Pernah Menjadi Pusat Dinamika Sosial dan Politik Secara “Nasional”
IMNEWS.ID – PERISTIWA Proklamasi Kemerdekaan RI atau saat lahirnya sebuah negara yang disebut NKRI pada 17 Agustus 1945 atau sekitar 76 tahun lalu, lalu-lintas informasi memang tidak mungkin bisa dibandingkan dengan kemajuan produk teknologi di zaman milenial sekarang ini. Model dan pola komunikasi searah yang menggunakan produk teknologi sangat terbatas (konvensional dan tradisional), jelas menghasilkan informasi yang sangat terbatas pula.
Oleh sebab itu, sangatlah wajar dan tidak mengherankan apabila gegap-gempita dan hebohnya informasi dan pemberitaan di sekitar masa-masa revolusi hingga NKRI lahir, bahkan beberapa saat selepas itu, lebih banyak disaksikan dan didengar oleh kalangan dan jumlah orang dengan jangkauan geografis yang terbatas pula. Karena batas-batas jangkauan komunikasi dan informasi yang searah dan wilayah cakupannya hanya pendek hingga sedang, tentu hanya kalangan tertentu saja yang bisa mendapatkan pesan-pesannya.
Kira-kira, gambarannya seperti itu ketika menganalisis situasi dan kondisi sosial secara umum di Nusantara terutama di kota-kota besar dan sekitarnya, pada sekitar peristiwa Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 terjadi (dari berbagai sumber). Dan suasana seperti itu, sangat mungkin terjadi di Kota Surakarta atau Kota Sala, mengingat kota itu sudah sangat ”mapan” sebagai Ibu Kota sebuah ”nagari” atau negara (kerajaan/monarki) yang disebut Mataram Surakarta Hadiningrat sejak 17 Sura atau 20 Februari 1745 (Dr Purwadi, Lokantara Jogja).
Meski statusnya sebagai Ibu Kota ”nagari” (negara) Mataram Surakarta sejak 17 Agustus 1945 itu dinyatakan ”berakhir” atau selesai sampai saat Sinuhun Paku Buwono XII menyataan ”berdiri di belakang republik” dan menggabungkan wilayahnya ke NKRI, nyaris tidak ada hasil penelitian yang menunjukkan situasi dan kondisi psikologi sosial masyarakat secara umum saat itu yang serta-merta berubah. Karena informasi yang bisa ”dinikmati” kalangan terbatas di kota-kota besar, logika menuntun bahwa sebagian besar kalangan rakyat jelata apalagi yang tinggal jauh dari kota, kecil kemungkinannya bisa ”menikmati” hingar-bingar dan hebohnya orang merayakan ”kemenangan” sekaligus kelahiran NKRI.
Terkesan Dikesampingkan
Mungkin saja, banyak penelitian yang belum sempat atau sudah dibukukan menyebut bagaimana ekspresi dinamika sosial politik masyarakat di tanah Jawa di sekitar 17 Agustus 1945, bila mengingat peran dan arti penting Kota Surakarta bagi dua sepertiga pulau Jawa atau yang kini secara geografis menjadi wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur itu? Bagaimana pula sikap warga ”bangsa Jawa” setelah ”negaranya” (Mataram Surakarta Hadiningrat), boleh dikatakan ”bubar” atau ”berakhir” dan Kota Surakarta atau Kota Sala itu tidak lagi menjadi Ibu Kota ”nagari”, tetapi menjadi sekadar kota biasa yang kemudian bahkan menjadi bagian dari Provinsi Jawa Tengah?
Beberapa hal yang menonjol di atas merupakan persoalan yang menarik untuk dianalisis, bila perlu diteliti lagi oleh kalangan intelektual kampus lintas disiplin ilmu. Sebab, dalam kondisi yang dianggap biasa-biasa saja dan diperlakukan seperti kota yang biasa-biasa saja, bahkan terkesan dikesampingkan, tetapi diam-diam Kota Surakarta atau Kota Sala, setiap saat selalu menjadi bagian perhitungan penting dalam berbagai keperluan dan kebijakan, dalam skala apapun.
Waktu 200 tahun bagi sebuah kehidupan manusia yang sudah memiliki berbagai syarat untuk menata diri menjadi sebuah warga peradaban, melembaga dalam sebuah negara, bangsa, berbahasa, punya wilayah, punya simbol dan segala kebutuhan penunjang secara lengkap, tentu tidak mungkin akan dihapus begitu saja dari bumi dan alam yang menjadi habitatnya. Terlebih, ”peradaban baru” yang berkehendak ingin meniadakan usianya baru 75-an tahun, tetapi memiliki banyak persoalan terutama keragaman atau kebhinekaan dalam banyak hal, karena selama ini tidak dirawat dengan baik.
Terlebih bila mencermati sebagian sisi yang dilukiskan Dr Julianto Ibrahim (FIB UGM) dalam karyanya berjudul ”Wanted. Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan” (2004), secara tidak langsung atau langsung telah melahirkan asumsi publik secara luas untuk menambah asumsi-asumsi yang sebelumnya sudah berkembang di kalangan rakyat. Bahkan, citra atau gambaran tentang perilaku kelompok warga perkotaan yang dilukiskan dalam buku itu, ”seolah-olah” menjadi jawaban atas dinamika perubahan sosial yang terjadi di sekitar ”prahara” berakhirnya Surakarta sebagai Ibu Kota ”nagari” yang sudah terbentuk final selama 200 tahun itu.
Punya Bupati ‘Manca’
Dari karya penulisan sejarah lahirnya kota/kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang diterbitkan Lokantara, Surakarta menjadi Ibu Kota negara Mataram Surakarta Hadiningrat memiliki wilayah kurang lebih 50 daerah kabupaten selama 200 tahun (1745-1945), dan semua pejabat bupatinya dipimpin pejabat yang dilantik Sinuhun Paku Buwono II, meneruskan tradisi yang sudah dimulai sejak keraton beribukota di Kartasura maupun Kutha Gede. Karena letak geografisnya berada jauh di pedalaman, lebih 100 KM dari pelabuhan terdekat di Semarang (Tanjung Emas), Ibu Kota Surakarta memang boleh dikatakan sangat aman, nyaman dan stabilitas ”nasional”nya terjaga baik.
Surakarta sebagai Ibu Kota negara Mataram yang dikelilingi pagar alam berupa Gunung Merapi dan Merbabu di bagian barat, Gunung Lawu di bagian timur yang juga menjadi pagari batas secara spiritual, kemudian punya batas spiritual ”alas” (hutan) Krendawahana di bagian utara serta pegunungan Kendeng Selatan serta Samudera Kidul sebagai batas spiritual di selatan, membuat posisinya mapan, matang, memiliki kelengkapan daya dukung dan berumur sangat panjang dibanding negara-negara kerajaan atau monarki sebelumnya, baik di era Mataram (Kutha Gede-Kartasura), pra-Mataram maupun pra maupun pasca-Majapahit, apalagi Kediri atau sebelumnya.
Apa yang dilukiskan buku ”Wanted. Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan” (2004) dan ”Suara Nurani Keraton Surakarta” (Dr Sri Juari Santosa/FMIPA UGM-2002) memang tidak mewakili suasana sikap, pola pikir dan perasaan masyarakat di sekitar peralihan berakhirnya Ibu Kota Surakarta ke masa republik saat itu. Tetapi dari dua buku itu sudah bisa melukiskan bagaimana suasana sikap, pola pikir dan perasaan masyarakat di kota-kota besar saat itu, yang sesungguhnya nyaris bertolakbelakang dengan suasana sikap, pola pikir dan perasaan masyarakat yang tinggal jauh dari kota-kota besar yang sudah lama menikmati suasana peradaban (Mataram-Jawa) yang sudah berjalan 200 tahun itu.
”Saya hanya ingin menunjukkan saja, bahwa sebenarnya ada fakta-fakta sejarah yang tidak boleh dikesampingkang. Bahkan fakta itu menunjukkan kebesaran Kota Surakarta, yang pernah menjadi Ibu Kota nagari atau negara Mataram Surakarta Hadiningrat samapi 200 tahun lamanya. Negara Surakarta punya 50-an pejabat bupati ‘manca’, yang mengelola daerah di wilayah yang kini disebut Provinsi Jateng dan Jatim. Jadi, bukan main”.
”Surakarta ini dulu Ibu Kota negara selama 200 tahun. Maka, kota ini selalu dipandang penting, selalu diperhitungkan. Karena, pernah menjadi pusat dinamika sosial, politik, ekonomi, hukum dan sebagainya secara nasional (Mataram),” jelas Dr Purwadi selaku Ketua Lokantara, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin. (Won Poerwono-bersambung)