Kudus Masih Punya Beberapa Besalen, Teknologi Metalurgi Peradaban Jawa Sangat Tinggi
IMNEWS.ID – DI Kabupaten Jepara memang baru diketahui ada empu muda yang punya Besalen Bendo Wangen, peralatan kerjanya modern dan sudah “dirangkul” KP Bambang S Adiningrat (Ketua cabang) menjadi anggota keluarga Pakasa Cabang Jepara. Ada rentang waktu yang panjang bila diketahui ada Empu Sura, yang diperkirakan eksis di Kabupaten Jepara tahun 1800-an.
Referensi yang didapat KP Bambang S Adiningrat itu bisa menunjukkan, bahwa nama Empu Sura pernah mengelola besalen dan melayani berbagai keperluan kekuasaan dan masyarakat di tahun 1800-an. Sementara, pejabat Bupati Jepara yang sangat dikenal setelah Ratu Kalinyamat, adalah Adipati Tjitrasoma I mulai tahun 1705, yang berlanjut hingga Tjitrosoma VII.
Pada saat besalen melayani kebutuhan kekuasaan dan rakyat di masa Bupati Adipati Trjitrosoma I memimpin Kabupaten Jepara, Sinuhun PB I jumeneng nata di “negara” Mataram (Islam) yang berIbu-Kota di Kartasura, tahun 1705-1719. Urutan benang merah potensi “industri” senjata tradisional di Jepara, “terputus” sekitar dua abad, sampai Empu Tumaji itu muncul.
Mengenai mata rantai “indsutri ketrampilan rumahan” yang memproduksi senjata tradisional terutama keris, ternyata di Kabupaten Kudus memiliki potensi lebih besar dibanding Kabupaten Jepara, tetangganya. Potensi itu bahkan sudah muncul sejak zaman Sunan Kudus (abad 14-15), yang terus berlanjut hingga kini, jumlahnya masih banyak dan nyaris tanpa putus.
Sebuah buku berjudul “Keris Jawa; Bilah, Latar Sejarah, Hingga Pasar” yang ditulis Drs MT Arifin SU di Surakarta, tahun 2006, banyak menyajikan berbagai hal tentang keris yang menyangkut ciri-ciri fisik, ragam-macam, senjata tradisional sejenis, informasi pasar/bursa dan sedikit asal-usul yang menyinggung unsur kesejarahan awal-mula munculnya.
Tetapi, dalam buku setebal lebih 400 halaman itu nyaris tidak dijelaskan untuk keperluan apa keris dan berbagai jenis senjata tradisional itu diciptakan? Untuk keperluan siapa keris dan sebagainya itu diciptakan? Yang tentu saja akan merujuk pada zaman lembaga kekuasaan saat besalen dan empu menciptakan keris berdaulat atas segala isi “negaranya”.
Zaman adanya lembaga kekuasaan yang ada saat besalen beraktivitas dan para empu berkarya, tentu menjadi sebuah prinsip yang bisa dijadikan pedoman atau patokan. Drs MT Arifin hanya menyertakan gambaran singkat arah pergantian generasi empu dari zaman Majapahit ke Mataram, dan melukiskan ramainya bursa keris di sekitar Alun-alun Lor di awal tahun 2000-an.
Pendekatan lembaga kekuasaan sebagai penanda batasannya, jelas sangat realistis dan rasional kalau hanya ingin berbicara soal keris dan berbagai jenis senjata tradisional lain produk empu dan besalen di masa lalu. Karena, sebelum ada NKRI atau sebelum 17-8-1945, pulau-pulau yang tersebar di Nusantara itu “bukan tanah tak bertuan yang tak ada pemiliknya”.
Tetapi, terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil hingga besar yang jumlahnya sampai 250-an lembaga “negara”, walau bentuknya “monarki” atau kerajaan. Jadi, salah besar kalau ada yang menyebut sebelum 17 Agustus 1945 adalah zaman “jahiliyah”, hanya karena alasan NKRI belum ada, maka “sesat” kalau segala macam produk sebelum 1945 disebut produk zaman jahiliyah.
Walau sebelum 1945 belum ada NKRI, bukan berarti sama sekali tidak ada negara. Semua produk budayanya ratusan tahun selama Mataram saja, juga bukan berarti produk di luar otoritas “wilayah negara”. Karena sejak didirikan Panembahan Senapati (1588-1601) dan eksis hingga kini, mulai Kediri, Majapahit, Demak dan Pajang itu semua “negara” (monarki).
Keberadaan negara di masa lalu, secara sekilas disinggung Drs MT Arifin mengenai mata rantai perjalanan besalen dan empu keris dari zaman Majapahit ke Mataram. Bila ditegaskan dengan pendekatan otoritas kekuasaan atas wilayah “negara”, tentu akan menjadi jelas, karena semakin menunjukkan bahwa besalen dan keris, berkembang pesat di zaman Mataram.
Kalau dalam sistem persenjataan (tradisional), keris dan sebagainya adalah karya metalurgi/logam peradaban Jawa yang sudah sampai puncaknya dan tertinggi. Tetapi menurut Gus Muwafiq (Jogja), peradaban Jawa mencapai puncak tertinggi, saat teknologi metalurgi (logam) diwujudkan alat musik gamelan yang terdiri instrumen diatonis, Slendro dan Pelog.
Sebagai senjata tradisional, Drs MT Arifin menyebut sejak Mataram Kuno di lereng barat Gunung Merapi sudah ditemukan sebuah prasasti yang melukiskan sosok manusia abad 5 Masehi memgang benda tajam mirip keris. Itulah bentuk awal yang kemudian bertransformasi ke wujud keris, yang dituntaskan menjadi “Duwung” dan “Wangkingan” pada zaman Mataram abad 16.
Dalam pandangan “Kyai” yang juga intelektual Islam itu, peradaban Jawa sudah sangat tinggi sejak Islam masuk ke tanah Jawa, terutama pada zaman para Wali Sanga syi’ar agama. Analisis berikut menjelaskan, ketika Islam yang masuk ke tanah Jawa, “terbawa juga” produk teknologi metalurgi senjata tradisional, di saat produk peradaban Jawa sudah lebih tinggi.
Ada berbagai alasan yang membuat beda penggunaan teknologi metalurgi saat itu, tetapi fakta tingginya peradaban Jawa yang diwakili itu sulit dielakkan. Dan mungkin karena berbagai alasan itu pula, karya teknologi metalurgi dalam wujud gamelan (Jawa) yang sudah diakui Unesco sebagai heritage dunia itu, dalam berbagai hal kini menjadi kalah populer dari keris. (Won Poerwono – bersambung/i1)