Berbusana Adat Lengkap, Bisa Meyakinkan Publik dan Membuat “Kecelik” Pihak Seberang
IMNEWS.ID – TAHAPAN proses “menuju puncak” masih sangat banyak harus dilalui “Bebadan Kabinet 2004” dan Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat secara kelembagaan, juga figur-figur penting secara pribadi seperti Gusti Moeng dan para tokoh muda khususnya KGPH Hangabehi. Karena, tahapan “menuju puncak” tidak hanya menyangkut lembaga dan pribadi tertentu, melainkan banyak tokoh lain di luar kelembagaan inti yang menjadi elemen Lembaga Dewan Adat (LDA), juga bagaimana sinergi bisa dilakukan dengan kelembagaan lain di luar “Bebadan Kabinet 2004”.
Untuk itu, ketika KGPH Hangabehi bersama sejumlah kerabat sentana, organisasi Putri Narpa Wandawa, elemen Bregada Prajurit kraton dan Pakasa Cabang Pati bersinergi menyukseskan acara kirab budaya pada puncak event haul Kyai Ageng Ngerang di Desa Trimulyo, Kecamatan Juwana, Rabu siang (4/10), itu adalah bagian dari tahapan proses dimaksud di atas. Sebab, proses seperti itu sangat dibutuhkan bagi seorang KGPH Hangabehi dan semua kelembagaan elemen LDA pendukungnya, bahkan seharusnya sudah menjadi kewajaran atau justru keharusan dijalin jauh-jauh hari.
Tetapi, upaya meniti tahapan proses bersinergi dengan masyarakat adat Pakasa Cabang Pati sudah dicoba dan dimulai, hasilnya positif meskipun belum maksimal mengingat sosok KGPH Hangabehi masih merupakan wajah baru atau “pendatang baru” di kalangan masyarakat adat di Kabupaten Pati. Mengingat proses tahapan butuh intensitas yang semakin meninggi untuk menjadi relasi keluarga besar, sangat diperlukan rutinitas hadir bergilir di semua titik lokasi makam leluhur Dinasti Mataram yang menggelar ritual serupa di wilayah Kabupaten Pati, begitu juga di banyak wilayah kabupaten lain, bahkan lintas provinsi.
Membangun legitimasi terhadap upaya menjaga kokohnya tata-nilai paugeran adat, salah satunya bisa dilakukan dengan hadir di tengah-tengah masyarakat adat yang sedang menggelar ritual haul atau sejenisnya, selain pada kegiatan upacara adat di internal Kraton Mataram Surakarta. Karena, menjaga kokohnya paugeran adat di internal dan eksternal kraton harus seimbang agar masing-masing juga saling melegitimasi, dan akumulasi itu tertuju pada titik tertinggi kepemimpinan di pusat kelembagaan masyarakat adat yang kini mulai menjadi perhatian besar para tokoh yang berkepentingan.
Karena kebutuhan legitimasi berjenjang dan kompak bersinergi di lingkungan internal, di lingkungan eksternal dan antara internal dengan eksternal kraton, maka momentum penertiban jalannya upacara terutama yang menyangkut tatacaranya pada pelaksanaan Garbeg Mulud Sekaten 2023 sudah sangat tepat. Bahkan menurut KP Budayaningrat, sudah saatnya langkah penertiban yang dilakukan Gusti Moeng didukung penuh, agar pelaksanaan semua upacara adat bisa kembali menggunakan tata-nilai paugeran adat sepenuhnya. Karena, ada potensi kesengajaan melakukan pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan sekelompok orang yang selalu mengatasnamakan sebagai “aturan Sinuhun PB XIII”.
“Waktu Kanjeng (KPH) Lintang (Raditya Lintang Sasangka-Red) menegur abdi-dalem Bupati (Gantungseba-Red) yang melaporkan sowanipun para abdi-dalem di Bangsal Smarakata, malah dijawab ‘aturanipun Sinuhun PB XIII’ sakmenika ngaten. Yang menjawab orang-orang dari lingkungan Sinuhun yang mendampingi abdi-dalem Bupati itu. Ini ‘kan sudah kacau. Tatacara pelaporan dalam pisowanan di kraton, harus menggunakan paugeran, tembung kedhaton. Yaitu tembung dengan irama ngumbang, seperti ditembangkan. Ini menjadi cirikhas kraton. Akan kehilangkan cirikhas, kalau kraton malah meniru tatacara di luar kraton,” tandas KP Budayaningrat.
“Dwija” (guru) Sanggar Pawiyatan Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta itu sering mengkritisi penggunaan tatacara paugeran adat pada pisowanan-pisowanan yang menyertai jalannya upacara adat di kraton, tetapi selalu dibantah dengan alasan bahwa aturan yang berlaku sekarang adalah aturan Sinuhun PB XIII. Penyimpangan yang sering dilihatnya saat mengikuti pisowanan, juga sering disampaikan kepada Gusti Moeng sebagai masukan. Ketua MGMP Bahasa Jawa SMA se-Jateng itu berharap, agar Gusti Moeng selaku pihak yang berwenang untuk menertibkan penyimpangan dan meluruskan penggunaan tata-nilai aturan adat.
Dalam pandangannya, penggunaan tatacara dan ageman busana kebesaran secara lengkap dalam pelaksanaan puncak acara Sekaten Garebeg Mulud 2023 sudah komplet dan tak ada yang ditinggalkan. Menurutnya, perubahan atau inovasi bisa diterima dalam pelaksanaan setiap tatacara upacara adat di kraton, tetapi harus ada alasan yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan serta tidak merubah atau merusak esensi upacara adat tersebut. KGPH Hangabehi selaku pimpinan utusan-dalem, sudah tepat mengenakan busana kebesaran “ageman Kampuhan Sampir/Ngumbar Kunca Kepangeranan”, dan para kerabat sentana mengenakan “Kampuhan Kepuh Sampir”.
“Saya dan tim yang mendandani Kajeng Gusti (KGPH Hangabehi-Red) dan para pendamping serta penderek (pengikut-Red). Karena saya yang ‘nongsong’ (memayungi-Red), saya juga menyesuaikan dengan busana ‘Kampuhan Kepuh Ukel’ yang memang sesuai untuk saya. Jadi, karena keinginan Gusti Wandan (Gusti Moeng-Red) untuk mengembalikan pada tatacara adat sepenuhnya, maka kami juga sepakat untuk mendukung. Mulai saat ini, kami membantu mengurus keperluan itu. Ini sangat baik dan tepat. Karena sudah seharusnya mulai ditertibkan. Terutama tatacara penggunaan busana adat dalam upacara-upacara abesar,” tandas RM Restu Setiawan menjawab pertanyaan iMNews.id, yang meminta konfirmasinya, kemarin.
Karena ada penertiban yang termasuk masif, penggunaan busana adat dalam puncak ritual hajad-dalem Garebeg Mulud Sekaten 2023 kemarin, tampak sangat indah karena hampir semua yang terlibat mengenakan busana kebesaran sesuai kepangkatannya. Urutan tatacara secara adatpun tampak runtut dan tepat, sehingga sangat meyakinkan publik sebagai sebuah kebenaran berlakunya sistem tata-nilai adat khas yang dimiliki Kraton Mataram Surakarta. Penampian seperti ini, secara tidak terduga membuat “kecelik” pihak “seberang” yang terpaksa menyingkir karena gagal menguasai “panggung”, akibat penampilannya tidak meyakinkan. (Won Poerwono-habis/i1).