Refleksi 79 Tahun NKRI, Sinuhun PB X Mulai Merintis “Dukungan”, dari Miangas Hingga Pulau Rote (seri 3 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:August 22, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Refleksi 79 Tahun NKRI, Sinuhun PB X Mulai Merintis “Dukungan”, dari Miangas Hingga Pulau Rote (seri 3 – bersambung)
SEBAGAI SIASAT? : Begitu Proklamasi Kemerdekaan RI diundangkan dan Sinuhun PB XII menyatakan Kraton Mataram Surakarta mengakui dan mendukung itu, due Soekarno-Hatta selalu mengajak Sinuhun PB XII untuk berkeliling di berbagai wilayah di Tanah Air. Apakah cara pencitraan ini sebagai siasat? (foto : iMNews.id/Dok)

Eksistensi NKRI “Sangat Berkepentingan” dengan Eks “Nagari” Mataram Surakarta

IMNEWS.ID – MELAKUKAN refleksi atas peristiwa lahirnya NKRI pada 79 tahun lalu, bukan berarti hanya mengenang aktivitas heroik pertempuran fisik para laskar dan siapapun yang mengangkat senjata melawan penjajah. Karena, yang disebut gerakan revolusi sampai dikumandangkan pidato Proklamasi Kemerdekaan 17/8/45 itu, bukan hanya urusan mengusir penjajah saja.

Pada tulisan seri sebelumnya disebut, aktivitas pertempuran melawan penjajah (Jepang dan Belanda) memang dilakukan para laskar (bersenjata) dan siapapun yang tergerak dan peduli melawan penjajah. Kemudian, wilayah yang disebut “dibebaskan” dari penjajah dan “dimerdekakan”, sebenarnya sudah ada yang punya secara sah oleh masyarakat adat, jauh sebelum 1945.

Kini setelah 79 tahun berlalu, generasi bangsa dan pemerintahnya semakin jauh meninggalkan hal-hal yang sebenarnya perlu dipahami dan dipedomani. Karena, realita yang lebih tampak berlangsungnya peringatan HUT RI di sudut kampung di wilayah mana saja dan di lembaga mana saja, rata-rata hanya bentuk selebrasi yang lebih menekankan bobot kemeriahan perayaannya.

ANDIL DARI KRATON : Berdirinya “Tugu Lilin” di ujung simpang-tiga Kampung Penumping, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, adalah bukti nyata hasil gerakan merintis kemerdekaan yang dilakukan Sinuhun PB X (1893-1936). Dia mengumpulkan tanah dan air dari seluruh wilayah di Nusantara, ditanam di bawah tugu monumental itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Narasi-narasi pidato sambutan pada upacara 17-an dan sarasehan menyambut detik-detik proklamasi, lebih banyak hanya  melukiskan “dramatisasi” para pahlawan yang rela berjuang sampai tetesan darah terakhir. Di sisi lain, banyak sekali narasi “dramatisasi” tentang penderitaan dan kemiskinan rakyat yang terjadi di mana-mana akibat penjajahan.

Kisah para perintis kemerdekaan yang berjuang melalui berbagai bentuk edukasi, penyadaran dan gerakan sosial kemasyarakatan, memang penting perannya dan seakan melengkapi. Tetapi sayang, narasi yang banyak ditulis di berbagai judul buku, sangat jarang yang mengungkapkan fakta yang jujur tentang asal-usul NKRI, terutama Kraton Mataram Surakarta.

Anasir apapun yang masuk ke Nusantara mulai tahun 1920-an, telah memberi semangat dan nutrsi yang mendorong nafsu dan “memaksa” arah pandang serba apriori terhadap Kraton Mataram Surakarta. Sehingga, begitu ada momentum 17 Agustus 1945, “tensi” kelompok-kelompok gerakan yang sudah terpapar berbagai anasir itu langsung menjadi tinggi.

RISALAH BPUPK : Para anggota Majlis Adat Kraton Nusantara (MAKN) yang dipimpin KPH Edy Wirabhumi selaku Ketua Umum, saat mengikuti kursus konstitusi di Mahkamah Konstitusi (MK), beberapa tahun lalu. Selain mendapat risalah sidang BPUPK, MAKN juga sempat beraudiensi dengan Menko Polhukam Prof Mahfud MD. (foto : iMNews.id/Dok)

Kecuali Paguyuban Kawula Karaton Surakarta (Pakasa), Narpa Wandawa dan Putri Narpa Wandawa, nyaris tidak ada elemen kelompok yang jujur dan jernih melihat keagungan, kemegahan dan segala kebesaran Kraton Mataram Surakarta. Berbagai sudut dan sisi yang menjadi cirikhas masyarakat adat, dijadikan slogan dan stigma negatif untuk melawan dan membinasakan kraton.

Segala bentuk simbol dan cirikhas masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta yang menjadi sumber budaya Jawa, justru diambil sisi-sisinya yang dianggap ketinggalan zaman lalu dijadikan “daftar dosa”. Sederet panjang “daftar dosa” menurut anggapan berbagai elemen kelompok yang sudah terpapar beberapa anasir dari luar Nusantara itu, terus dikembangkan.

Oleh sebab itu, mungkin ada banyak dari kalangan generasi masyarakat adat yang tersisa, atau generasi trah anak keturunan dari Dinasti Mataram yang justru selama ini menderita, menahan sedih, trauma bahkan sampai meratap jika merefleksi perubahan besar yang terjadi sejak 79 tahun lalu itu, maka sangat rasional, realistik dan wajar adanya.

MBANGUN MITURUT : Organisasi Putri Narpa Wandawa yang belakangan diaktifkan kembali dan kini dipimpin GKR Timoer Rumbai, setelah “tisur panjang” 90-an tahun, adalah elemen organisasi yang “mbangun miturut” pada Kraton Mataram Surakarta, sejak dulu hingga kini. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam momentum-momentum seperti itu, nyaris tak pernah terdengar narasi yang jujur dan jernih melihat fakta empirik bahwa di manapun ada aktivitas pertempuran dan perlawan terhadap penjajah, di situlah ada wilayah yang sudah menjadi milik sah pihak-pihak masyarakat adat yang jumlahnya 250-an di Nusantara ini, termasuk “nagari” Mataram Surakarta.

Di wilayah yang pernah menjadi kedaulatan “negara monarki” Mataram Surakarta tempat para laskar berjuang itu, bukan hanya laskar-laskar bersenjata itu yang bergerak dan berjuang. Banyak tokoh bangsawan yang sudah lebih dulu bergerak merintis kemerdekaan dengan berbagai cara, tak hanya saat terjadi pertempuran dan mengangkat senjata saja.

Tokoh-tokoh penggerak semangat dari lingkungan Kraton Mataram Surakarta yang berjuang melalui berbagai bentuk pendidikan dan gerakan sosial, juga tidak sedikit. Karena, hampir semua organisasi sosial, politik dan keagamaan yang lahir sebelum 1945 selain Pakasa, Narpa Wandawa dan Putri Narpa Wandawa, nyaris tak lepas dari berbagai bentuk dukungan kraton.

SELALU KONSISTEN : Organisasi Pakasa adalah elemen organisasi yang lahir dari Kraton Mataram Surakarta, yang selalu konsisten mendukung bahkan berada di depan membela kraton, sejak sebelum 1945 hingga kini. Dia bukan termasuk elemen yang sudah terpapar berbagai anasir buruk, yang selalu bernafsu ingin “membinasakan” kraton. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dengan melihat realitas itu, kalau lahirnya sebuah negara (NKRI) dan bangsa hanya dimaknai sebagai proses perjuangan memerdekakan sebuah wilayah dan mengusir penjajah yang pundaknya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, maka tentu akan muncul banyak pertanyaan yang meragukan asal-mula negara ini lahir, asal-usul NKRI dan untuk tujuan apa didirikan?.

Di antara sejumlah pertanyaan itu adalah, apa makna “negara monarki” atau Kraton Mataram Surakarta? Apa makna kehadiran Sinuhun PB XII yang harus menandatangani perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB)?. Lalu, apa makna para tokoh Raja mulai Sinuhun PB X, PB XI dan Sinuhun PB XII itu, para Pujangga Surakarta, para cerdik-pandai yang sempat berjuang di BPUPK?

Semua pertanyaan di atas sangat rasional diungkapkan, karena antara NKRI dan satuan pemetintahan masyarakat adat yang sebelumnya yaitu Kraton Mataram Surakarta memiliki hubungan kausalitas yang membuat keduanya sangat berkepentingan. Yaitu berkepentingan sebagai pihak (negara) “yang menyerahkan kekuasaan” dan “yang menerima penyerahan kekuasaan”. (Won Poerwono-bersambung/i1)