“Angin Perdamaian” Agak Tersendat-sendat di Level Prajurit
SURAKARTA, iMNews.id – Mendekati hari pelaksanaan upacara adat “tingalan jumenengandalem” yang ke-19 SISKS Paku Buwana (PB) XIII pada 16 Februari ini, Kraton Mataram Surakarta semakin sibuk mempersiapkan segala jenis protokoler yang dibutuhkan untuk tatalaksana upacaranya. Persiapan itu berjalan seiring dengan proses “perdamaian” yang terus berjalan ke arah samping dan ke bawah, di antaranya di kalangan prajurit kraton yang faktanya sudah terbelah jadi dua sejak 2017 hingga kini.
Untuk kali kedua, siang tadi GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa mengumpulkan para prajurit dari “dua belah” atau “dua seberang” di Bangsal Smarakata, untuk melakukan koordinasi sebagai persiapan mendukung upacara adat tingalan jumenangan, sekaligus sebagai langkah penyatuan dan solusi proses “perdamaian”. Namun, prajurit dari “seberang” atau “sebelah” yang hadir saat pertemuan seminggu lalu, siang tadi hanya terlihat tiga dari seluruhnya sekitar 50-an orang.
Karena yang ada hampir semuanya prajurit dari para pengikut GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA), maka dalam pembukaan pertemuan di Bangsal Smarakata mulai pukul 09.00 WIB itu, Gusti Moeng menyatakan tidak masalah kalau para prajurit dari “seberang” tidak mau datang atau hanya tiga orang. Dalam pengantar pertemuan itu, dia menegaskan kesempatan itu menjadi latihan atau “geladi” kotor untuk persiapan mendukung upacara adat tingalan.
“Yang dari sana (seberang-Red), biar konsentrasi untuk kirab Sinuhun saja. Untuk mendukung upacara adat tingalannya, biar prajurit ini yang konsentrasi gladen, mulai hari ini. Mereka sudah saya beritahu pada pertemuan pertama, agar datang semua pada pertemuan hari ini (siang tadi-Red). Untuk pertemuan kedua, saya berharap bisa latihan bersama. tetapi mereka tidak mau datang (hanya tiga orang-Red). Ya sudah, enggak apa-apa,” jelas Gusti Moeng saat ditanya iMNews.id di sesa-sela memberi masukan KRMH Bimo Kusumo Adilogo selaku “Manggala” (komandan-Red), juga KP Tanto Prawiroyudo (Wakil Manggala) di halaman Pendapa Sasana Sewaka, siang tadi.
“Gladen” baris-berbaris sesuai protokol upacara adat tingalan jumenengan dimulai dari kompleks Pendapa Magangan, sekitar pukul 10.00 WIB, diawali dengan aba-aba “Sang Manggala” KRMH Bimo Kusumo Adilogo, drumb band Korsip Prajurit Tamtama, diteruskan KRAT Alex Pradnjono Reksoyudo lalu berjalanlah semua bregada prajurit. Latihan di kompleks Pendapa Magangan, untuk menyesuaikan antara jenis-aba-aba dengan gerakannya, serta penyesuaian gerak para pembawa vandel identitas prajurit, sambil berjalan mengelilingi pendapa dua kali.
Habis dari Pendapa Magangan, prajurit dibawa Manggala (besar/seluruh pasukan) dan Manggala (kecil/khusus) melewati Kori Sri Manganti Kidul untuk menuju halaman Pendapa Sasana Sewaka. Di situ sudah menunggu Gusti Moeng, KPH Edy Wirabhumi dan para sentana garap pejabat beberapa bebadan “Kabinet 2004”. Termasuk para wisatawan yang mulai pukul 10.00 WIB sudah berdatangan di halaman, tampak langsung menyambut barisan prajurit dengan HP di tangan masing-masing.
Selain berlatih berbaris keluar dari kompleks Pendapa Magangan, para prajurit juga berlatih penghormatan terhadap kehadiran Sinuhun PB XIII di di tempat upacara yaitu di Pendapa Sasana Sewaka, sampai duduk di singgasana. Dalam latihan penghormatan itu, Gusti Moeng memberi masukan kepada KRMH Bimo Kusumo Adilogo dan KP Tanto Prawiroyudo, bahwa aba-aba Manggala hanya diberikan saat memberi penghormatan awal Sinuhun tiba di tempat upacara, tetapi langkah selanjutnya hanya diizinkan memberi aba-aba dengan syarat alias tanpa suara.
Hal penting yang ditekankan Gusti Moeng itu adalah menjadi cirikhas gambaran jalannya setiap upacara adat di kraton, rata-rata nyaris tanpa pemberitahuan atau aba-aba perintah dari master of ceremony (MC) atau juru pranatacara atau juru pambiwara, bahkan tidak ada bunyi sound system. Karena, pelaksanaan semua upacara adat di kraton adalah sakral dan harus dijaga sakralitasnya, oleh karena itu sepanjang sejarah di kraton menggelar upacara adat nyaris tidak ada pengaturan lalu-lintas upacara dan acaranya dengan kehadiran MC atau juru pambiwara.
“Semua aba-aba wujudnya isyarat. Semua isyarat dalam setiap upacara adat di kraton, terutama pisowanan tingalan jumenengan, datangnya dari bunyi gamelan. Maka, seorang abdidalem atau kerabat bahkan keluarga besar masyarakat adat di Kraton Mataram Surakarta, harus paham betul tentang isyarat gamelan yang digunakan dalam setiap upacara. Kalau gamelan menyuguhkan Gending Ladrang Wilujeng, itu artinya apa? Kalau Gending Undur-undur Kajongan itu apa?, Gending Manguyu-uyu itu artinya apa? itu semua pelajaran berharga bagi kehidupan yang berasal dari kraton,” jelas Dr Joko Daryanto, abdidalem karawitan Mandra Budaya yang juga pengajar di FKIP UNS saat dihubungi iMNews.id, belum lama ini.
Geladi kotor apel prajurit untuk penghormatan upacara adat tingalan ditutup dengan evaluasi dan penjelasan dari Gusti Moeng dan KPH Edy Wirabhumi di Bangsal Smarakata. Di situ ditegaskan kembali, prajurit yang megikuti gladen itu ditetapkan bersiap untuk mendukung upacara adat, sedang dari seberang dipersilakan mempersiapkan diri untuk kirab. Bersamaan dengan latihan apel prajurit, dwija dari Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta, KP Budayaningrat, mengajak 60-an siswa sanggar angkatan 39 untuk mengikuti pelajaran mengenal bangunan kraton sebelum sebagai salah satu bahan ujian akhir. (won-i1)