Kraton Seperti “Nututi Layangan Pedhot”, Revitalisasi Diberikan dengan “Cara Culas Bergaya Santun”
IMNEWS.ID – SETELAH melihat gambaran latar-belakang persoalan situasi dan kondisi hubungan antara penguasa dari pusat hingga lokal (Pemkot) pada seri tulisan sebelumnya (iMNews.id, 17/4), maka tidak aneh Wali Kota banyak disebut secara sepihak sudah melakukan pembahasan hal-hal yang menyangkut teknis dengan kelembagaan Sinuhun.
Pembahasan sampai menyangkut hal-hal teknis itu bahkan terjadi jauh menjelang di tahun 2023, hingga proyek bantuan revitalisasi itu bernar-benar mulai dikerjakan, sebelum bulan puasa lalu. Karena, beberapa media sempat memberitakan pertemuan figur dari kelembagaan Sinuhun dengan Wali Kota, membahas bantuan revitalisasi itu.
Itu berarti, Wali Kota yang mengundang “kedua pihak” di internal kraton yang terlibat friksi di rumah dinas Loji Gandrung, Januari 2023, yang di antaranya “menawarkan” bantuan proyek revitalisasi itu, posisinya sudah “setengah jadi” atau bahkan “sudah jadi”. Artinya, penyusunan perencanaan sudah dilakukan tanpa melibatkan kraton.

Ketika dianalisis lebih jauh, pertemuan Wali Kota (mungkin lebih dari satu kali-Red) dengan figur dari kelembagaan Sinuhun (Suryo Partono) setelah bulan Januari 2023 itu, bisa mengundang banyak tafsir. Salah satunya, hanya membahas “hal lain yang mudah mereka pahami”, bukan soal teknis konstruksi atau detail objek yang dikerjakan.
Oleh sebab itu, pertemuan Wali Kota dengan jajaran “Bebadan Kabinet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng di ruang eks Kantor Sinuhun PB X beberapa waktu sebelum berlangsung Sekaten Garebeg Mulud tahun 2023, memperlihatkan perkembangan lebih lanjut. Yaitu semakin meyakinkan bahwa penyusunan perencanaan proyek mungkin sudah jadi.
Di dalam pertemuan yang juga dihadiri putra mahkota KGPH Hangabehi, KPH Edy Wirabhumi, GKR Ayu Koes Indriyah dan GKR Timoer Rumbai itu, disebutkan sama sekali tidak terjadi diskusi, dialog atau meminta masukan dan pertimbangan. Yang terjadi di forum itu, dengan nada tinggi pertanyaan disodorkan : “Kraton diberi bantuan, mau atau tidak?”.

Proses datangnya bantuan proyek revitalisasi dari penguasa untuk kraton senilai Rp 1,4 T, memang seperti itulah yang sesuai struktur penalarannya, berdasar terminologi bahwa friksi sudah sejak lama ditanamkan di kraton. Atau dengan kata lain, kraton dengan adat dan tradisi serta budayanya (Jawa), adalah bagian yang harus “dihabisi”.
Beberapa analisis itu sangatlah masuk akal dan jauh dari kata berlebihan, ketika menyimak kajian sejarah Dr Purwadi, peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja. Bahwa perilaku kekuasaan yang hingga kini selalu “panas” dan “sengit” menghadapi “sisa-sisa” masyarakat adat, adalah bagian dari skenario besar “order kemerdekaan”.
Dengan menyimak proses panjang posisi kekuasaan dengan masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta, dan juga kraton-kraton lain (anggota MAKN dan FKIKN) yang kini tersisa, seakan memberi “pembenaran” terhadap posisi hubungan kedua pihak di masa kini. Maka, menjadi wajar kalau Wali Kota bersikap seperti itu di hadapan “Bebadan Kabinet 2004”.

Menyadari posisi kraton yang “tidak pernah diuntungkan” sejak peristiwa Proklamasi Kemerdekaan RI, bahkan selalu diupayakan untuk “ditiadakan” itu, sangatlah wajar kalau masih ada tokoh-tokoh yang kini bergabung dalam “Bebadan Kabinet 2004. Dan sangat beruntung, masih ada orang-orang yang bergabung dengan Gusti Moeng untuk “berjuang”.
Oleh sebab itu, sangatlah wajar kalau “perjuangan” yang dipimpin Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa maupun Pangarsa lembaga Dewan Adat (LDA) itu, di satu sisi untuk mendapatkan rasa keadilan bagi kraton yang berjasa mendirikan NKRI. Tetapi di sisi lain, berjuang “menjaga ketahanan budaya bangsa” adalah hal yang lebih penting.
Kraton beratur-ratus tahun sebelum ada NKRI sudah punya bibit masalah rivalitas di saat-saat menjelang terjadi proses alih suksesi, menjadi titik lemah yang justru dipelihara kekuasaan sejak ada NKRI. Oleh sebab itu, munculnya “ontran-ontran” pada tahun 2004, sangat disadari Gusti Moeng untuk bersikap dan mengambil posisi.

Karena kesadaran terhadap hal-hal mendasar itulah, ketika hadir di rapat koordinasi membahas proyek revitalisasi dan mendengar ada kalimat “kraton harus satu suara”, Gusti Moeng sama sekali tidak bereaksi. Apalagi, posisi dan prosesnya sudah dipahami, terutama saat Wali Kota menemui “Bebadan Kabinet 2004” menawarkan bantuan revitalisasi.
Ketika mendapat kesempatan berbicara, Gusti Moeng juga mengungkap hal-hal yang realistik normatif, sebelum menyerahkan risalah masukan/pertimbangan kraton untuk proyek revitalisasi. Sementara KPH Edy Wirabhumi, dengan bahasa “bersayap” menunjukkan apa yang sebenarnya diharapkan kraton dan yang sedang dilakukan kraton.
Cara bersikap Gusti Moeng itu, merupakan bentuk kehati-hatian terhadap “siapa yang sedang dihadapi”. Sementara KPH Edy Wirabhumi, berusaha mendudukkan proses dialog yang mencerminkan rasa keadilan. Ini jelas bentuk “perlawanan” terhadap “cara-cara culas” bergaya “santun”, tetapi hasilnya sama, seperti “nututi layangan pedhot”. (Won Poerwono-bersambung/i1).