Wisuda Lulusan Pasinaon Tata Busana & Paes Kraton, Resepsi Kedua Sejak Berdiri (seri 1-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:May 16, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Wisuda Lulusan Pasinaon Tata Busana & Paes Kraton, Resepsi Kedua Sejak Berdiri (seri 1-bersambung)
"CEK OMBAK" : Di tahun 2020, saat pandemi Corona belum "menggila", Gusti Moeng sudah mencoba melakukan "cek ombak" dengan menggelar seminar dan workshop tatacara pengantin adat Jawa gaya Surakarta di Hotel KSPH. Itu yang menjadi salah satu alasan didirikannya lembaga "pasinaon" tata busana dan paes di kraton tahun 2021. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Upacara Adat Perkawinan Jadi Syarat Seseorang Istri Punya Gelar Prameswari

IMNEWS.ID – LEMBAGA kursus “Pasinaon Tata Busana Jawi Saha Paes Penganten Karaton Surakarta Hadiningrat” yang diinisiasi berdirinya oleh Gusti Moeng selaku Ketua Yayasan Pawiyatan Kabudayan Karaton Surakarta tahun 2021, kini sudah menghasilkan dua kali lulusan. Dan upacara wisuda purnawiyata atau 18 orang lulusan “babaran” atau angkatan kedua “pasinaon” itu, digelar di Hotel Kusuma Sahid Prince Hotel (KSPH), Senin malam (8/5).

Sebagai ilustrasi, lembaga “pasinaon tata busana dan paes” yang diketuai RM Restu Setiawan (kandidat doktor) itu adalah lembaga baru di Kraton Mataram Surakarta. Kehadirannya merupakan respon kraton untuk melayani kebutuhan masyarakat peradaban, sekaligus menjawab perkembangan zaman yang masih membutuhkan tatacara dalam perkawinan adat Jawa, baik sebagai pengetahuan dan jasa ketrampilan maupun bentuk kepedulian untuk melestarikan nilai-nilai peninggalan leluhur peradaban.

WISUDA BABARAN II : Kini, lembaga “pasinaon” tata busana dan paes di kraton sudah membuka pendaftaran siswa “Babaran” III, setelah wisuda 18 lulusan “babaran” II di Hotel KSPH, Senin (8/5) lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Latar-belakang keberadaannya, mirip hadirnya lembaga Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Surakarta di tahun 1993, mirip Sanggar Pawiyatan Pedalangan Kraton Surakarta di tahun 1950-an dan Sanggar Pawiyatan Beksa di tahun 1960-an. Bahkan, latar-belakang kehadirannya mirip lahirnya lembaga Paguyuban Kawula Karaton Surakarta (Pakasa) dan lembaga Putri Narpa Wandawa di tahun 1931, saat Sinuhun PB X jumeneng nata (1893-1939). Kehadirannya disesuaikan dengan kebutuhan pada zamannya, termasuk Lembaga Dewan Adat (LDA) yang diinisiasi GKR Wandansari Koes Moertiyah di tahun 2004.

Lahirnya “Pasinaon Tata Busana Jawi Saha Paes Penganten Karaton Surakarta Hadiningrat”, menurut GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng merupakan jawaban atas perkembangan yang terjadi di masyarakat, yang salah satunya ada animo yang tinggi terhadap penggunaan tata busana dan paes (rias) pengantin dalam perkawinan adat Jawa gaya Surakarta. Dari perkembangan itu, ada tuntutan penggunaan tatacara perkawinan adat gaya Surakarta yang terbakukan dan bisa menjadi pedoman, baik sebagai pengetahuan/ketrampilan untuk bahan edukasi maupun praktik aktivitas usaha jasa di bidang itu.

BUSANA KASATRIYAN : Di lingkungan Kraton Mataram Surakarta, juga dikenal busana adat Kasatriyan seperti diperkenalkan Gusti Moeng dalam kesempatan upacara wisuda 18 lulusan “babaran” II lembaga “pasinaon” tata busana dan paes yang digelar di Hotel KSPH, Senin (8/5) lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Yang disebut tatacara baku itu ternyata mengarah pada tatacara adat yang dilakukan di dalam Kraton Mataram Surakarta.  Baik rangkaian urutan proses tatacara adatnya, gaya paes dan tata busananya. Dan yang paling kelihatan sangat disukai dalam masyarakat, adalah paes dan tata busananya yang ingin meniru busana penari Bedaya Ketawang, dodot basahan. Pokoknya, yang ingin ditiru penampilan dalam tari Bedaya Ketawang. Karena itu, kami perlu mengedukasi sejelas-jelasnya soal itu. Biar masyarakat tahu benar asal-usul dan tatacara penggunaannya,” ujar Gusti Moeng menjawab pertanyaan iMNews.id, belum lama ini.

Dari perbincangan dengan Gusti Moeng sejak menggelar seminar tatacara rias dan tata busana pengantin adat Jawa gaya Surakarta di sebuah restoran di kawasan Purwosari, tahun 2021, sangatlah jelas arah yang dituju “Pasinaon Tata Busana Jawi Saha Paes Penganten Karaton Surakarta Hadiningrat” begitu juga yang menjadi ide dasar serta alasan dilahirkannya lembaga kursus itu. Selain menunjukkan referensi secara lengkap sebagai sebuah pengetahuan untuk tujuan mengedukasi, juga ditunjukkan asal-usul dan batasan-batasan ketika diperlukan sebagai pengetahuan baku.

HAL BERBEDA : Dalam rangkaian tatacara upacara perkawinan adat Jawa yang terjadi di dalam Kraton Mataram Surakarta, tidak ada acara mengiring pengantin lelaki dengan sepasang “kembar mayang”. Inilah hal yang membedakan antara prosesi adat perkawinan yang berkembang di masyarakat, dengan yang berlaku di dalam kraton.(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Jadi, semua jenis sesuai proses dan urutan rangkaiannya dalam tatacara upacara perkawinan adat Jawa gaya Surakarta, ada nama dan makna filosofinya. Semua berisi tentang tuntunan dalam kehidupan sesuai kodrat manusia yang berbudaya Jawa. Jadi, bukan asal memakai dan menampilkan, tetapi tidak tahu makna filosofinya. Semua harus ditampilkan secara urut dan dipahami maknanya. Kalau sudah dipahami, mau dijalankan urut dan lengkap semuanya ‘mangga’, mau diambil sebagian ya ‘mangga’. Yang jelas, ketika ditanya maknanya harus bisa menjawab,” tandas Gusti Moeng.

Anak-ke-25 Sinuhun PB XII yang lahir dari garwa-dalem KRAy Pradapaningrum ini, adalah satu-satunya putri-dalem yang begitu menguasahi tatacara adat dan tata busana perkawinan adat Jawa di Kraton Mataram Surakarta atau “gagrag” (gaya) Surakarta. Kapasitasnya di bidang itu yang sudah setara maestro, menempatkannya sebagai tempat bertanya soal tatacara perkawinan adat Jawa pengantin gaya Surakarta oleh warga peradaban secara luas, untuk berbagai keperluan, khususnya bahan edukasi, berbagi pengalaman untuk kalangan usaha jasa weedding organization dan upaya pelestarian.

ACARA SUNGKEMAN : Acara sungkeman kepada pasangan orangtua kedua mempelai, hanya ada pada rangakaian tatacara perkawinan adat Jawa yang berkembang di masyarakat. Sungkeman atau “ngabekten”, hanya ada di kraton dan digelar Sinuhun Paku Buwana saat berlangsung setelah Shalat Ied dalam perayaan Idhul Fitri. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Untuk berbagai keperluan itu, selain diberikan lewat belajar-mengajar selama 6 bulan di “Pasinaon Tata Busana Jawi Saha Paes Penganten Karaton Surakarta Hadiningrat”, Gusti Moeng menginisiasi kepada publik secara luas melalui resepsi upacara wisuda purnawiyata pasinaon, seperti yang digelar di Hotel KSPH, Senin malam (8/5) lalu. Di acara itu, semua yang ada pada urutan rangkaian proses tatacara adat upacara perkawinan adat Jawa gaya Surakarta, diperlihatkan semua contoh-contohnya. Bahkan termasuk contoh-contoh lain yang selama ini tidak diketahui publik.

“Karena Sinuhun PB XII sudah mengizinkan menjadi milik masyarakat, maka lebih baik kami perlihatkan semua contoh-contohnya secara benar dan tepat. Kalau tidak bisa mencontoh semuanya secara lengkap, ya tidak apa-apa. Itu bisa dimaklumi. Tetapi setidaknya, masyarakat benar-benar menjadi paham. Baik asal-usulnya, nama yang tepat, maknanya dan sebagainya. Kalau pengantin atau keluarga yang punya hajad diedukasi menjadi paham, itu ‘kan jauh lebih baik,” ujar Ketua Lembaga Dewan Adat penerima penghargaan “The Fukuoka Culture Prize Award” dari Jepang, di tahun 2012 itu. (Won Poerwono-bersambung/i1)