Komunitas “Wanita Bersanggul Berkebaya Indonesia” Ingin Bergabung ke Dalam Putri Narpa Wandawa

  • Post author:
  • Post published:June 5, 2024
  • Post category:Regional
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Komunitas “Wanita Bersanggul Berkebaya Indonesia” Ingin Bergabung ke Dalam Putri Narpa Wandawa
MULAI BERDATANGAN : Para anggota Komunitas Wanita Berkebaya dan Bersanggul Indonesia, tampak mulai berdatangan masuk gedhong Sasana Handrawina dan langung disambut Gusti Moeng selaku tuan rumah, Minggu pagi (2/6). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Banyak yang Terperangah, Seolah Tidak Percaya Fakta Sejarah yang Dibeberkan Gusti Moeng

SURAKARTA, iMNews.id – Sebagian besar di antara 100-an rombongan anggota Komunitas “Wanita Bersanggul Berkebaya Indonesia” (WBBI), sampai terperangah mendengar “sesorah” GKR Wandansari Koes Moertiyah yang membeberkan soal fakta-fakta sejarah perjalanan Kraton Mataram Surakarta. Terutama mengenai peran dan manfaat kraton secara kelembagaan dan para tokohnya, sebelum hingga berada di alam NKRI.

Ungkapan tentang minimnya informasi tentang Kraton Mataram Surakarta, tentang adat dan tradisi di dalam kraton yang hingga kini masih berjalan termasuk kewajiban semua masyarakat adat berkebaya dan bersanggul dalam menjalankan upacara adat di kraton, menjadi alasan yang masuk akal ketika rombongan tamu kraton itu terlibat tanya-jawab dengan GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng.  

Sesi tanya-jawab itu terjadi setelah sekitar 100 rombongan komunitas itu diterima di “gedhong” Sasana Handrawina, Minggu pagi sekitar pukul 10.00 WIB. Untuk kali pertama, kraton menerima kunungan “gerakan” perempuan berkebaya dan bersanggul yang sudah melembaga dalam Komunitas WBBI dan diketuai Nyonya Rida Jauhari dan dikawal Nyonya Sri Rahayu sebagai penasihatnya.

MEMBERI SESORAH : Gusti Moeng memberi “sesorah” di depan 100-an anggota Komunitas Wanita Berkebaya dan Bersanggul Indonesia yang menjadi tamunya di gedhong Sasana Handrawina, Minggu pagi (2/6). Kunjungan itu dalam rangka silaturahmi dan bersinergi dalam upaya pelestarian seni budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Komunitas yang anggotanya identik dengan gender perempuan itu, ternyata diinisiasi dan didirikan seorang oleh Rishandono yang nota bene seorang laki-laki yang tinggal di Kota Surabaya. Dalam laporannya, Nyonya Rida Jauhari selaku Ketua KWBBI menyebutkan sudah punya anggota ratusan orang yang tersebar di 18 Koordinator Wilayah se Nusantara.

Dalam sesi tanya-jawab itu, Nyonya Rida Jauhari mengungkapkan keinginannya agar komunitas yang dia pimpin bisa bersinergi dengan Kraton Mataram Surakarta, karena memiliki visi dan misi yang sama, yaitu untuk melestarikan salah satu bidang budaya Jawa. Menanggapi keinginan itu, Gusti Moeng menyatakan senang sekali dan mengarahkan agar bergabung ke organisasi Putri Narpa Wandawa.

“Organisasi Putri Narpa Wandawa adalah organisasi perempuan pertama yang dilahirkan pada zaman Sinuhun PB X jumemeng nata. Tetapi, awalnya kalangan anggotanya adalah para istri atau anggota kerabat sentana. Tujuannya waktu itu, untuk menyalurkan aspirasi kaum perempuan. Pada perkembangannya kini, organisasi itu bisa aktif kembali untuk mewadahi kaum perempuan masyarakat adat”.

MEMBRI SAMBUTAN : Nyonya Rida Jauhari selaku Ketua Komnuitas Wanita Berkebaya dan Bersanggul Indonesia, menyampaikan laporan sekaligus memberi sambutan mengenai maksud kedatangan komunitas di Kraton Mataram Surakarta, Minggu pagi (2/6). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Sekarang, cabang-cabang Putri Narpa Wandawa baru beberapa, termasuk di Kabupaten Ponorogo (Jatim). Kalau kalangan anggota KWBBI ingin bergabung, itu bagus sekali. Tetapi kalau di kota/kabupaten yang belum ada organisasi itu, bisa mendirikan yang baru. Nanti kita carikan figur sentana yang bisa menginisiasi. Kalau mau bergabung ke Pakasa cabang, juga bisa,” tunjuk Gusti Moeng.

Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Pangarsa Lembaga Dewan Adat (LDA) itu menyarankan untuk masuk ke dua organisasi tersebut, karena berbagai pengetahuan tentang budaya Jawa mudah didapat dari situ. Semua kegiatan yang dilakukan, misalnya bentuk-bentuk pelatihan cara berkebaya dan bersanggul, menjadi bagian dari bidang pelestarian seni budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta.

Menururt Gusti Moeng, yang sedang menjadi inti kegiatan gerakan perempuan berkebaya dan bersanggul itu, masuk dalam kategori pengetahuan tata-busana. Padahal, Sanggar Pasinaon Pambiwara dan Sanggar Pawiyatan tata-Busana dan Paes Penganten gagrag Surakarta, bisa memberi lebih banyak dan luas tentang budaya Jawa, dari sekadar bersanggul dan berkebaya.

MENERIMA CINDERAMATA : Gusti Moeng menerima cinderamata bunga tangan dari rombongan ibu-ibu anggota Komnuitas Wanita Berkebaya dan Bersanggul Indonesia yang berkunjung di kraton dan diterima di gedhong Sasana Handrawina, Minggu pagi (2/6). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Menyinggung sedikit soal bersanggul, Gusti Moeng menyebut bahwa di kraton ada dua kategori sanggul yang boleh dipakai oleh orang-orang yang memenuhi syarat adat di dalam kraton. Yaitu sanggul tekuk untuk kalangan abdi-dalem dan sanggul berhias aksesori warna hijau tua yang hanya dikenakan kalangan keluarga dan kerabat. Untuk wanita lajang, beda lagi, tetapi sekarang jarang dilakukan.

Dalam pandangannya sesuai dengan adat yang berlaku di kraton, wanita bersanggul sudah pasti dipahami sebagai wanita berkebaya, karena akan dianggap lucu kalau ada wanita bersanggul tanpa mengenakan kebaya. Tetapi Gusti Moeng bisa memahami, dua istilah itu dipahami sebagai dua hal terpisah, karena akan dijadikan strategi daya tarik dalam proses sosialisasinya.

“Saya justru berterimakasih kepada komunitas ibu-ibu ini. Karena kami anggap ikut membantu kraton dalam upaya pelestarian budaya Jawa. Saya juga sering menyinggung hal ini, ketika saya diminta berbicara di berbagai forum. Saya katakan, sekarang kaum wanita khususnya ibu-ibu tidak lagi berkebaya dan bersanggul, karena takut pada suaminya,” ujar Gusti Moeng lagi.

BERFOTO BERSAMA : Ibu-ibu anggota Komnuitas Wanita Berkebaya dan Bersanggul Indonesia diajak Gusti Moeng berfoto bersama sebagai penutup kunjungan silaturahmi komunitas yang diterima di gedhong Sasana Handrawina, Minggu pagi (2/6) itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam sesorahnya, Pangarsa Yayasan Pawiyatan Kabudayan Kraton Mataram Surakarta juga menyinggung tentang RUU Perlindungan Masyarakat Adat yang sudah sekitar 5 tahun masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tetapi tidak kunjung disahkan sebagai UU. Perjalanan yang alot itu sudah ia duga, karena sejak dulu pemerintah memang tidak berpihak pada perlindungan masyarakat adat.

Sebagai salah satu contoh, Kraton Jogja justru menghendaki aksara “Murda” atau huruf besar pada aksara Jawa untuk dihilangkan atau ditiadakan. Menurutnya, gagasan itu jelas teladan yang tidak baik dan karena durhaka pada nenek-moyang atau leluhurnya sendiri. Dengan dihilangkannya aksara “Murda”, generasi mendatang akan semakin kesulitan membaca naskah manuskrip di kraton.

Gusti Moeng juga sempat mengisahkan dirinya sebagai wanita satu-satunya yang berani menentang “sabda” ayahandanya, Sinuhun PB XII, karena mengizinkan investor yang hendak membangun hotel di Tursinapuri, yang dekat dengan Pendapa Sasana Sewaka. Ia bahkan memimpin perjuangan melawan berbagai pihak yang ingin melindas dan menghapus budaya Jawa serta Kraton Mataram Surakarta. (won-i1).