Prosesi Tatacara Adat Menjadi Bagian dari Pertunjukan yang Menarik
SURAKARTA, iMNews.id – Untuk kali pertama, Kraton Mataram Surakarta menampilkan sebuah repertoar tari klasik khas yang termasuk pusaka di kraton di ajang peringatan Hari Tari Dunia yang diinisiasi dan dipusatkan di Kampus ISI Surakarta, Kentingan, Jebres. Bahkan, penyajian tari Bedaya Duradasih itu, diikuti dengan keluarnya sebuah alat musik rebab yang terbuat dari gading gajah, bernama Kiai Mangunsih, yang dibawa ke panggung dengan prosesi untuk mengawali pentas tari di Pendapa ISI yang dimulai pukul 21.00 WIB, semalam.
Prosesi secara adat yang biasanya hanya dilakukan di dalam lingkungan kraton itu, tentu sangat menarik kalangan penonton yang begitu padat memenuhi sekeliling ruang panggung di pendapa itu. Publik secara luas yang datang dari berbagai daerah selain masyarakat kampus ISI dan tetangganya seperti keluarga besar UNS, tentu ikut melihat sajian seni pertunjukan yang sangat langka itu. Karena, event peringatan Hari tari Dunia (HTD) yang jatuh setiap 29 April, selalu menjadi perhatian publik secara luas, lintas regional, nasional bahkan internasional.
GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Ketua LDA) selaku pimpinan rombongan kontingen Kraton Mataram Surakarta, rupanya melihat peluang strategis ajang HTD sebagai kesempatan menunjukkan eksistensi kraton, dan promo salah satu kekayaan seni tari kraton kepada publik secara luas yang notabene “pasar pariwisata”. Bahkan, dalam rangka membangun kekuatan pelestarian budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta, menyajikan tari Bedaya Duradasih bersama “paket” tatacara adatnya, adalah cara mengedukasi publik yang tepat sekali.
Event HTD yang semakin berkelas dunia karena bisa ditonton masyarakat dunia dari berbagai belahan bumi secara langsung datang ke lokasi sebagai wisatawan maupun tidak langsung melalui media komunikasi/informasi internet, jelas menawarkan berbagai jenis dan ragam seni tari sebagai kekayaan Nusantara. Karena yang tampil di sana, datang dari berbagai kelompok, grup, komunitas dan mewakili berbagai daerah. Yang jelas, semua ditampilkan dalam konsep menari sepanjang waktu sesuai yang diagendakan, selama 24 jam, ada yang berantai/estafet dan ada yang nonstop.
Oleh sebab itu, yang tampil di berbagai titik lokasi di kompleks kampus itu, jenisnya sangat beragam dan disesuaikan dengan kebutuhan tempatnya, yaitu terbuka dan tertutup. Maka, ketika tim kontingen tari Kraton Mataram Surakarta saat hendak tampil di pendapa kampus yang setengah terbuka, ada suara instrumen musik yang mengiringi jenis tari tertentu di titik lokasi sekitar pendapa. Termasuk suara deru knalpot mirip atraksi “tong setan” yang masuk keruang pendapa, karena dalam perayaan HTD, ada keramaian “pasar malam” dan panggung-panggung kecil yang digelar di sekitar pendapa.
Meski mengakomodasi berbagai jenis kekayaan tari tradisional lintas etnik dan subkultur di Nusantara, tetapi pihak penyelenggara tetap bijak untuk menempatkan masing-masing jenis sajian di titik lokasi yang pas. Karena, ragam tari klasik seperti Bedaya Duradasih, digelar di satu tempat yang mempunyai kemiripan dengan habitat asal masing-masing penyaji, yaitu pendapa kampus yang rancang bangunnya mirip pendapa-pendapa kraton dan bangunan di lingkungan masyarakat Jawa pada umumnya.
Sebab itu, penyelenggara tidak salah menempatkan tari Bedaya Duradasih di panggung yang dikreasi di tengah ruang pendapa kampus. Bahkan, sepasang MC yang mengawali pembukaan event itu menyebut, sajian dari Kraton Mataram Surakarta menjadi sajian pertama dari empat masyarakat keluarga besar Dinasti Mataram yang ada di Surakarta dan Jogja. Karena, Kraton Surakarta yang tertua di antara empat kraton itu, yang urutannya baru sajian dari Kraton Jogja pada kesempatan kedua, Pura Mangkunegaran sajian ketiga dan Pura Pakualaman Jogja tampil terakhir.
Dan untuk HTD tahun ini, Gusti Moeng menginisiasi keluarnya repertoar tari klasik yang termasuk tarian pusaka yaitu tari Bedaya Duradasih. Repertoar tari itu diciptakan Sinuhun PB IV (1788-1820) untuk mendokumentasi sekaligus menjadi caranya berekspresi saat mengambil istri dua putri Adipati Tjakra Adiningrat (Bupati Pamekasan, Madura), masing-masing RAy Handayawati dan RAy Sakaptinah. Latar belakang peristiwa itu diabadikan pula pada nama jenis tari tersebut, yaitu “Dura” dari Kata “Madura” dan “Dasih” adalah cinta-kasih kepada sesama.
Oleh penciptanya, Sinuhun PB IV, tarian itu semula diperagakan hanya oleh 7 orang penari. Tetapi oleh penerusnya, yaitu Sinuhun PB X, dilengkapi menjadi sembilan orang penari, sama dengan jumlah peraga tari jenis “bedayan” di kraton dan berlaku hingga sekarang. Dalam format seperti itu, tari Bedaya Duradasih dipersembahkan Gusti Moeng di ajang HTD yang dipusatkan di kompleks kampus ISI Kentingan, Jeres, semalam, bahkan sudah diawali oleh sanggar-sanggar tari yang ada di Surakarta, di sepanjang jalan Slamet Riyadi, sejak Sabtu pagi (29/4) mulai pukul 08.00 WIB.
Pertunjukan tari klasik khusus di Pendapa kampus ISI semalam, baru dimulai pukul 21.00 WIB dan menyuguhkan tari Bedaya Duradasih dari Kraton Mataram Surakarta. Sajian pertama pada pembukaan itu, diawali dengan ritus doa yang berujud prosesi mengarak alat musik rebab bertangkai gading gajah, bernama Kiai Mangunsih. Rebab pusaka itu diarak oleh para abdi-dalem dengan naungan “songsong” (payung-Red), berjalan dari belakang panggung menuju tengah panggung, tempat sajian tari.
Setelah rebab dan gawangnya ditempatkan di deretan paling depan instrumen gamelan yang disiapkan, para abdi-dalem wanita duduk di sisi panggung berdekatan dengan dan payung yang disandarkan di sebuah “saka guru” pendapa. Pada saat itu, semua abdi-dalem karawitan yang dipimpin KPH Raditya Lintang Sasangka selaku koordinator, sudah menempatkan di panggung gamelan. Tak lama kemudian, rebab Kiai Mangunsih digesek “wira pradangga” bernama Nanang Bayuaji (dosen ISI), sebagai sinyal kepada semua “wira swara” untuk memulai “bawa panembrama”.
Beberapa instrumen gamelan seperti hender yang mengikuti ditabuh kemudian, menjadi penanda suara panembrama gending iringan tari Bedaya Ketawang dilantunkan. Itu menjadi sinyal atau aba-aba abdi-dalem “nyenthir” untuk berjalan di depan memasuki panggung. Jalannya akan diikuti para 9 penari yang berbaris di belakangnya, untuk kemudian membentuk formasi di atas panggung. Sementara, abdi-dalem “nyenthir” yang berjalan jongkok, sesampai di atas panggung, mencari tempat khusus yang tidak mengganggu pandangan pentonon, untuk duduk bersila menunggu.
Berakhirnya panembrama yang bisa disebut sebagai “ada-ada” atau pendahuluan, lalu disambut dengan suara koor sindenan yang dibawakan empat pesinden, dibantu Gusti Moeng yang biasanya sambil memegang pemukul “keprak”. Saat itulah, seluruh instrumen gamelan ditabuh mengikuti sutruktur gending iringan tari yang dipimpin KPH Raditya Lintang Sasangka, tetapi yang terdengar dominan adalah dua instrumen “kemanak”. Selesai melakukan sikap “sembah” kepada Sang Maha Pencipta juga penghormatan skepada emua penonton, sembilan penari Bedaya Duradasih mulai bergerak menari.
“Dari mulai sembah sampai sembah penutupnya, kira-kira 30-an menit. Termasuk prosesinya, durasinya 45 menit. Bedaya Duradasih diberi alokasi waktu 45 menit. Ini untuk kali pertama tari Bedaya Duradasih kami pentaskan di ajang HTD (Hari Tari Dunia-Red). Di tempat lain juga pernah. Tapi mungkin baru beberapa kali. Yang sering Bedaya Suka Mulya, Bedaya Sukoharja, Kilapawarna dan sebaginya. Bedaya Duradasih ‘kan termasuk pusaka di kraton,” jelas Gusti Moeng yang sempat disapa iMNews.id saat bersama-sama para penari di belakang panggung, semalam. (won-i1)