Baru Merawat Alatnya Saja, Sudah Jadi Peristiwa Menarik
IMNEWS.ID – RITUAL “Ngesis Wayang” yang digelar saat datang weton Anggara Kasih atau Selasa Kliwon tiap siklus 35 hari sekali itu, adalah upacara adat yang benar-benar sangat menarik ketika dilihat dari berbagai sisi. Dan benda budaya bersejarah yang “diangini” atau diangin-anginkan itu, baru alat atau sebagian dari berbagai elemen atau komponen dari seni pertunjukan wayang kulit yang populer disebut seni pedalangan atau seni pakeliran.
Jadi, baru berbicara alat atau sebagian yang digunakan untuk pertunjukan seni pedalangan saja, sudah menjadi pemandangan, atraksi atau peristiwa menarik ketika alat itu dimiliki sebagai aset seni budaya Kraton Mataram Surakarta. Contohnya, sekotak wayang yang punya nama Kanjeng Kiai (KK) Jimat yang mendapat giliran dikeluarkan dari ruang penyimpanan gedhong Lembisana, dalam upacara adat “Ngesis Wayang”, 24 Januari lalu (iMNews.id, 24/1/2023).
Ritual “Ngesis Wayang” tak hanya asal mengeluarkan sekotak anak wayang dari tempat penyimpanannya saja, melainkan harus memenuhi prosedur adat yang benar, yaitu ada tatacara “meminta izin” mengeluarkan dari ruang yang dipimpin seorang abdidalem yang bertugas di tempat itu, lalu diangkat berenam (enam orang-Red), dibawa sambil berjalan dan dipayungi atau “disongsong”, lalu digelar di lantai gedhong Sasana Handrawina. Untuk membuka kotak dan mengangkat anak wayang yang ada di dalam kotak, juga harus dilakukan seorang abdidalem yang mendapat tugas sebagai “tindhih” atau yang bisa pimpinan teknis.
Setelah dikeluarkan dan ditempatkan sesuai penggolongannya yang biasanya terpisah dengan sekat anyaman bambu, untuk melepas satu persatu dari tumpukan anak wayang juga menggunakan prosedur teknis yang berlaku. Demikian pula saat menggantungkan satu persatu dalam tambang yang sudah dibentang, agar seluruh permukaan anak wayang mendapatkan angin atau udara secara bebas. Sebelum itupun juga ada tatacaranya, untuk mengetahui apakah ada debu menempel?, atau jamur atau adakah bagian yang retak, putus atau lepas?.
Sambil “diangini” selama lebih 90 menit mulai jam 10.00 WIB, para abdidalem yang bertugas di situ punya bagian sendiri-sendiri, mulai dari membersihkan debu dengan kuas, menyeka lendir jamur dengan tisu dan mereparasi bila ada tali engsel putus, gapit retak atau tali gapit yang putus. Setelah itu, proses memasukkan kembali ke dalam kotak dan memasukkan sekotak anak wayang itu, juga dengan prosedur adat, seperti ketika KK Jimat “diangini” dalam upacara yang secara teknis dipimpin Ki KRT Dr bambang Suwarno, 24 Januari lalu.
Itu baru sekotak anak wayang “pusaka” KK Jimat, yang tergolong paling tua usianya karena sebagian isinya yang berjumlah lebih dari 200 anak wayang, berasal dari Kraton Mataram saat ber-Ibu Kota di Kartasura (1645-1745). Masih ada 16 kotak anak wayang, yang antara lain namanya KK Kadung, KK Pramukanya, KK Dupara, Kiai Kaper dan sebagainya masing-masing akan mendapat giliran “diupacarakan” untuk mendapatkan udara bebas tiap 35 hari sekali, secara berurutan sesuai kondisinya, ke depan.
Dengan adanya ritual “Ngesis Wayang”, tiap Anggara Kasih atau Selasa Kliwon datang, ada sekitar 20 abdidalem yang terlibat beraktivitas bertugas pada masing-masing bagian, mulai dari gedhong Lembisana sampai tempat ritual, gedhong Sasana Handrawina. Dan secara kebetulan, weton Anggara Kasih atau Selasa Kliwon, juga menjadi jadwal yang baik secara spiritual kebatinan bagi para abdidalem penari Bedaya Ketawang, untuk melakukan gladen atau berlatih di Pendapa Sasana Sewaka, sampai datang waktu ritual tingalan jumenengan seperti yang akan digelar 16 Februari ini.
Dengan bersamaan adanya gladen tari Bedaya Ketawang, bila diambil Selasa Kliwon siang bukan Senin Wage atau malam Selasa Kliwon, pusat kedhaton atau pusat wilayah sakral di kraton itu benar-benar tampak “hidup”. Itu baru dua ritual, belum terhitung ritual Dhukutan dan ritual besar yang jumlahnya belasan jenis dalam setahunnya. Belum lagi ditambah latihan baris-berbaris prajurit, latihan karawitan, latihan tari dan sebagainya, juga kegiatan Sanggar Pasinaon Pambiwara di Bangsal Marcukunda, yang tentu saja akan membuat kraton “hidup”, tidak seperti yang tampak selama 5 tahun sejak 2017, mirip “sedang bunuh diri pelan-pelan” tapi gagal.
Selain 17 kotak anak wayang “pusaka”, dari satu-kesatuan seni pertunjukan wayang kulit masih ada bagian instrumen iringannya yang disebut karawitan, dan alatnya disebut gamelan. Namun, gamelan sebagai iringan wayang kulit telah diciptakan para Empu dan para Pujangga menjadi sebuah satu-kesatuan alat musik yang bisa berdiri sendiri atau mandiri, hingga bisa menjadi sebuah pertunjukan mandiri yang disebut “konser orkestra karawitan”.
Gamelan memang tidak menjadi benda yang memerlukan ritual secara khusus, karena sifat material bahannya beda dengan anak wayang. Gamelan di kraton yang juga cukup banyak dan semuanya kategori pusaka, menjadi objek ritual saat datang bulan Sura Tahun Baru Jawa, atau menjelang digunakan untuk ritual Garebeg Mulud Sekaten, dijamas bersama sejumlah pusaka kraton. Begitu pula kelir (layar) beserta beberapa perlengkapan pentas wayang kulit, punya waktu sendiri menjadi objek ritual atau “diupacarakan”, yang pasti bisa menarik pula untuk diketahui publik. (Won Poerwono-habis/i1)