Tanggal 17 Februari, Sinuhun PB II Baru Berangkat dari Kartasura
IMNEWS.ID – TANGGAL 17 dalam rangkaian makna Hari Kemerdekaan RI yang lengkapnya 17 Agustus 1945, kini menjadi angka yang dianggap “keramat”. Itu sah-sah saja, dan baik. Tetapi, tidak semua peristiwa penting harus dicari-cari unsur keramatnya, yang lalu dipantas-pantaskan dengan ditambah atau dijadikan atau diambil angka 17-nya.
Cara berfikir atau proses penalaran yang picik dan pragmatis seperti itu, bisa saja mendasari pengambil angka (tanggal) 17 di bulan Februari, yang seolah-olah diyakini sebagai hari lahir atau hari jadi Kota Surakarta, yang kini genap 279 tahun (kalender Maeshi). Proses keyakinan seperti itulah, yang kira-kira tetap dipertahankan Pemkot Surakarta hingga kini.
Jadi, tidak melalui “brain wash” lewat jalur pendidikan yang terstruktur, masif dan sistemik selama puluhan tahun, lintas rezim orde pemerintahan. Tetapi Pemkot Surakarta hanya dengan proses keyakinan, menganggap bahwa angka 17 atau tanggal 17 Februari (1745), lebih pantas dan “keramat” dijadikan Hari Jadi atau Hari Lahir Kota Surakarta.
Proses keyakinan dengan cara-cara seperti itu, sangat lemah terhadap berbagai kaidah, terutama kaidah keilmuan dan edukasi, juga kaidah hukum. Sekalipun dilandasi sebuah peraturan daerah (Perda), tetapi kelemahan terhadap berbagai kaidah yang ada, akan sangat membahayakan bagi publik secara luas dan generasi anak-cucu kelak, karena mengandung unsur “penyesatan”.
“Dari data-data manuskrip yang kami temukan, tanggal 17 Februari itu, Sinuhun PB II baru berangkat meninggalkan Kartasura, Ibu Kota Mataram. Itu berarti harinya Rabu Pahing atau 14 Sura tahun Je 1670. Prosesi pindahnya kraton dari Kartasura menuju Surakarta, dalam arak-arakan berjalan kaki yang sering disebut ‘Boyong Kedhaton’. Arah rutenya, lurus ke timur”.
“Perjalanan arak-arakan ‘Boyong Kedhaton’ panjang sekali, karena banyak barang aset disertakan. Termasuk, semua Bregada Prajurit. Juga, beberapa jenis satwa piaraan, reruntuhan bangunan sisa yang terbakar (Pendapa Magangan) dan sebagainya. Setelah menempuh perjalanan beberapa jam, Sinuhun PB II menghendaki prosesi berhenti untuk istirahat,” ujar KPP Nanang.
KPP Nanang Soesilo Sindoeseno Tjokronagoro, saat dimintai konfirmasi iMNews.id kemarin menambahkan, dari data manuskrip yang didapat menyebut bahwa arak-arakan “boyong kedhaton” yang di dalam barisan itu ada Sinuhun PB II, beritirahat di timur pertigaan (simpang tiga) yang kini dikenal dengan nama pertigaan Pasar Jungke, bahkan berhias lampu traffict light.
Media iMNews.id belum menemukan dokumen foto sejarah sekitar tahun 1745, yang melukiskan kondisi riil dan suasana jalan rute yang dilalui arak-arakan mirip pawai “boyong kedhaton” waktu itu. Antara titik lokasi Ibu Kota Kraton Mataram di Kartasura sampai titik lokasi Ibu Kota Kraton Mataram di Surakarta, yang kini jaraknya hanya sekitar 10 KM.
Menurut seorang sentana-dalem yang bertugas di kantor Pengageng Kusuma Wandawa yang dibentuk bersama “Bebadan Kabinet 2004” pimpinan Gusti Moeng itu, saat Sinuhun PB II bersama semua peserta arak-arakan “boyong kedhaton” beristirahat di dekat pertigaan itu, ditemui seorang pemilik tanah luas penuh tanaman pohon kelapa di dekat pertigaan, bernama Ki Singandaka.
Rupanya, melihat arak-arakan “pindahan kraton”, bukan sekadar pindahan rumah yang disertai orang begitu banyak, Ki Singandaka selaku pemilik “kebun kelapa” dan “penguasa” di desa itu, langsung merontokkan buah kelapa yang begitu banyak. Buah kelapa itu lalu disuguhkan kepada Sinuhun PB II dan sentana, abdi-dalem serta semua peserta “boyong kedhaton”.
Dalam terminologi administrasi pemerintahan di zaman “nagari” Mataram Kartasura (1645-1745) posisi Ki Singandaka mirip Ki Gedhe Sala (iMNews.id, 18/2), seorang pegawai kraton berpangkat “Bekel”. Sebagai perangkat aparat paling bawah yang sudah ada sejak zaman Kraton Pajang (1550-1588), tetap berfungsi walau rezim pemerintah sudah berubah nama dan pindah tempat.
“Jadi, tanggal 17 Februari 1745 atau 14 Sura tahun Je 1670, jatuh pada hari Rabu Pahing, Wuku Landhep, Windu Sancaya itu, Sinuhun (PB II-Red) bersama para pendereknya baru berangkat dari Kraton Kartasura. Jalan dan rutenya tidak halus dan lurus seperti sekarang ini. Perjalanan boyong kedhaton, harus ditempuh tiga hari,” tandas KPP Nanang.
Karena perjalanan pindahan kraton dengan membawa berbagai barang aset memakan waktu 3 hari, termasuk yang digunakan untuk beristirahat di pertigaan, arak-arakan “boyong kedhaton” yang dilakukan Sinuhun PB II dari Ibu Kota “negara” Mataram di Kartasura, baru tiba di Ibu Kota baru yaitu di Desa Sala, pada tanggal 17 Sura tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745.
“Begitu tiba di lokasi Ibu Kota baru Kraton Mataram itu, pada hari itu pula yaitu tanggal 20 Februari 1745 atau 17 Sura tahun Je 1670, Sinuhun PB II mengumumkan berdirinya nagari Mataram Surakarta. Nama Desa Sala, secara resmi diganti menjadi Kutha Surakarta, karena posisinya sebagai Ibu Kota ‘nagari’ Mataram Islam, menjadi nama Surakarta Hadiningrat,” ujar KPP Nanang.
Berdasar data-data sejarah manuskrip yang didapatnya, dengan jelas dan tegas menyebut bahwa tanggal 20 Februari adalah hari berdirinya Kraton Mataram Surakarta. Itu bisa dijadikan pathokan sebagai hari jadi atau hari lahir nama Kota Surakarta. Oleh sebab itu, 17 Februari yang dijadikan hari jadi Kota Surakarta, sama sekali tak berdasar, apalagi hari jadi Kota Solo. (Won Poerwono-bersambung/i1).