak jumlah dan ragamnya dibanding yang dimiliki kraton dan kadipaten di antara keluarga besar Dinasti Mataram. Atau kraton di luar dinasti yang memiliki kemiripan budaya dengan Mataram, misalnya empat kesultanan di wilayah Cirebon, Jawa Barat.

Dari jumlah 17 kotak wayang pusaka yang isinya paling sedikit 200 tokoh setiap kotaknya, ternyata belum termasuk para “tokoh pendukung” yang berupa atau melukiskan peralatan, kekayaan alam, produk industri teknologi dan sebagainya. Karena jumlah isi tanpa “tokoh pendukung” rata-rata sudah banyak di tiap kotaknya, sepertinya ada cara lain untuk “menyimpan”.

Cara lain untuk memisahkan atau menyimpan atau membuat penggunaan dan perwatannya lebih praktis itu, yaitu mengumpulkan semua anak wayang yang masuk kategori “tokoh pendukung” itu ke dalam satu kotak. Kumpulan anak wayang para “tokoh pendukung” ini disebut “wayang ricikan”, dan kraton menamakan sekotak wayang pendukung itu “Kiai Dagelan”.

“Jadi, satu kotak Kiai Dagelan itu isinya anak wayang pelengkap dari kotak-kotak wayang lainnya. Jadi, ada tokoh Panakawan untuk sejumlah kotak, baik yang kategori Kangjeng Kiai (KK) maupun Kiai. Juga ada beberapa jenis ‘barisan rampogan’. Ada tanaman buah-buahan, pohon-pohon besar, berbagai jenis binatang, ‘krobongan’, gapuran dan sebagainya”.

“Ada juga peralatan pertanian, timbangan, jenis-jenis alat transportasi misalnya gethek, bangunan, replika abdi-dalem mengusung Gunungan, lukisan suasana penjara atau sel tahanan, bahkan melukiskan replika suku asli Papu di tahun 1800-an.
Jumlah isi kotak Kiai Dagelan ini saja sekitar 200-an buah anak wayang,” ujar Ki Suluh Juniarsah atau KRT Noto Hadinagoro.

Abdi-dalem dalang yang juga dosen di ISI Surakarta itu menjadi “tindhih” ritual “ngisis ringgit” Kiai Dagelan bersama belasan abdi-dalang muda lainnya, termasuk dalang profesional senior Ki KRT Sigit Purnomo Adicarito. Abdi-dalem dalang sepuh Ki KRT Dr Bambang Suwarno sudah jarang kelihatan “sowan” di ritual “ngisis ringgit”, setidaknya sejak awal 2024 lalu.

BERBAGAI PENAMPILAN : Wajah tokoh Petruk dari empat abdi-dalem Panakawan, dijejer-jejer saat dikeluarkan untuk ritual “ngisis ringgit” weton Anggara kasih atau Selasa Kliwon (28/5) lalu. Tokoh Petruk dalam berbagai penampilannya, tetap saja tampak lucu dan mengundang geli, karena dia adalah salah satu figur tokoh dagelan dalam pentas wayang. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Katika dikeluarkan dalam upacara adat “ngisis ringgit” tiap “weton sepasaran” Anggara Kasih atau Selasa Kliwon, atau tiap Kamis sebagai waktu tambahan ritual, Kiai Dagelan mendapat penghormatan yang sama dengan kotak wayang pusaka lainnya. Selain KPP Wijoyo Adiningrat dan KP Purwotaruno dari Kantor Mandra Budaya, juga ada Gusti Moeng yang memimpin ritual.

Tetapi, ketika melihat ragam isinya, disitulah baru terlihat kelebihan kotak wayang pusaka Kiai Dagelan. Kelebihan yang bermakna luar biasa itu, sudah terasa ketika mendengar nama yang diberikan, yaitu Kiai Dagelan. Karena, makna harafiah “dagelan” adalah cerminan sosok pelawak atau pelaku seni yang penampilannya selalu “gecul”, mudah mengundang gelak-tawa.

Penulis belum menemukan data siapakah tokoh Empu atau tokoh penting di Kraton Mataram Surakarta yang memberi nama itu. Begitu pula, ada pertimbangan apa kumpulan anak wayang pelengkap dari berbagai kotak wayang pusaka itu, lalu dijadikan satu kotak dan diberi nama Kiai Dagelan?. Alasan-alasan itu, pasti akan menambah daya tarik ketika memahami koleksi ini.

Menyaksikan prosesi ritual “ngisis ringgit” isi kotak Kiai Dagelan, dari sekilas saja sudah membuat geli atau “gecul”. Misalnya, di situ dijejer tokoh “Petruk” alias “Kanthong Bolong” dalam jumlah yang banyak, tetapi beda-beda ekspresi raut mukanya yang diperindah dengan ragam komposisi warnanya, yang dalam pengetahuan pedalangan disebut “wanda”.

Memang, ritual “ngisis ringgit” hingga kini masih menjadi upacara adat tertutup bagi pihak luar misalnya wisatawan dan terbatas bagi kalangan yang bertugas saja. Artinya, nyaris tidak ada orang awam (umum) yang bisa menyaksikan dari dekat ritual ini, ataupun orang yang paham tentang wayang sekalipun bisa melihat bebas dari dekat.

Oleh sebab itu, yang bisa menangkap “message” berupa ekspresi lucu itu yang orang-orang terbatas dan yang paham soal ekspresi wayang, setidaknya paham reputasi para tokoh Panakawan terutama Gareng, Petruk dan Bagong pada umumnya. Karena kemampuan figur dalang yang bisa mengekspresikan ketiganya pandai bertingkah “ndagel” dan berbicara “ngglenyeng” (lucu).

“TOKOH DAGELAN” : Deretan anak wayang tokoh Mbilung, Cangik dan Bagong yang sedang disampirkan pada seutas tali terbungkus mori putih, adalah deretan “tokoh dagelan” atau pelawak dalam seni pertunjukan wayang kulit yang sedang “menjalani” ritual “ngisis ringgit” di gedhong Sasana Handrawina, Selasa Kliwon (28/5). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Karena para tokoh “dagelan” itu ditata berjajar dalam jumlah banyak dengan ekspresi lukisan atau “tatah sungging” yang memang lucu, maka bisa diimajinasikan para tokoh Panakawan itu sedang “kontes” atau “berparade”. Tak hanya itu, pemandangan menawan karena lucu juga tampak, karena tokoh dagelan “Togog” dan “Mbilung” kembar banyak, juga disampirkan berjejer-jejer.

Menyaksikan isi kotak wayang pusaka Kiai Dagelan dengan disampirkan berjejer-jejer di atas seutas tali yang dibungkus mori putih, sama halnya menangkap pesan bermakna konotatif menghibur. Selain wajah para abdi-dalem pengikut raja dan ksatria dari lakon-lakon Mahabharata dan Ramayana, juga ada “abdi-dalem penderek” para raja raksasa, yaitu Togog dan Mbilung.

Bahkan, ada wujud ekspresi di luar tokoh manusia yang memiliki makna konotatif menghibur, sehingga terkesan lucu dan aneh ketika diimajinasikan dan dibandingkan dengan suasana kehidupan modern masa kini. Misalnya timba “senggot” yang dulu hanya dikenal di masyarakat pedesaan. Ada juga tengkorak sedang naik sepeda bermesin, produk teknologi industri tahun 1800-an.

Berkumpulnya berbagai jenis binatang buas dan piaraan dalam satu kotak wayang pusaka Kiai Dagelan, juga mengundang imajinasi yang aneh dan lucu, mengingat semua satwa itu bila dikumpulkan mirip kebun binatang. Tetapi dalam dunia wayang, binatang bisa dikisahkan punya “daya linuwih”, misalnya kuda dan harimau bersayap yang bisa terbang sebagai tunggangan.

Selain sepeda “onthel”, alat transportasi yang diekspresikan dalam anak wayang adalah mobil, rangkaian loko dan gerbong kereta api, motor, gerobak, kereta kuda dengan model “cabin” istimewa, berbagai jenis “rampogan” dan sebagainya. Dan karena di dalam satu kotak berisi “tokoh pendukung” kotak-kotak wayang yang lain, maka tahun pembuatannyapun bervariasi.

Abdi-dalem tindhih “ngisis ringgit” Ki KRT Noto Hadinagoro sempat menemukan anak wayang “Gapuran” (miniatur gapura-Red) yang mengalami rusak karena sobek salah satu sayapnya, yang tergolong istimewa. Karena, anak wayang itu lebih cocok untuk melengkapi atau mendukung pementasan wayang Gedhog, yang diperkirakan sesuai dengan kotak wayang KK Jayeng Katong.

ANEKA JENIS : Anak wayang yang melukiskan aneka jenis satwa buas dan jinak, termasuk yang dicitrakan “sakti”, berkumpul jadi satu dalam kotak “Kiai Dagelan” hingga mirip dongeng tentang kebun binatang. Seisi kotak wayang yang lucu-lucu dari “Kiai Dagelan”, dikeluarkan dalam ritual “ngisis ringgit” di gedhong Sasana Handrawina, Selasa Kliwon (28/5). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kotak wayang KK Jayeng Katong adalah salah satu karya wayang yang produk zaman Sinuhun Amangkurat IV (1719-1727) dan putra mahkota penerusnya yang bergelar Sinuhun PB II (1727-1749), ketika Ibu Kota Mataram Islam masih di Kartasura. Berbagai jenis karya semasa Mataram di Ibu Kota Kartasura, dibawa ke Surakarta saat ibu kota pindah, mulai 17 Februari 1745.

“Model Gapuran seperti ini, lebih sering digunakan untuk pentas wayang Gedhog. Kraton punya koleksi beberapa wayang Gedhog atau wayang Madya. Di antaranya, ya KK Jayeng Katong yang dibawa dari (Kraton Mataram) Kartasura. Dari kotak wayang itu, masih digenapi dan dilengkapi lagi pada zaman Sinuhun PB IV,” ujar Ki KRT Noto Hadinagoro menjawab pertanyaan iMNews.id.

Sekotak wayang berisi berbagai anak wayang pendukung atau “wayang ricikan”, hingga Selasa Kliwon (28/5) baru tiga kali dikeluarkan sejak 2017, hanya untuk keperluan ritual “ngisis ringgit” saja. Karena, pertunjukan wayang kulit di kraton yang menggunakan koleksi pusaka itu hanya sekali dalam setahun, yaitu pentas di malam 10 Sura tahun Jawa. (Won Poerwono-bersambung).