Setiap Bagian dari Produk Peradaban, Diberi Haknya, Punya Nama
IMNEWS.ID – ADA banyak kata kunci yang disebut Kyai Ahmad Muwafiq dalam ceramah tausyiyahnya yang inti garis besarnya menggambarkan bagaimana Islam bisa masuk ke tanah Jawa dan bagaimana pertemuan antara peradaban Islam dan peradaban Jawa bisa terjadi (iMNews.id, 30/8/2023). Yang pertama disebut bahwa penyebaran Islam di tanah Jawa di di berbagai wilayah di Nusantara, diyakini dilakukan oleh para ahlinya (ahli agama dan ahli syi’ar-Red), yang dalam peradaban Hindu disebut golongan “Brahmana”. Ketika bertemu dengan peradaban Jawa, proses penyebaran kemudian dilakukan para ahlinya pula, yaitu Wali Sanga.
Para tokoh Wali Sanga yang muncul beriringan dengan berdirinya Kraton Demak (abad 14) menjadi kata kunci berikutnya, karena mereka menjadi “agen” penyebaran (agama) sekaligus “agen” perubahan, yang mempertemukan peradaban Islam dan Jawa dalam dalam kehidupan sosial kultur kemasyarakatan. Sedangkan Raja Mataram ke-3 Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma melegalisasi pertemuan dua peradaban itu dalam bentuk produk kebijakan pemerintahan monarki yang dipimpinnya, salah satunya adalah pemberlakuan kalender Jawa hasil akselerasi antara Tahun Saka dengan Tahun Hijriyah.
“Jadi, sungguh bijaksana Sultan Agung. Raja yang memang benar-benar cerdas dan agung. Karena bisa menggabungkan antara Tahun Saka dan Hijriyah menjadi Tahun Jawa, yang di dalamnya menggunakan bulan Sura, bukan Muharam. Kalau tetap menggunakan Muharam, akan mengalami kesulitan untuk menerima, ketika di lingkungan masyarakat Jawa, terutama di kraton, ada banyak pusaka, di antaranya kebo Kiai Slamet. Di sini (kraton-Red) banyak sekali ‘kiai’, karena semua pusaka punya nama ‘kiai’. Seperti saya juga bisa repot, karena saya juga disebut ‘Kyai’,” tunjuk Gus Muwafiq mencontohkan dirinya.
Tetapi itulah kearifan peradaban Jawa, yang menurutnya bisa membedakan antara para “Kyai” dan para “Ustadz” dalam cara-cara penyebaran agama. Para “Kyai” banyak dikenal selain menguasai agama, juga sangat memahami budaya Jawa. Oleh sebab itu seakan disimpulkan, bahwa keberhasilan para Kyai menyebarkan agama di lingkungan masyarakat Jawa, karena sangat memahami budaya Jawa. Dalam melukiskan bagaimana para tokoh agama bisa melakukan syi’ar di kalangan masyarakat Jawa, karena seperti dimasukkan ke dalam peradaban Jawa yang sedalam-dalamnya hingga mendapat gelar “Kyai”.
“Oleh karena itu jangan buru-buru menghakimi. Karena masyarakat Jawa punya peradaban yang tinggi. Hampir semua yang berada dalam kehidupan peradabannya, diberikan haknya dan punya nama. Coba perhatikan, yang sehari-hari kita makan itu, waktu masih ditabur atau disemai, diberi hak nama winih, ketika tumbuh besar menjadi pari. Ketika dipanen menjadi gabah, batangnya diberi nama dami dan tangkainya disebut merang. Gabah diselep jadi beras, yang kecil menir dan serbuknya diberi nama katul. Sedangkan sisanya disebut dedak. Ini menandakan peradaban Jawa sangat tinggi. Semua bagian diberi nama,” jelasnya lagi.
Gus Muwafiq yang oleh petugas pambiwara (MC) KP Siswanto Adiningrat dikenal dengan Kyai Gondrong karena memang punya rambut yang dibiarkan memanjang, lalu kembali menandaskan bahwa apa yang ada dalam peradaban Jawa sebagai tanda-tanda tingginya peradaban, belum tentu ada di peradaban lain di dunia ini. Menurutnya, peristiwa atau kecelakaan yang sering dikenal dengan sebutan “jatuh” saja, dalam peradaban Jawa punya nama atau istilah banyak sekali, tergantung bagaimana posisi “jatuhnya”. Kalau terlentang ya “kelumah”, kalau jatuh ke belakang ya “kegeblag”, kalau ke depan ya “kejongor” dan sebagainya.
Berbagai istilah atau nama dalam terminologi insiden jatuh yang begitu banyak ragamnya, sama banyaknya dalam terminologi membawa (Bahasa Indonesia-Red). Karena ada istilah “nyangking”, “nyengkiwing”, “ngempit”, “ngindhit”, “nggendhong”, “mondhong”, “ngemban”, “mikul”, “nyunggi” dan sebagainya yang maknanya saling berbeda sesuai cara membawanya. Sampai sebegitu jauh para Wali lebih dulu memahami peradaban/budaya Jawa dan kebiasaan unik dalam setiap gerak kehidupannya untuk dimengerti dan dipahami, sebelum agama disebarkan.
Kebanyakan para ustadz, mengalami kesulitan untuk masuk ke dalam (peradaban/masyarakat-Red) Jawa. Maka, sering salah menyebut dan memahaminya. Karena tidak mau masuk dan mengerti (ngerti-Red), mengetahui (weruh-Red) dan jawa terhadap esensi perabaan/budaya Jawa. Di bulan Sura, orang Jawa melakukan puasa dan prihatin dengan berbagai simbol-simbol peradabannya. Jangan dikatakan syirik, bit’ah dan sebagainya. Karena, Sultan Agung memberi edukasi bahwa tanggal 10 Sura atau 10 Muharam, adalah hari berkabung atau bulan berkabung, karena cucu Nabi Muhammad SAW yang bernama Sayiddina Husein itu wafat”.
Pembelaan Kyai Ahmad Muwafiq ini memang termasuk “berani” karena yang bersangkutan tampak sekali menguasai hampir semua hal yang berkait dengan peradaban Islam dan Jawa serta sejarah perjalanan masing-masing di tanah Jawa ini. Penjelasan-penjelasan dan “pembelaan” seperti itulah yang kini sangat dibutuhkan masyarakat adat Jawa, warga peradaban Jawa yang lebih luas, dan juga keluarga besar masyarakat adat Dinasti Mataram Surakarta. “Keberanian” seperti itu memang butuh waktu dan kematangan untuk muncul, walau sebenarnya ada yang sudah terlewatkan, karena banyak sekali simbol-simbol peradaban yang harus dijelaskan dan harus ada “yang bisa” menjelaskan.
Kini, kerusakan dan kerugian yang dialami simbol-simbol peradaban Jawa sudah begitu banyak, karena ada yang seharusnya tidak perlu dirusak dan dimusnakan, tetapi seolah dibiarkan karena tidak ada yang “berani menjelaskan” atau tidak “berani” melawan potensi perusakan. Tausyiyah Kyai Ahmad Muwafiq, terasa baru setetes diberikan, tetapi sudah memberi kekuatan untuk menjelaskan banyak hal yang sebelumnya “samar-samar” atau bahkan tidak bisa dijelaskan. Seandainya ceramah itu punya banyak waktu, “beberapa tetes” lagi pasti sangat diharapkan, ruang diskusi untuk menjangkau berbagai persoalan peradaban Jawa yang dihadapi dewasa ini juga bisa diciptakan. (Won Poerwono-bersambung/i1)