Peringatan Hari Jadinya, Menjadi Tradisi Baru Masyarakat Adat Mataram Surakarta
IMNEWS.ID – Rabu Wage hari ini, tepat tanggal 29 November yang salah satu maknanya adalah genap 93 tahun usia organisasi Paguyuban Kawula Karaton Surakarta, yang ketika dilahirkan Sinuhun PB X pada tahun 1931, disingkat dalam aksara Jawa dengan huruf “P” yang berbunyi “Pa”, “K” yang berbunyi “Ka” dan “S” yang berbunyi “Sa”.
Dalam hal pengambilan dan penetapan nama organisasi dan singkatannya, sejak dilahirkan hingga seterusnya tidak pernah ada data pendukung, begitu pula hasil-hasil penelitian dan kajian secara khusus. Tetapi dalam berbagai karya penulisan buku, sejarah dan sebagainya yang muncul di era republik, banyak didapati tulisan “PAKASA” maupun “Pakasa”.
Oleh sebab itu, banyak kalangan sangat meyakini, nama “Pakasa” yang ditulis dengan huruf kapital tegak maupun huruf pertama besar, baru ada setelah era penggunaan Bahasa Indonesia. Dan secara khusus, penggunaan nama Pakasa dalam versi huruf kapital besar dan tegak maupun hanya huruf depan yang besar, sangat dimungkinkan ada dokumennya.
Persoalan asal-usul penggunaan aksara dan singkatan, mungkin suatu saat nanti akan ada data-data baru hasil penelitian dan kajian para intelektual kampus. Yang jelas, beberapa buku karya penulisan sejarah hasil penelitian dan kajian seperti karya Dr Sri Juari Santosa, Dr Julianto Ibrahim dan Dr Purwadi banyak menyebut kata Pakasa.
Buku “Suara Nurani Kraton Surakarta”, “Kraton Surakarta” (Gerakan Anti Swapraja), “Propinsi Daerah Istimewa Surakarta” dan beberapa judul karya penulisan Dr Purwadi yang dipublikasikan melalui situs “blog”nya, sudah menyebut-nyebut organisasi Pakasa dalam beberapa aspek latarbelakang kelahiran dan tujuannya.
Tetapi, persoalan keberadaan organisasi wadah “para kawula” atau tempat rakyat berserikat yang muncul kali pertama di kraton itu, kini menjadi sangat penting dicermati. Meskipun, dalam berbagai buku penulisan sejarah yang muncul di era republik hingga kini, sangat sedikit yang mengisahkan pentingnya keberadaan dan tujuannya.
Karena sangat minim karya penulisan sejarah dan kajian khusus tentang latar-belakang dan tujuan organisasi Pakasa, menyebabkan hingga kini juga tak banyak didapat data informasi tentang sepak-terjang perjalanan organisasi itu. Baik sejak dilahirkan 29 November 1931, hingga menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI maupun pasca-NKRI lahir.
Sejak Kraton Mataram Surakarta menggabungkan diri ke dalam NKRI, banyak yang mempersepsikan semua elemen organisasi di dalamnya ikut larut menyesuaikan, dan bisa diartikan bubar dengan sendirinya. Tetap ternyata tidak seperti itu, karena Pakasa masih disebut-sebut dalam pergolakan pro dan kontra status Daerah Istimewa Surakarta 1946.
Hanya saja, dalam situasi yang sudah banyak berubah di alam republik, dari sekelumit kisah tentang Pakasa yang disebut dalam buku “Suara Hati Nurani Kraton Surakarta” karya Dr Sri Juari Santosa, tak ada yang menenjelaskan bagaimana organisasi itu dipelihara, baik secara administratif maupun berbagai aktivitas gerakannya sebagai tanda-tanda eksistensinya .
Karena data dan informasi tentang perjalanan sejarah organisasi setelah 1946 sangat minim, maka peristiwa peringatan Hari Jadi 90 tahun Pakasa yang digelar “Bebadan Kabinet 2004” yang di dalamnya ada Pengurus Pakasa Punjer tahun 2021, menjadi peristiwa yang benar-benar “surprise” dan menjadi pengalaman benar-benar baru di kraton.
Peristiwa “surprise” dan pengalaman baru bagi masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta itu, sudah diulang dua kali dalam peringatan dan perayaan hari jadi di tahun 2022 dan 2023 yang belum lama berlalu. Format dan tatacara kegiatan peringatan dan perayaan itu berbeda satu dengan yang lain, walau digelar berturut-turut tiap tahun.
Di tahun 1990-an hingga “Bebadan Kabinet 2004” hendak lahir bersama datangnya proses suksesi alih kepemimpinan dari Sinuhun PB XII ke Sinuhun Suryo Partono (PB XIII-Red), Pakasa banyak disebut Gusti Moeng di berbagai kesempatan berbicara di depan forum pertemuan. Dan Pakasa yang sudah terbentuk di beberapa cabang, menjadi daya dukung utama tampilnya pemimpin baru.
Namun, Pakasa dipandang sebagai sebuah kekuatan riil dari para “kawula” yang tersebar di berbagai daerah sangat luas, lintas provinsi dan sudah menjadi warga ber-KTP di masing-masing wilayah kabupaten tempat tinggalnya, ketika “Bebadan Kabinet 2004” berdiri dan GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng banyak berperan di Lembaga Dewan Adat sebagai Pangarsa.
Tak hanya itu, tampilnya KPH Edy Wirabhumi sebagai pengurus Pangarsa Pakasa Punjer sejak peristiwa tampilnya pemimpin baru setelah Sinuhun PB XII wafat, menjadi era yang begitu banyak perhatian terhadap eksistensi dan perjalanan sejarah Pakasa. Karena, sejak itu, banyak Pakasa cabang terutama di wilayah kabupaten bermunculan lahir dan ditetapkan kepengurusannya.
Waktu terus berjalan, peristiwa demi peristiwa yang telah “merobek-robek” hubungan kekerabatan keluarga besar Mataram Surakarta terus terjadi. Mulai peristiwa suksesi 2004, rekonsiliasi gagal-total 2010 hingga puncak friksi di tahun 2017, telah benar-benar membuat keluarga masyarakat adat di internal kraton dan di eksternal kraton “tercerai-berai”.
Organisasi Pakasa terutama di tingkat cabang yang menjadi bagian eksternal keluarga masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta, tentu ikut menjadi korban hingga kepengurusan cabang “beku” dan vakum di satu sisi, tetapi bermunculan abdi-dalem di wilayah kabupaten berbeda yang meminta ditetapkan sebagai pengurus cabang baru di sisi lain.
Akibat puncak friksi yang sering disebut dengan “insiden mirip operasi militer” April 2017 yang dilanjutkan dengan penutupan kraton terhadap jajaran “Bebadan Kabinet 2004” pimpinan Gusti Moeng hingga datang peristiwa 17 Desember 2022 yang disebut “insiden Gusti Moeng Kondur Ngedhaton”, benar-benar ikut mengorbankan Pakasa cabang.
Selain lahirnya organisasi tandingan dari internal “pihak seberang” yang berbau konotasi “hondrowino” atau “pesta makan-makan” sebagai lawan Lembaga Dewan Adat dan Pakasa Punjer yang berada di “lain seberang”, ada beberapa faktor lain yang ikut membuat perkembangan Pakasa cabang menjadi “tercemar” dan tersendat-sendat bahkan “beku” dan vakum.
Menguatnya posisi Lembaga Dewan Adat yang dipimpin Gusti Moeng sebagai Pangarsa dan kekuatan hukum yang semakin jelas posisi pengurus Pakasa Punjer yang dipimpin KPH Edy Wirabhumi, sedikit demi sedikit formasi Pakasa cabang yang sempat berantakan terutama akibat peristiwa “insiden mirip operasi militer” April 2017 itu, kini bisa “dianyam” dan “dirangkai” kembali.
Seakan telah banyak belajar dari pengalaman pada peristiwa PKI 1948 dan 1965, jaring Pakasa cabang sampai bisa tercerai-berai itu lebih banyak akibat intrik-intrik yang dikembangkan oleh oknum-oknum yang berasal dari berbagai arah. Arah itu bisa datang dari oknum-oknum organisasi tandingan, dari dalam Pakasa cabang sendiri, maupun dari kalangan kerabat atau lainnya.
Intrik-intrik dan cara memecah-belah keutuhan organisasi Pakasa di tingkat cabang, sampai pada titik peringatan kali yang ketiga di saat Pakasa berusia 92 tahun ini masih saja terjadi. Itu berarti, pekerjaan Lembaga Dewan Adat dan pengurus Pakasa Punjer masih mendapat tantangan bahkan akan semakin berat, terlebih di saat-saat “perdamaian” sudah kandas atau gagal.
Tak hanya karena gagal atau kandasnya peristiwa “perdamaian” 3 Januari 2023 yang akan menjadi tantangan semakin berat, masa pertumbuhan dan perkembangan Pakasa cabang saat ini juga akan mendapat tantangan baru yang mungkin lebih berat. Yaitu di saat proses suksesi alih kepemimpinan Sinuhun Suryo Partono, yang akan datang entah kapan waktunya.
Di tengah situasi dan kondisi secara umum yang “belum baik-baik saja” setelah “dihantam” pandemi selama dua tahun lebih, ditambah proses menata ulang organisasi “Bebadan Kabinet 2004” di internal kraton bersama Lembaga Dewan Adat dan berbagai tantangan yang akan menghadang, organisasi Pakasa menggelar hari jadinya genap 92 tahun pada 29 November 2023 ini.
Di antara beberapa pengalaman menarik bagi semua yang terlibat dalam berbagai kegiatan peringatan ultah dalam sehari, Minggu (26/11) itu, ada satu hal yang menarik khususnya bagi Kraton Mataram Surakarta. Yaitu pengalaman baru yang menantang untuk menciptakan kemasan paling ideal untuk peringatan hari jadi Pakasa, mengingat itu bukan upacara adat kraton. (Won Poerwono-bersambung/i1).