Ibarat Recovery, “Tindakan Medis” Sudah Dilakukan, “Dosis” Sudah Ditingkatkan
IMNEWS.ID – ADA beberapa peristiwa yang terkesan tidak disusun atau dirangkai, tetapi terasa menjadi rangkaian berurutan dan berkesinambungan. Selain itu, karena ada unsur urutan tahap, maka beberapa peristiwa yang muncul seperti sebuah proses gradasi dari level rendah di tahap awal, meningkat di level berikutnya sampai tahap akhir, tinggi, level tuntas.
Demikian kira-kira lukisan beberapa peristiwa yang terjadi di Kraton Mataram Surakarta, setidaknya sejak peristiwa “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton” pada 17 Desember 2022. Kalau mulai saat itu Gusti Moeng memimpin Bebadan Kabinet 2004 kembali bisa bekerja penuh di kraton, itulah kira-kira tahap awal sebuah strategi “recovery” level rendah dilakukan.
“Recovery” menjadi istilah yang mendekati tepat, untuk menyebut “kerja keras” yang dilakukan Bebadan Kabinet 2004 dan Lembaga Dewan Adat (LDA) bersama segenap elemennya yang dipimpin Gusti Moeng ketika merawat Kraton Mataram Surakarta, mulai 2022 itu. Karena pada saat itu, kraton dalam keadaan “sakit keras” mengidap berbagai penyakit kronis stadium akut.
Mungkin tak seperti kerja sistematis seorang dokter spesialis, yang memerlukan obeservasi menyeluruh dan total yang disebut diagnosa. Karena, walau selama lebih 5 tahun berada di luar kraton, tetapi kerja-kerja adat masih bisa dilakukan sambil melakukan diagnosa bahkan melakukan “pengobatan” sebisanya, sebagai kelanjutan yang dilakukan sebelum tahun 2017.

Tetapi, kerja-bhakti resik-resik kraton yang digelar mulai 18 Desember 2022 jelas langkah tepat “recovery”, karena ada penyakit yang urgen diobati. Koleksi 18 kotak wayang pusaka yang tak pernah dikeluarkan dalam upacara adat “ngisis ringgit” selama lima tahun lebih (2017-2022), adalah salah satu jenis “penyakit” yang ditangani pertama, Desember 2022 itu.
Seperti diketahui, “ngisis ringgit” atau mengeluarkan anak wayang dari kotak penyimpanan agar mendapat angin segar, adalah upacara adat khas Kraton Mataram Surakarta pada weton Anggara Kasih (Selasa Kliwon). Salah satu tujuan ritual itu, merawat anak wayang agar berumur panjang, tak rusak kena jamur dan tidak rontok karena “getas” oleh pergantian cuaca.
Jadi, peristiwa “insiden mirip operasi militer pada 15 April 2017” itu, adalah upaya pengambil-alihan Kraton Mataram Surakarta yang “berhasil” hanya selama lima tahun lebih, tetapi menimbulkan “banyak penyakit”. Salah satunya, adalah koleksi 18 kotak wayang pusaka berusia 300 lebih yang nyaris rusak parah karena tidak diangin-anginkan selama 5 tahun lebih.
“Recovery” juga dilakukan Gusti Moeng karena “gladen” tari Bedhaya Ketawang yang jadwalnya secara adat tiap Anggara Kasih itu, diduga juga tak berjalan rutin dan baik. Terlebih, para penarinya berasal dari penari dari luar Sanggar Pawiyatan Beksa kraton, alias “comotan” dari wilayah Jogja yang sering menggelar latihan di sebuah garasi mobil.

Dua kisah menyimpang pada weton Anggara Kasih itu, adalah “penyakit serius” yang sudah berjalan selama 5 tahun lebih dan dibiarkan menjadi “kronis”. “Pengobatan” atau “recovery” yang dilakukan Gusti Moeng untuk tari Bedhaya Ketawang, adalah penentuan figur penari yang diizinkan dan ditetapkan untuk tampil pada ritual tingalan jumenengan, Februari 2023.
Proses pengobatan yang diwarnai gejolak saat para penari Bedhaya Ketawang “asli” abdi-dalem sanggar dan penari “comotan” “tak dipakai” Gusti Moeng, waktu itu, ibarat hebohnya seorang anak balita yang meronta-meronta karena takut disuntik dokter. Sajian tari Bedhaya Ketawang pada ritual tingalan jumenengan yang “asal ada”, adalah penyakit “kronis akut”.
Untuk menuju ritual tingalan jumenengan awal tahun 2023, didahului proses “pengobatan” penyakit “friksi” yang berjudul “aksi damai” 3 Januari 2023. “Aksi damai” yang hanya terjadi antara Sinuhun PB XIII dan Gusti Moeng, menjadi bentuk “recovery” yang hanya sekadar “mengurangi rasa sakit” di satu titik, dari sekujur tubuh kraton sudah sakit parah, kronis.
Waktu terus berjalan, peristiwa demi peristiwa terjadi sebagai dinamika di internal strata adat, proses “recovery” menyeluruh terus dilakukan, dan reaksi saat pengobatan juga muncul. Misalnya saat akan dilakukan eksekusi putusan MA RI No.87/Pdt.G/2019/PN Ska yang terbit 29 Agustus 2022 pada medio 2024, ada reaksi ingin menutup kembali semua pintu kraton.

Niat ingin kembali menutup semua pintu kraton dengan alasan Sinuhun akan melakukan meditasi, adalah “penyakit” yang muncul pada 2017 dan hendak diobati medio 2024 itu tetapi “hampir” kambuh lagi. Sebenarnya, figur-figur yang berperan sebagai “penyakit” itu sudah jauh berkurang pada medio 2024, dibanding yang muncul pada gejala-gejala kambuh sebelumnya.
Tetapi, “recovery” memang tidak bisa dilakukan dengan sekali “tindakan medis”, dan selesai tuntas semuanya. Selain sengaja “dipelihara” pihak eksternal, “penyakit” itu tidak bisa diobati dengan “dosis tinggi” apa lagi “tindakan medis”. Selain bisa menimbulkan gejolak, juga bisa memunculkan penyakit baru yang gampang menyebar, karena “dipelintir” dan salah tafsir.
Gejolak itu sudah terbukti ada, dengan munculnya fenomena “Trio Wek-wek” atau “Trio Bebek”. Kemudian rencana menggelar ekspresi yang melukiskan “sedang terjadinya proses estafet”, tetapi gagal dilakukan yang mungkin karena cepat “mendapat pengobatan”. Pengobatan sekaligus tindakan medis yang berskala besar dan “dosis tinggi”, yaitu saat ada “Dekrit LDA”.
“Dekrit LDA” 8 Agustus 2024 melalui ritual haul wafat Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma yang judulnya “eksekusi putusan MA RI No.87/Pdt.G/2019/PN Ska yang terbit 29 Agustus 2022, merupakan tindakan medis yang berskala besar dan “dosis tinggi”. Tetapi mungkin karena “penyakit” friksi dan dualisme ini sudah akut menahun, rupanya “recovery” itu tak berefek.

Karena “recovery” level tinggi dengan dosis tinggi tahap akhir tidak “ngefek”, KPH Edy Wirabhumi (Pimpinen Eksekutif LHKS/Pangarsa Pakasa Punjer) melakukan “tindakan medis” lagi dan meningkatkan “dosis” pengobatan, Rabu (26/3). Surat klarifikasi media dari Gusti Moeng (Pangarsa LDA) disosialisasikan melalui konferensi pers, sebagai peningkatan dosis.
Peningkatan level “tindakan medis” dan dosis pengobatan, tetap disertai kalkulasi yang baik dan tepat. Karena, penyakit “dipacu agar semua muncul ke permukaan”, untuk memudahkan tindakan “lanjutan”. Yaitu, memberi kesempatan Sinuhun PB XIII menggelar Garebeg Syawal, sesuai kontrak perjanjian penggunaan dana hibah APBD yang ditandatanganinya bersama Pemkot. (Won Poerwono – bersambung/i1)