PRIORITAS PENTING : Upacara adat tingalan jumenengan adalah bagian dari eksistensi kehidupan Kraton Mataram Surakarta secara adat, yang berbasis budaya produk peradaban. Paradigma bisa bergeser, karena supremasi kelembagaan masyarakat adat menjadi popularitas lebih penting kini dan di masa depan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)
“Kirab Gagal Agung” Arena Melenceng dari Prioritas Upacara Adat
IMNEWS.ID – UPACARA adat tingalan jumenengandalem atau ulang tahun tahta “raja” ke-19 SISKS Paku Buwana (PB) XIII sudah bisa terlaksana dengan sukses dan lancar pada Kamis Pon (16/2), walau ada kekurangan di sana-sini yang sifatnya manusia dan bisa dimaklumi. Sampai seberapa besar persentasi kekurangannya dan berapa besar yang bisa dimaklumi, dan ataukah ada yang tak bisa dimaklumi? Sepertinya sulit didengar kabarnya dari luar karena tidak ada tradisi akuntabilitas atas hasil kerja pengelolaan, mekanisme kontrol dan evaluasi, terutama yang menyangkut penggunaan dana hibah APBD atau APBN.
Meski begitu, hal-hal yang menyangkut pelaksanaannya dan bisa tampak di luar, mungkin langsung bisa diketahui siapa saja yang memiliki pemahaman yang baik dan kebetulan mencermati dari luar. Selain aspek ritualnya, ada berbagai aspek lain dari upacara adat itu yang bisa dicermati atau bahkan bisa dipahami, dari sekadar sebagai sebuah pengalaman pribadi karena menjadi bagian dari masyarakat adat, sebagai kekayaan referensi tradisi adat dari sisi atraktrifnya, tetapi juga bisa dilihat dengan beberapa ukuran/takaran yang antara lain misalnya sistem tata-nilai paugeran adat.
Bagi Kraton Mataram Surakarta yang sudah selama 200 tahun eksis sebagai “negara monarki” Mataram Surakarta (1745-1945), popularitas lembaga negara menjadi nomer dua atau lebih, atau bahkan bukan masuk kategori level supremasi. Karena, yang menjadi supremasi adalah nama figur pemimpinnya yang diasumsikan punya kapasitas sebagai pemimpin adat, pemimpin bangsa (Jawa), pemimpin kebinet/pemerintahan, kepala negara (monarki) sekaligus pemimpin agama (Khalifatullah Sayidin Panatagama), karena Mataram Surakarta adalah penerus Mataram Islam.
Maka, supremasi figur pemimpin sejak SISKS Paku Buwana (PB) I (1660-1705) hingga Sinuhun PB XII (1945-2004) justru lebih menonjol dari supremasi kelembagaan “negaranya”. Prioritas itu sudah bergeser di zaman milenial ini, meski basis yang menjadi cirikhas kehidupan masyarakat adat adalan upacara adat. Bahkan, penonjolan seperti itu juga terjadi pada masa leluhur Dinasti Mataram jauh sebelumnya, apalagi ketika berbicara soal tokoh Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma dan dua pemimpin Mataram sebelumnya. Juga ketika leluhurnya masih di Kraton Pajang (abad 15-16) dan Kraton Demak (abad 15).
Tidak seperti ketika geopolitik dunia berubah setelah perang dunia (PD) II (1939-1942), supremasi sebuah lembaga negara pengelola bangsa rata-rata lebih tertuju pada eksistensi lembaga kenegaraan/bangsanya. Oleh sebab itu, perayaan ulang tahun tahta seorang raja atau tingalan jumenengandalem figur pemimpin kerajaan lebih menjadi supremasi dan lebih dikenal dan diapresiasi, dari pada eksistensi kelembagaan/bangsanya.
Supremasi sebagai figur pemimpin negara monarki masih dirasakan Sinuhun PB XII, walau kedaulatan politik kenegaraannya sudah “diserahkan” kepada NKRI sejak 17 Agustus 1945. Namun, popularitasnya sebagai pemimpin masyarakat adat di Kraton Mataram Surakarta masih dikenal luas dan diapresiasi secara luas di dalam dan di luar negeri. Sebagai konsekuensi dari itu, popularitas supremasi lembaga kenegaraannya (Juni-Agustus 1945) yang disambung supremasi lembaga adatnya (1945-2004) berada di bawah atau kalah dari popularitas supremasi nama besarnya.
Di alam republik yang semakin menampakkan suasana demokrasi “yang aneh” sekarang ini, popularitas supremasi figur pemimpin ditiru Sinuhun PB XIII untuk dilanjutkan. Dalam semangat seperti itu bahkan “menggebu-gebu”, tidak disadari bahwa bekal kapasitas pribadi sebagai seorang pemimpin tidak selengkap yang dimiliki ayahadanya, Sinuhun PB XII, bahkan sangat jauh ketika dibanding para leluhur Sinuhun Paku Buwana sebelumnya.
Mengedepankan supremasi figur pemimpin seperti yang dilakukan Sinuhun PB XIII sejak 2004 yang ditingkatkan intensitas “propaganda” kelembagaan mahkotanya sejak 2017, secara langsund maupun tidak, semakin menenggelamkan popularitas supremasi kelembagaan masyarakat adat Mataram Surakarta. Tetapi, secara tidak langsung juga menjadi jebakan yang bisa mendegradasi supremasi mahkota dan dirinya, karena alam republik yang berdemokrasi secara “aneh” di zaman milenial ini, gampang sekali menjatuhkan seseorang tanpa pandang-bulu, sampai ke dasar kenistaannya, tanpa ampun.
Tetapi sebaliknya, bisa menjadi sebuah keniscayaan, di “zaman edan” seperti sekarang ini seseorang yang sebelumnya bukan siapa-siapa bisa terangkat sampai tinggi sekali di atas ujung langit, hingga sulit dilihat dari bumi. Semua tanda-tanda dan gejala yang merepresentasikan popularitas supremasi diri itu ada pada peristiwa upacara adat tingalan jumenengan ke-19 Sinuhun PB XIII, Kamis siang (16/2) itu. Apalagi ketika melihat acara pelengkap yang sifatnya tentatif berupa “kirab gagal agung” sorenya, popularitas supremasi atas apa yang hendak dicapai?
Melihat kenyataan-kenyataan dan arah geososial, politik dan budaya yang berkembang saat ini dan ke depan, sepertinya penguatan kelembagaan masyarakat adat Mataram Surakarta harus lebih menjadi prioritas untuk “direparasi”. Karena, kelembagaan itu yang lebih masuk akal menjadi payung bagi semua isinya, terutama segala bentuk aktivitas adat dan seni budaya yang akan memberi sinar kehidupan kelembagaan. Pancaran cahaya kelembagaan Mataram Surakarta diharapkan menyinari sekelilingngnya, bukan popularitas supremasi pribadi tokoh pemimpinnya, yang “ndilalah” semakin mendegradasi kapasitas dirinya menjadi di bawah “rata-rata” selama 2017-2023 ini. (Won Poerwono-bersambung/i1)