Karena Pandemi Belum Berlalu, Ponorogo Batal Kirim 90 Dhadak-Merak

  • Post author:
  • Post published:December 9, 2021
  • Post category:Budaya
  • Post comments:0 Comments
  • Reading time:8 mins read

Satu Wilayah Pakasa Saja, Punya Kebhinekaan yang Luar Biasa

IMNEWS.ID – KERATON Mataram Surakarta yang pernah menjadi ‘’nagari’’ (negara) selama 200 tahun (1745-1945), kini memang tinggal sebagai lembaga masyarakat adat pelestari peradaban Mataram dan budaya Jawa, karena sudah menjadi bagian dari NKRI sejak 17 Agustus 1945. Namun, pengalamannya sebagai sebuah ‘’negara’’, tentu tidak mungkin salah apabila diyakini publik sudah memiliki potensi kebhinekaan yang beragam, misalnya seperti yang diperlihatkan Lembaga Dewan Adat (LDA) saat menggelar ‘’Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’ selama sepekan hingga Minggu (5/12) lalu (iMNews.d, 6/12).

Dan, gelaran event yang mempertontonkan berbagai jenis seni pertunjukan serta kegiatan kirab budaya yang berlangsung selama sepekan itu saja, sudah bisa membuktikan betapa besar potensi kebhinekaan yang ada, apalagi kalau berbicara dalam skala Nusantara. Yang lebih membanggakan, dengan mencermati sajian Pakasa Cabang (Kabupaten) Ponorogo (Jatim) saja, sudah tampak betapa potensi kebhinekaan itu dimiliki wilayah sampai yang terkecil, setingkat kabupaten.

Pakasa Cabang Ponorogo yang dikenal dengan sebutan Pakasa Kabupaten ‘’Gebang Tinatar’’, sudah jauh mendahului sebagai ‘’daerah istimewa’’ karena potensi kebhinekaan seni budayanya. Itu sangat sangat masuk akal, karena sebelum menjadi wilayah sebaran peradaban Mataram (sejak Amangkurat Agung/1645-1677-Red), sejak abad 14 sudah mendapat pengaruh peradaban Majapahit, bahkan Kediri di abad 12.

PENGURUS PAKASA : KRRA MN Gendut Wreksonagoro (tengah) selaku Ketua Pakasa Cabang bersama para pengurus dan warga Paguyuban Reog Pakasa Ponorogo, saat berada dalam barisan mengikuti kirab budaya ‘’Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’ yang diberangkatkan dari halaman Pendapa Pagelaran Sasanasumewa, Minggu sore itu(5/12).(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Telaah kesejarahan yang dilakukan Dr Purwadi selaku Ketua Lokantara Pusat (Jogja) yang mengungkap lahirnya Kabupaten Ponorogo, sangat meyakikan adanya fakta bahwa sebelum menjadi wilayah Mataram, daerah itu menjadi wilayah Majapahit yang memiliki benang merah kuat peradaban sebelumnya, yaitu Kediri. Oleh sebab itu, pantas saja di wilayah Gebang Tinatar, dan bahkan wilayah-wilayah di sekitarnya yang berdekatan (Trenggalek, Nganjuk, Ngawi, Pacitan dsb), masih terasa sekali nuansa peradaban Majapahit/Kediri di samping Mataram, baik berdiri sendiri-sendiri maupun sudah dalam format percampuran (kolaborasi/akulturasi).

Lihat saja wujudnya selama sepekan gelar ‘’Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’ itu, Pakasa Ponorogo memperlihatkan unsur-unsur peradaban Majapahit yang divisualkan dengan tokoh seorang raja dari Keraton Bantarangin dan wadyabalanya yang menjadi satu unit dengan dhadhak merak reog. Di sisi lain, seni Kethek Ogleng dan ksatria menunggang ‘’jaran kepang’’ (kuda lumping) dan para pendukung dalam unit jaranan, tampak sekali unsur-unsur peradaban Mataram yang masuk wilayah ‘’Mataraman’’ kemudian (abad 16-Red).

Jadi, dengan menyaksikan sajian reog dengan semua pendukung unit dan kethek ogleng bersama unit jaranannya, itu sudahmenunjukkan kekayaan seni budaya yang bhineka di Kabupaten Ponorogo. Padahal, itu baru dua atau tiga repertoar tari. Belum lagi ketika masuk ke drama tari yang secara khusus mengisahkan Keraton Bantarangin, yang konon lokasinya berada di Banyuwangi sebagai utusan Majapahit untuk menaklukkan penguasa yang ‘’mbalela’’ (membangkang), pasti akan semakin berwarna-warni dan makin indah kebhinekaan lokalnya.

BARU DIBERANGKATKAN : Beberapa di antara 27 unit dhadhak-merak reog dari Pakasa Cabang Poorogo dan Cabang Sukoharjo, saat baru diberangkatkan dari halaman Pendapa Pagelaran Sasanasumewa, Minggu sore itu(5/12), untuk menyusuri rute kirab budaya ‘’Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tetapi, mengingat suasana pandemi masih terjadi dan belum berlalu, maka keanekaragaman seni budaya yang menjadi potensi Pakasa Gebang Tinatar, tidak mungkin bisa dipersembahkan di ajang ‘’Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’. Padahal, sedianya KRRA MN Gendut Wreksonagoro hendak mengerahkan 90 unit dhadhak-merak beserta para pendukungnya untuk beraksi ‘’menghangatkan’’ Kota Solo, sambil memaknai usia 90 tahun organisasi yang pernah didirikan Sinuhun PB X itu.

‘’Tetapi, kami bisa memaklumi situasinya yang masih pandemi. Setelah kami pertimbangkan bersama penyelenggara (Pangarsa Punjer Pakasa), kami putuskan hanya 20 unit reog saja yang kami persembahkan. Kami juga bisa mengerti, bahwa protokol kesehatan tetap harus dikedepankan. Momong perasaan orang banyak lebih penting,’’ ujar KRRA MN Gendut menjawab pertanyaan iMNews.id melalui kontak telepon, tadi pagi.

Rencana mengirim 90 unit reog itu, bahkan sebenarnya sudah dikonsultasikan dengan Bupati Ponorogo Giri Sancoko SE MM, karena Pemkab menyatakan mendukung penuh kegiatan yang digelar LDA Keraton Mataram Surakarta dalam memperingati Hari Jadi Pakasa itu. Ini jelas sebagai respon positif atas hubungan baik yang terjalin selama ini, karena sejak beberapa tahun lalu, LDA Keraton Mataram Surakarta di bawah kepemimpinan Gusti Moeng, selalu mendukung penuh hampir setiap kegiatan Pemkab Ponorogo.

TANDA IKATAN : Penyerahan cinderamata miniatur reog dari Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko kepada Gusti Moeng , selain karena ada peringatan ultah ke-64 (Tahun Jawa) Ketua LDA Keraton Mataram Surakarta itu, juga sebagai tanda ikatan silaturahmi, juga simbol ikatan secara kultural dan historial antara masyarakat Ponorogo dengan  Mataram.(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sejak beberapa waktu lalu, Pemkab Ponorogo selalu menggelar hari jadinya dengan kirab budaya yang menyertakan simbol-simbol asal-usul, yaitu Mataram yang direpresentasikan dengan keikutsertaan beberapa bregada prajurit yang dikirim LDA Keraton Mataram Surakarta. Begitu pula ketika Pemkab menyambut datangnya Tahun Baru Hijriyah 1 Muharam, keterlibatan prajurit keraton itu pasti, apalagi datangnya hari besar itu selalu dimaknai dengan menyambut Tahun Baru Jawa, karena kalender itu diciptakan pendiri Mataram Islam, Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma.

Dukungan Pemkab Ponorogo terhadap upaya-upaya untuk membawa nama besar dan kekayaan daerahnya agar makin dikenal publik lebih luas lagi, memang menjadi contoh edukatif bagi kalangan pamong wilayah lain. Terlebih, apabila pamong wilayah bisa memahami bahwa ada organisasi Pakasa yang cabangnya berdiri di berbagai daerah, fungsi dan tugasnya jelas untuk bermitra dengan para pamong wilayah dalam rangka melestarikan seni budaya yang menjadi potensi, kekhasan dan kebesaran wilayah tersebut.

Kelihatannya, Bupati Sugiri Sancoko benar-benar sadar bahwa keberadaan Pakasa Cabang Gebang Tinatar di satu sisi dan besarnya potensi kekayaan seni budaya di sisi lain, ibarat wadah dan isinya, adalah dua hal yang sangat bermanfaat untuk kemaslahatan dan kemakmuran masyarakatnya. Bahkan, kebesaran nama daerah karena potensi kebhinekaannya, bisa menjadi tiket jitu bangsa dan negara ini, ketika ‘’berdiplomasi’’ atau berkomunikasi dengan dunia luar, dari tingkat regional, nasional, bahkan internasional.

UNSUR-UNSUR MATARAM :  Tampilnya ‘’gemblak’’ atau para penari jaran kepang yang merupakan bagian dari unit seni reog yag dipersembahkan Pakasa Cabang Ponorogo pada kirab budaya ‘’Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’, jelas sekali memperlihatkan usur-unsur peradaban Mataram yang sudah dirangkai secara kolaboratif dan akulturatif dengan unsur-unsur Majapahit/Kediri. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Karena kepuasaan yang terganjal oleh keadaan pandemi, maka warga Pakasa Gebang Tinatar jelas menunggu saat-saat untuk melepas dahaga beraksi dalam seni, seperti yang ditunjukkan dalam ‘’Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’ itu. Bupati Sugiri Sancoko beserta seluruh pamong wilayah dan masyarakatnya, termasuk Pakasa Cabang Ponorogo, tentu sudah berangan-angan untuk menumpahkan hasrat yang tertahan, ketika ada event serupa pada 2022 nanti, apalagi bumi Nusantara sudah bersih dari pandemi Corona.

Ketika menyaksikan 27 dhadhak-merak gabungan dari Pakasa Ponorogo (20 unit) dan Pakasa Cabang Kabupaten Sukoharjo (7 unit) saja, kawasan seputar Gladag dalam radius 1 atau 2 KM sudah heboh, apalagi kalau benar-benar ‘’digerojog’’ 90 unit reog. Karena, tiap unit dhadhak-merak, sedikitnya dilengkapi 20 orang yang bertugas sebagai penari Bojang-Ganong, Gemblak yang cantik-cantik sambil menunggang ‘’jaran kepang’’ serta Kethek-Ogleng.

Bagaimana riuhnya apabila 90 unit reog dengan semua pendukungnya, beraksi di sepanjang jalan depan Balai Kota hingga Alun-alun Lor, terlebih ketika di sepanjang jalan itu dipasang sound system untuk memperluas suara gamelan khas reog, dengan suara kendang yang ‘’ngaplak’’ dan nada tinggi terompet yang sangat tajam. Kemarin (Minggu 5/12), hanya 27 unit reog, sebenarnya sudah bisa bikin pemandangan sepanjang jalan depan Balai Kota hingga alun-alun heboh. Tetapi, hujan deras yang datang sebelum ‘’para warok’’ itu sempat beraksi pukul 16.00-an, menjadi urung hiburan gratis tetapi sangat berkualitas itu. (Won Poerwono)

Leave a Reply