Wisuda Lulusan Pasinaon Tata Busana & Paes Kraton, Resepsi Kedua Sejak Berdiri (seri 2-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:May 17, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Wisuda Lulusan Pasinaon Tata Busana & Paes Kraton, Resepsi Kedua Sejak Berdiri (seri 2-bersambung)
MEMBERI SAMBUTAN : RM Restu Setiawan (kandidat doktor) selaku Ketua "Pasinaon Tata Busana Jawi Saha Paes" kraton, saat memberi sambutan dalam upacara wisuda 18 orang lulusan di Hotel KSPH, Senin malam (8/5). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Mengedukasi Publik Secara Luas Tentang Tatacara Adat di Dalam dan Di Luar Kraton

IMNEWS.ID – UPACARA wisuda “purnawiyata” atau lulusan “Pasinaon Tata Busana Jawi Saha Paes Penganten Karaton Surakarta Hadiningrat” yang digelar lembaga kursus bersama Yayasan Pawiyatan Kabudayan Kraton Mataram Surakarta di Hotel KSPH, Senin malam (8/5), selain sebagai bentuk publikasi dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan informal itu, terasa ada nilai manfaat di bidang edukasi yang terselip di dalamnya. Melalui berbagai media mainstream dan platform yang berkembang dewasa ini, publik secara luas juga ikut diedukasi dan mengetahui hal-ikhwal tatacara adat pernikahan.

Tak hanya itu, publik secara luas juga semakin banyak mendapat informasi tentang kaidah-kaidah yang tepat tentang tacaracara adat penyelenggaraan upacara pernikahan dalam adat Jawa, lebih khusus lagi gaya Surakarta. Melalui proses belajar-mengajar selama 6 bulan yang diselenggarakan lembaga kursus milik Kraton Mataram Surakarta itu, bahkan bisa diketahui informasi tentang perbandingan tatacara adat pernikahan gaya Surakarta dengan gaya yang lain, bahkan antara gaya Surakarta di luar kraton dengan yang hingga kini masih dilakukan di dalam kraton.

BUSANA KASATRIYAN : Busana pengantin lelaki “Kasatriyan” juga diperkenalkan dan ditawarkan kepada publik secara luas, melalui peragaan busana pengantin di sela-sela upacara wisuda 18 orang lulusan di Hotel KSPH, Senin malam (8/5). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam kesempatan upacara wisuda di Hotel KSPH malam itu, diperlihatkan contoh-contoh penggunaan busana sesuai urutan rangkaian tatacara upacara adat di dalam kraton, baik Sinuhun Paku Buwana yang menggelar hajad “mantu” seorang putrinya, maupun menikahkan seorang putranya. Karena, tacara dan upacara adat pernikahan yang berlaku di kraton, semua rangkaian urutannya sama baik untuk putra-dalem maupun putri-dalem, karena kraton tidak ada resepsi “ngundhuh mantu” seperti yang berkembang di tengah masyarakat Jawa.

Contoh-contoh busana yang dipamerkan, dimulai dengan yang dipakai untuk tatacara “siraman”, yaitu mengenakan busana basahan yang berwarna dominan putih, baik bagi calon pengantin wanita maupun calon pengantin lelaki. Kemudian busana untuk tatacara “midadareni” yang terkesan masih longgar motif busananya dan kelengkapan yang dikenakannya. Malam itu, calon penganti putri dicontohkan dengan stelan busana kembang-kembang merah-hitam dan hijau, sementara calon pengantin lelaki mengenakan “beskap sikepan cekak” warna putih.

BUSANA KAPANGERANAN : Busana penganti lelaki “Kapangeranan” yang secara adat masih digunakan di dalam kraton, juga diperkenalkan dalam peragaan busana pengantin di sela-sela upacara wisuda 18 orang lulusan di Hotel KSPH, Senin malam (8/5). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ketika berlangsung ijab atau tatacara upacara untuk memenuhi aturan agama (Islam), yang berlaku di dalam kraton hingga kini hanya diperlihatkan di tempat upacara hanya calon pengantin lelaki yang diperlihatkan mengenakan dodot an busana beskap Langenharjan. Dalam kesempatan itu dipresentasikan, bahwa busana Langenharjan adalah nama yang diberikan oleh Sinuhun PB IX saat KGPAA Mangkunagoro VII sowan ke Pesanggarahan Langenharja (kini masuk Kabupaten Sukoharjo-Red). Waktu sowan, Sang Adipati mengenakan busana jas khas bangsa Eropa yang dilubangi ujung belakangnya.

Tatacara adat ini sangat jelas bedanya antara gaya Surakarta yang berkembang di masyarakat Jawa khususnya atau di luar kraton dengan yang selama ini dilakukan di dalam kraton. Tatacara adat “midadareni” dari kata “widada” (widodo-Red) yang maknya selamat dan kata “ari” dari kata atau maknanya “hari”, bila di dalam kraton hanya diperlihatkan calon pengantin lelaki, tetapi di luar kraton bisa diperlihatkan keduanya, terpisah di satu tempat atau beda tempat.

GADUNG-MELATI : Busana “Kampuhan Gadung-Melati” yang di dalam kraton dikenal sebagai upacara adat “Bhayangkari” bagi putri-dalem atau calon “garwa prameswari” raja, menjadi contoh yang paling favorit ditiru masyarakat. Busana itu kembali diperkenalkan di sela-sela upacara wisuda 18 orang lulusan di Hotel KSPH, Senin malam (8/5). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Urutan berikut setelah “midadareni”, biasanya menginjak hari pernikahan yang berbeda waktu atau hari dengan saat “midadareni”. Pada saat inilah, diperkenalkan kembali busana Langenharjan untuk calon pengantin pria dan busana kebaya untuk calon pengantin wanita. Tetapi busana Langenharjan yang dikenakan calon pengantin lelaki, dipadu dengan “kuluk mathak” yang warnanya sama dengan beskap, yaitu hitam. Sedangkan calon penganti perempuan yang sudah mengenakan hiasan “cundhuk mentul” di sekitar sanggulnya, mengenakan kebaya warna putih.

Pilihan berikut yang bisa diambil dalam tatacara perkawinan adat jawa di luar kraton, selain Beskap Langenharjan bisa Beskap Kasatriyan, yang bahkan bisa dijadikan pengganti saat ada kirab. Di dalam kraton, semua itu dipakai sesuai urutan tatacara dan upacaranya. Sesudah itu, juga ditawarkan pilihan busana beskap “Kapangeranan”, yaitu busana khas untuk calon pengantin lelaki “pangeran putra-dalem”, sedangkan calon pengantin perempuan kebaya panjang dengan untaian bunga melati yang panjang pula menjuantai ke depan dari sanggul sampai di atas lutut.

“BANGO TULAK” : Busana “Kampuhan Gadung-Melati” yang hanya diperlukan untuk upacara adat “Bhayangkari” bagi putri-dalem atau calon “garwa prameswari” raja, kini dikembangkan publik di luar kraton untuk acara “ngundhuh mantu” dengan sedikit merubah warna dasarnya, lalu disebut busana “Kampuhan Bango Tulak”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Masih ada tiga jenis busana yang sering digunakan dalam upacara pernikahan di dalam kraton, yang salah satunya menurut Ketua “Pasinaon” RM Restu Setiawan disebut “upacara adat “Bhayangkari”. Upacara adat ini sebenarnya hanya khusus untuk “putri-dalem”, dan busana yang dikenakannya juga khusus, yaitu “dodotan”. Tetapi, upacara adat “bhayangkari” seperti itu, bisa diperlakukan juga untuk seorang calon pengantin perempuan yang diambil sebagai “garwa permaisuri” Sinuhun Paku Buwana yang jumeneng nata. Bila hanya “upacara ijab” atau “bukan Bhayangkari”, berarti “bukan garwa prameswari”.

“Iya, Betul. Jadi, tatacara adat sesuai paugeran yang ditaati di kraton sejak dulu, kalau seseorang mau dijadikan garwa prameswari, sejak masih gadis atau usia muda sudah dilindungi atau disengker. Setelah itu, akan menjalani proses tatacara berikutnya. Di antaranya, adalah upacara adat pernikahan ‘Bhayangkari’, yang disaksikan semua unsur dan elemen kerabat di kraton. Jadi, calon prameswari itu benar-benar pilihan. Asal-usul adatnya harus jelas. Proses tatacara adatnya harus juga jelas. Tidak boleh sembarangan,” tandas Gusti Moeng membenarkan pernyataan “Gus Nowo”. (Won Poerwono-bersambung/i1)