Jadi “Kesempatan Emas” Kalangan Kampus untuk Studi Lapangan
IMNEWS.ID – KAMIS 18 Mei yang baru berlalu, Kraton Mataram Surakarta kembali menggelar ritual mengangin-anginkan anak wayang yang disebut “ngesis wayang” di gedhong Sasana Handrawina, mulai pukul 10.00 WIB hingga sekitar pukul 13.00 WIB. Sekotak anak wayang pusaka yang dikeluarkan dalam ritual “mengangini” hari itu adalah wayang Kiai Pramukanya, yang dibuat pada zaman Sinuhun Paku Buwana (PB) II sewaktu masih jumeneng nata di Ibu Kota “nagari”, Kartasura (1727-1745).
Walau dari ukuran usia kalau dihitung sampai sekarang sudah hampir 300 tahun, tetapi wayang Kiai Pramukanya dan karya-karya produk kriya tatah-wungging lain pada zaman Sinuhun PB II, rata-rata diposisikan di level II dalam deretan koleksi wayang pusaka di Kraton Mataram Surakarta. Padahal, menurut beberapa dalang profesional seperti Ki RT Gatot Purnomo Carita Adipura, Ki Rudy Wiratama kandidat doktor/peneliti sejarah wayang dan bahkan empu dalang Ki KRT Dr Bambang Suwarno, rata-rata wayang koleksi kraton yang diproduksi di zaman (Ibu Kota) Kartasura, tatahannya lebih halus.
Oleh sebab itu, dalam urutan level wayang pusaka yang hingga kini dikeramatkan di Kraton Mataram Surakarta, Kiai Pramukanya berada di level kedua setelah Kanjeng Kiai Jayeng Katong, Kanjeng Kiai Jimat dan Kanjeng Kiai Kadung yang berada di level paling atas sebagai pusaka kraton. Karena posisinya di level kedua, maka di depan namanya hanya diberi “gelar” Kiai, sedangkan tiga kotak wayang yang dibuat pada zaman Sinuhun PB IV itu di depan namanya diberi gelar “Kanjeng Kiai”.
Dari penjelasan Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa yang sejak 2004 selalu menginisiasi berbagai jenis ritual di kraton dengan tertip, termasuk “ngesis wayang” dan pendataan ulang terhadap semua koleksinya, pihaknya ingin berusaha menjalankan tata-nilai paugeran adat dengan tertib dan konsisten serta disiplin. Terhadap wayang pusaka yang berlevel “Kanjeng Kiai”, harus digelar dalam ritual “ngesis wayang” pada weton Anggara Kasih atau Selasa Kliwon di gedhong Sasana Handrawina.
Sedangkan yang masuk level “Kiai” seperti halnya sekotak wayang Kiai Pramukanya, bisa dikeluarkan tak perlu menunggu weton Anggara Kasih yang datangnya 35 hari sekali, tetapi cukup pada hari jadwal Kamis yang datang seminggu sekali, karena sekotak wayang itu termasuk katagori wayang “padintenan” atau yang bisa digunakan sehari-hari. Sedangkan tiga kotak wayang Kanjeng Kiai Jayeng Katong, Kanjeng Kiai Jimat dan Kanjeng Kiai Kadung harus “diesis” dalam ritual Anggara Kasih, karena ketiganya adalah wayang pusaka tertinggi yang hanya boleh “digunakan” pada waktu-waktu tertentu.
“Digunakan” bukan hanya dalam makna dikeluarkan dalam ritual “ngesis” sebagai salah satu bentuk perawatannya, terutama menghindari kerusakan akibat jamur, melainkan digunakan untuk pentas seni pedalangan yang disertai persyaratan aturan sangat ketat. Yaitu hanya boleh digunakan setidak-tidaknya “pangeran putra-dalem” yang juga harus memenuhi persyaratan spiritual kebatinannya, bukan “sembarang pangeran putra-dalem” yang temperamental dan punya kepribadian kurang baik. Karena, bisa celaka sendiri kalau berlaku “sembrono” dalam memperlakukan pusaka peninggalan leluhur.
“Segala sesuatu yang ada di kraton ini, memang bisa disebut banyak yang tidak bisa diterima dengan nalar. Tetapi, boleh tidak percaya, asal jangan maido. Contohnya, saat masih di luar kraton (antara 2017-2022), Kanjeng Kiai Kadung pernah ‘dikeluarkan paksa’ untuk wayangan di dalam kraton. Kumbakarna-nya ‘triwikrama’ (berubah-Red) menjadi besar sekali. (Pangeran putra-dalem yang mendalang) sampai girap-girap dan nggeblag. Percaya, ya mangga. Kalau tidak percaya jangan maido,” ujar Gusti Moeng kepada iMNews.id dan beberapa dalang di sela-sela ritual, Kamis (18/5).
Apa yang diungkapkan satu di antara 35 putra/putri-dalem yang selama ini paling peduli dan konsisten menjalankan aturan paugeran adat itu, bukan bermaksud menakut-nakuti siapapun, tetapi semangatnya lebih pada ajakan untuk membangkitkan kepedulian dan kecintaan pada semua aset peninggalan leluhur terutama leluhur Dinasti Mataram. Kepedulian dan kecintaan termasuk cara bersikap dan memperlakukan semua aset yang sudah dianggap pusaka atau “heritage” itu, dengan cara-cara yang bermartabat, tetap menjaga kewibawaan dan sesuai harkatnya.
Ritual “Ngesis wayang” dari sekotak anak wayang yang masuk kategori digunakan dalam keseharian atau “padintenan” Kamis siang itu, menjadi momentum yang baik bagi publik secara luas untuk ikut menyaksikan dalam suatu keperluan khusus yaitu kegiatan studi lapangan. Karena, ada 10 mahasiswa dari Jurusan Bahasa, Sastra dan Budaya Jawa FIB UGM (Jogja) yang ikut berbaur dengan para abdi-dalem yang sedang bertugas dalam ritual di dalam ruang “gadhong” sasana Handrawina itu.
Menurut Rudy Wiratama, kandidat doktor peneliti sejarah wayang yang menjadi dosen pembimbingnya, 10 mahasiswa yang dibimbing mengikuti kuliah lapangan itu sedang mengambil mata kuliah “Sastra Wayang”. Dibukanya kesempatan bagi publik secara luas khususnya untuk keperluan studi kalangan mahasiswa untuk ikut menyaksikan dan mempelajari secara sekilas konten dan jalannya ritual “Ngesis Wayang” di kraton, adalah kesempatan emas. Terlebih, kesempatan itu baru terbuka setelah lebih lima tahun, Sasana Pustaka yang sebelumnya menjadi pusat studi kalangan kampus tertutup bagi siapapun. (Won Poerwono-bersambung-i1)