Fitnah Keji “Membantai” Ribuan Santri Disebarkan, Karena Iri Kebesaran Sinuhun Amangkurat Agung (seri 3 – habis)

  • Post author:
  • Post published:August 19, 2023
  • Post category:Regional
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Fitnah Keji “Membantai” Ribuan Santri Disebarkan, Karena Iri Kebesaran Sinuhun Amangkurat Agung (seri 3 – habis)
IKHLAS MERAWAT : Gusti Moeng dan putra mahkota KGPH Hangabehi, dua di antara beberapa gelintir tokoh internal kerabat tak hanya tulus dan ikhlas merawat dan menjaga nilai-nilai peninggalan para leluhurnya, tetapi juga berani "membela" dan "melawan" yang merendahkan martabat kraton. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tugas Berat Memulihkan Nama Baik, dalam Proses Perdamaian yang “Semu”

IMNEWS.ID – MASIH banyak lagi hal positif yang memberi banyak manfaat bagi peradaban yang ditinggalkan hingga ini, dari temuan hasil penelitian dan kajian yang dilakukan Dr Purwadi (iMNews.id, 16/8/2023), dari kebesaran dan “keagungan” seorang Sinuhun Amangkurat I. Temuan tentang ketokohan Sang Amangkurat Banyumas yang juga disebut Sang Amangkurat Tegal itu, bahkan mengindikasikan begitu bermaknanya karya dan jasa-jasanya bagi peradaban. Oleh sebab itu, sangat tidak adil kalau ada yang tega membunuh karakter Raja Mataram ke-4 yang terhormat ini dengan tuduhan keji, telah “membantai” ribuan santri.

Benar sisi pengharapan Dr Purwadi dalam kalimat adagium Jawa yang disertakan dalam judul tulisannya yang berbunyi “Becik ketitik, ala ketara”. Adagium ini merupakan salah satu bentuk kepasrahan dari kearifan “wong Jawa”, ketika sulit atau tidak kuasa menemukan atau mengembalikan kebenaran, karena yang dihadapinya adalah sebuah kekuatan dan kekuasaan besar yang membahayakan bagi keselamatannya. Namun, di balik kepasrahan itu ada keyakinan, bahwa suatu saat yang benar-benar baik atau kebaikan itu akan muncul dengan sendirinya, begitu pula sifat-sifat buruk atau keburukan yang pernah menutupinya, juga muncul dengan jelas.

CALON PEMIMPIN : Putra mahkota KGPH Hangabehi adalah calon pemimpin Kraton Mataram Surakarta di masa depan yang sejak muda dibimbing dan diarahkan untuk selalu menjaga kewibawaan, harkat dan martabat peninggalan para leluhur Dinasti Mataram. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam berbagai kesempatan bertemu di kalangan internal masyarakat adat, baik di dalam maupun di luar Kraton Mataram Surakarta, Gusti Moeng sering mengungkapkan sikapnya yang transendental itu. Sikap pasrah kepada yang “Maha Murah” dan “Maha Pencipta”, seakan menyempurnakan perjuangannya untuk “membela” nama baik dan keluhuran para leluhurnya, yang telah direndahkan harkat dan martabatnya. Sementara, hanya dengan dukungan moral, doa dan simpati swadaya yang tulus ikhlas berkorban, Gusti Moeng juga harus menghadapi banyak pihak yang tidak peduli dan tidak punya sikap, termasuk dari lingkungan keluarga besar masyarakat adatnya sendiri.

Kalau dipetakan, Gusti Moeng tampil melakukan perlawanan dan pembelaan bersama beberapa gelintir kerabat serta masyarakat adat yang peduli, tampil melakukan perlawanan dan pembelaan di satu sisi, sementara di sisi lain adalah keluarga besar dari putra/putri-dalem berada pada dua posisi. Posisi pertama adalah mereka yang tidak peduli tetapi berusaha menghalang-halangi sambil saling berebut “pundi-pundi” bantuan pemerintah, dan posisi betikutnya adalah mereka yang tidak peduli dan pasif. Sementara, ada pemilik skenario besar yang punya kekuatan dan kekuasaan yang mendukung salah satu di antara dua posisi itu.

DUKUNGAN NYATA : Hampir semua warga masyarakat adat yang setia hadir mengikuti jejak Gusti Moeng selama ini, adalah wujud dukungan nyata yang tulus ikhlas dan rela berkorban untuk tujuan yang jelas, bukan dukungan semu karena dibiayai (APBD) dan tak jelas tujuannya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dengan membaca peta itu, menjadi sangat dilematis posisi Gusti Moeng yang tampil “melawan” untuk “membela” kehormatan para leluhurnya, khusus Sinuhun Amangkurat Agung, karena salah satu yang dihadapi atau penghalangnya adalah kalangan keluarga besar atau kerabatnya sendiri yang berada di depan mata. Sementara, di belakangnya berdiri kekuatan dan kekuasaan yang punya skenario besar untuk “menenggelamkan” Mataram khususnya Surakarta. Lalu, di mana letak posisi peristiwa “perdamaian” yang telah dicapai pada 3 Januari 2023 lalu? Apa makna “perdamaian” untuk upaya “perlawanan” dan “pembelaan” Gusti Moeng ini?

Kesempatan bertemu yang semakin banyak terjadi seperti ketika berlangsung upacara adat “Gantos Langse” Astana Pajimatan Tegalarum, Minggu (13/8), adalah proses pemahaman yang masih punya nilai efektivitas baik, ketika “pembelaan” dan “perlawanan” itu dilancarkan Gusti Moeng. Terlebih, di situ ada orang-orang yang merepresentasikan pihak kekuasaan yang kurang-lebih gampang memahami apa yang diungkapkan Gusti Moeng. Karena di antara esensi yang ditandaskan, adalah penjelasan tentang nilai-nilai keagungan Sang Amangkurat dan nilai-nilai manfaat dalam banyak hal yang telah ditinggalkan.

DUKUNGAN TOTAL : Abdi-dalem drg Fitri Nursapti Puspaningrum SpBM, adalah salah satu contoh warga masyarakat adat yang rela berkorban memberi dukungan total, hampir di setiap Gusti Moeng menggelar ritual “Gantos Langse” di makam Amangkurat Tegalarum. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Proses perjalanan “perdamaian” yang telah dicapai antara Sinuhun PB XIII dengan adik kandungnya, GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng pada 3 Januari 2023 bisa dicermati untuk melihat dengan jernih apa yang sebenarnya terjadi kemudian. Upacara adat tingalan jumenengan (16/2/2023) sudah jelas memperlihatkan “keterbelahan” tari Bedaya Ketawang dan keberadaan abdi-dalem prajurit, begitu pula ketika datang event ritual “Malem Selikuran” dan beberapa ritual selama di bulan Sura, Jimawal 1957, mulai dari kirab pusaka (20/7), pentas wayang “Suran” hingga ritual ganti selambu Amangkurat Tegalarum.

Proses “perdamaian” yang sudah berjalan 8 bulan, kini lebih tepat diibaratkan dengan sebutan “berada/hidup serumah” tetapi menjalankan misi masing-masing di jalan masing-masing. Tetapi yang membedakan, di satu pihak menjalankan misi ideal berpedoman tata-nilai aturan paugeran adat yang didukung dengan pengorbanan swadaya yang tulus ikhlas serta punya tujuan ideal. Sementara pihak yang lain, menjalankan misi mencari pundi-pundi dari bantuan APBD atau sejenisnya, yang sama sekali tidak punya tujuan ideal, karena tergetnya hanya kepentingan pribadi.

TANPA PAMRIH : Banyak orang-orang yang tanpa atau jauh dari “pamrih”, dengan sukarela datang secara swadaya, tulus ikhlas mendukung hampir di setiap Gusti Moeng menginisiasi dan memimpin ritual Kraton Mataram Surakarta, salah satunya adalah Dr Purwadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dengan melihat konstruksi peta “perdamaian” serta proses perjalanannya selama ini, maka jelaslah bagaimana berat perjuangan Gusti Moeng dan para pengikutnya yang setia dan tulus ikhlas walau harus mengeluarkan uang pribadi untuk membiayai segala aktivitas untuk mendukung perjuangan mengembalikan kehormatan, harkat dan martabat Kraton Mataram Surakarta serta nama baik para tokoh leluhur Dinasti Mataram. Para pendukung itu, bukan tipe orang-orang yang tiba-tiba merasa terhormat dengan gelar “Kanjeng Pangeran” pemberian atau “anon-anon”, yang tidak jelas asal-usulnya dan tidak jelas manfaatnya bagi kraton, apalagi bagi pelestarian budaya Jawa.

Menjadi sangat bermakna dan bangga serta jelas sekali manfaatnya, apa yang selama ini dirasakan KMT drg Fitri Nursapti Puspaningrum SpBM. Walau sangat sibuk, abdi-dalem ini tetap hadir bersama keperluan logistik yang dibutuhkan untuk ritual “Gantos Langse” makam Amangkurat Tegalarum yang diinisiasi Gusti Moeng, seperti yang dilakukan Minggu (13/8) lalu. Dia bukan Ketua Pakasa cabang, juga bukan pejabat di kraton, tetapi kesetiaannya mengabdi dan mendukung idealisme penegakan paugeran adat, pengembalian kewibawaan, harkat dan martabat Kraton Mataram Surakarta, tak perlu diragukan lagi, karena sudah jadi kewajibannya. (Won Poerwono-habis/i1)