Mungkin Satu-satunya yang Ada dan Diselenggarakan Dengan Benar
SURAKARTA, iMNews.id – Lembaga pendidikan informal Sanggar Pasinaon Pambiwara milik Kraton Mataram Surakarta, Minggu (17/12) pagi hingga siang tadi menggelar pendadaran atau ujian akhir para siswanya “babaran” (angkatan) 40 tahun 2023. Tahun ini sanggar yang menggunakan simbol Bangsal Marcukunda, kembali menggelar program pendidikan hingga ujian secara penuh.
Proses belajar-mengajar selama 6 bulan kembali memanfaatkan Bangsal Marcukunda, sedangkan proses “pendadaran” memanfaatkan Bangsal Smarakata yang posisinya berhadap-hadapan di dalam kraton, seperti yang berlangsung Minggu pagi hingga siang tadi. Ujian siang tadi, merupakan kelanjutan dari yang digelar tadi malam (Sabtu, 16/12) di tempat yang sama.
“Karena jumlah tenaga pengujinya tidak cukup serta beberapa pertimbangan lain, pelaksanaan pendadaran dibagi dua kali. Tadi malam diuji 34 orang. Dan pendadaran sekarang diikuti 48 orang. Ada 4 siswa yang karena berbagai halangan, minta menyusul mengikuti pendadaran tambahan,” jelas Gusti Moeng selaku Ketua Yayasan Pawiyatan Kabudayan Kraton Mataram Surakarta.
Sambil menunggu jalannya pendadaran di Bangsal Smarakata, Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat yang punya nama lengkap GKR Wandansari Koes Moertiyah yang sempat “ngobrol” dengan iMNews.id menyebutkan, mulai tahun 2023 ini proses belajar-mengajar hingga pendadaran dan tinggal wisudanya bisa berjalan penuh di dalam kraton.
“Kebetulan, tahun ini para siswanya rata-rata punya kemampuan dan kesiapan lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya. Babaran 40 yang mengikuti pendadaran ini juga berasal dari ‘pang-pang’ (cabang-sabang) sanggar di berbagai daerah. Ada yang dari Semarang dan di Jatim ada Kabupaten Tulungagung, Blitar dan Malang,” sebut Gusti Moeng.
Sementara itu, proses pendadaran 48 siswa dari pagi hingga siang tadi berlangsung lancar dan mengesankan adanya proses pendidikan di bidang budaya Jawa yang benar-benar serius dan diselenggarkan secara benar, bukan asal ada atau hanya secara formalitas seperti yang ada di setiap jurusan Sastra Daerah dan Fakultas Ilmu Budaya di sejumlah universitas yang ada.
Di Bangsal Smarakata, terdapat 5 “dwija” (guru) penguji termasuk KPH Raditya Lintang Sasangka, Ketua Sanggar Pasinaon Pambiwara sekaligus sebagai penguji. Mereka ini menguji satu persatu siswa soal penguasaan tentang tata bahasa Jawa, paramasastra, penguasaan berbagai jenis gending Jawa yang biasa digunakan dalam resepsi pengantin dan sebagainya.
Di dekat deretan ujian yang dilakukan secara lesehan duduk beralas karpet di lantai Bangsal Smarakata, ada mikropun dengan tiang penyangganya yang secara bergilir digunakan untuk ujian berpidato memberi penjelasan atau menjelaskan berbagai hal yang berkait dengan tatacara upacara adat pengantin Jawa gaya Surakarta.
Untuk sampai di tiang mikropun, para siswa peserta yang dipanggil harus “laku dhodhok” atau berjalan jongkok dari tempatnya duduk “lesehan” bersama para peserta ujian lainnya. Sesudah menjalankan presentasi dalam bahasa Jawa, juga harua “laku dhodhok” untuk menuju meja “dwija” penguji berikutnya.
Durasi presentasi yang bebas memilih tema, mulai dari tatacara “pasrah pengantin”, penjelasan soal “Kembar Mayang”, “atur pambagya” dan sebagainya itu, dibatasi penguji sekitar 5 menit. Dari isi presentasi yang disampaikan masing-masing peserta ujian, termasuk permintaan jenis gending yang diinginkan untuk mengiringinya yang tertuju pada operator atau “soundman”.
Kata “operator”, “soundman” ataupun “mixerman”, memang tidak dikenal dalam gelar tatacara adat pengantin Jawa pada umumnya atau gaya Surakarta khususnya. Karena, masih istilah “juru pitaswara” yang merujuk pada teknologi soundsystem pada zaman teknologi penyimpan rekaman suara berupa kaset, tetapi belum diaktualisasi dan diberi nama baru ketika berganti digital.
Saat seorang peserta diuji menyampaikan presentasinya dengan Bahasa Jawa, ada enam dwija yang memberikan penilaian di depannya. Sementara, KP Budayaningrat dan seorang dwija, duduk lesehan di bawah lantai Bangsal Smarakata, untuk menerima siswa peserta yang mendapat giliran diuji penguasaan tentang tata busana Jawa.
“Melihat pelaksanaan ujian ini dan proses edukasi di Sanggar Pasinaon Pambiwara, ini satu-satunya sanggar pendidikan di luar sekolah umum bahkan tidak dimiliki lembaga sekolah negeri di berbagai jenjang. Karena, jurusan Sastra Daerah dan Fakultas Ilmu Budaya di berbagai universitas yang ada, kebanyakan hanya formalitas, untuk urusan mengejar nilai,” jelas Dr Purwadi.
Selama dua tahap penyelenggaraan pendadaran, peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja yang sekaligus selaku ketuanya itu, hadir mengikuti jalannya ujian, baik Sabtu malam (16/12) maupun Minggu (17/12) pagi hingga siang tadi. Dr Purwadi menyebut, Sanggar Pasinaon Pambiwara di kraton, mungkin satu-satunya sekolah swasta yang diselenggarakan dengan benar.
Menurutnya, para pengajarnya tidak main-main memberikan pengetahuan apapun tentang budaya Jawa dan sejarah Mataram Surakarta sebagai sumber budaya itu. Karena, para siswanya dituntut tidak sekadar mengerti dan tahu, tetapi benar-benar memahami makna dan arti tiap kosa kata dan apa saja yang masuk dalam budaya Jawa, bahkan tentang sejarah Kraton Mataram Surakarta.
“Proses pendidikan di sanggar ini benar-benar serius. Karena orientasinya adalah penguasaan materi yang bisa diwujudkan dalam kehidupan sehari hari. Dan yang datang ke sini, adalah publik secara umum, berbagai profesi. Berbeda yang ada di perguruan tinggi, rata-rata ‘kan yang mengejar nilai akademis,” tunjuk Dr Purwadi.
Apa yang disebut Dr Purwadi sebagai proses edukasi yang serius itu, diungkapkan KPH Raditya Lintang Sasangka selaku dwija penguji maupun ketua sanggar. Pidato penutupan pendadaran yang disampaikan, mengevaluasi secara umum yang dilakukan para peserta pendadaran, karena diharapkan setiap siswa yang lulus benar-benar mengasai pengetahuan yang diajarkan.
Gusti Moeng bahkan juga menyinggung, bahwa pengetahuan pambiwara yang didapat dari sanggar milik kraton ini, harus benar-benar dipahami dan dikuasai untuk diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, yang bahkan bisa menghasilkan keuntungan secara materi kalau dijadikan sebagai profesi “MC” atau juru pambiwara.
Namun, KPH Raditya juga menjelaskan, belakangan ini banyak sanggar di luar yang mengaku berasal dari kraton dan banyak juru pambiwara lulusan dari luar kraton tetap lebih suka “ngedhep” atau merujuk sebagai lulusan Sanggar Pambiwara Kraton Mataram Surakarta. Itu berarti, banyak yang suka dengan label kraton atau di luar sana label kraton lebih banyak dipandang.
“Tetapi jangan hanya mengejar label kraton saja. Nama atau label kraton harus benar-benar dipertangungjawabkan ketika panjenengan semua sudah berpraktik di tengah masyarakat. Harus benar-benar mampu mewujudkan, bahwa produk atau lulusan sanggar dari kraton, benar-benar bisa dijamin kualitasnya”.
“Label kraton jangan sampai justru dipertaruhkan, karena bisa merugikan nama kraton. Juru Pambiwara dari kraton, harus benar-benar punya kemampuan dan kualitas lebih dari yang lain,” pinta Gusti Moeng. Dalam sambutannya, dia juga menjelaskan berbagai hal yang berkait antara upaya pelestarian budaya dan perlakuan negara terhadap kraton.
Menjawab pertanyaan iMNews.id, Gusti Moeng pernah mempertimbangkan saran untuk membuka lembaga akademi yang khusus mempelajari secara khusus budaya Jawa dan pengetahuan pendukungnya. Namun, saran itu tidak diwujudkannya, karena untuk menyiapkan para dwija pendidiknya perlu proses lama dan biaya besar, begitu pula justru akan mempersempit peminatnya.
Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat itu juga mengatakan, kini di luar kraton hanya ada “pang” (cabang) sanggar di Semarang untuk wilayah Jawa Tengah dan beberapa “pang” di Jatim. Menurutnya, operasional cabang sanggar membutuhkan tenaga dan bisaya besar, dan pertimbangan jumlah animo calon siswanya.
Di Jatim, ada cabang lebih dari satu karena animonya siswanya besar dan rata-rata berasal dari daerah pedalaman yang masuk wilayah “Mataraman”. Sedang dari wilayah Jateng sendiri sangat kecil daya tariknya belajar di Sanggar Paninaon Pambiwara, karena disebutkan bahwa rata-rata warga pesisir tidak butuh menguasai budaya Jawa dengan baik. (won-i1).