Sebagai Iringan “Live” Prajurit Panyutra Ritual Hajaddalem Malem Selikuran
IMNEWS.ID – TIDAK lama lagi, sebuah karya peradaban Mataram Surakarta semasa Sinuhun Paku Buwana (PB) X (1893-1936) lambat-laun akan hilang dari simbol ikon Kota Surakarta, bersamaan dengan hilangnya memori publik tentang lokasi sarana rekreasi atau hiburan yang kali pertama diberi nama Kebon Raja itu. Dari dulu pernah menjadi lokasi kebon binatang (bonbin) yang dipadukan dengan upacara adat Malem Selikuran diikuti keramaian pasar malam Maleman Sriwedari, dimulai dengan dipindahnya bonbin ke Taman Jurug (TSTJ-Red), kemudian hilangnya Maleman Sriwedari yang diikuti dengan kembalinya Malem Selikuran ke lingkungan Karaton Mataram Surakarta, dan terakhir ditutupnya sarana rekreasi Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari pada 2018 untuk selamanya.
Sebagai ilustrasi, proses hilangnya simbol ikon bernama Taman Sriwedari dengan segala isi dan potensinya, lebih disebabkan oleh kepentingan penguasa yang mendominasi di antara sejumlah faktor lain penyebabnya. Dimulai dengan sengketa kepemilikan antara para ahli waris Wirjodiningrat dengan Pemkot Surakarta sejak tahun 1970-an, berangsur-angsur Taman Sriwedari kehilangan makna dan fungsinya, setelah bon-bin dipindah di awal tahun 1980-an ke Taman Jurug, dan hanya disikan sepasang gajah Kiai-Nyai Anggara yang dikenal sebagai ikon bon-bin Kebon Raja.
Tak lama kemudian, sepasang gajah dipindah menyusul aneka satwa lain ke Taman Jurug, dan pasangan satwa yang dikeramatkan publik itu mati satu demi satu karena usia. Bersamaan dengan itu, Kebon Raja terhapus dari memori publik dan Taman Sriwedari menggantikan posisinya dengan isi deretan kios kerajinan pigura, fasilitas pusat kuliner Pujasari, restoran yang menggusur “kupel Segaran”, deretan kios buku, gedung Grha Wisata Niaga, Museum Radya Pustaka, gedung WO Sriwedari.
“Membelenggu” Fungsi Fasilitas
Dalam perjalanan terutama selepas era Orde Baru, beberapa fasilitas utamanya Pujasari kemudian berubah fungsi menjadi karaoke, yang lambat-laun gulung tikar hampir bersamaan dengan berakhirnya keramaian pasar malam Maleman Sriwedari. Tinggal hiburan musik THR Sriwedari yang telah menjadi ikon Kota Surakarta karena beberapa sajiannya antara lain “Koes-Plusan” dan dangdutan sejak 1985, juga sudah berakhir di tahun 2018 karena ditutup untuk selamanya.
Kini, nama Taman Sriwedari sudah nyaris hilang dari memori publik, khususnya kalangan generasi muda yang lahir di tahun 1990-an, karena sejumlah fasilitas yang sudah menjadi ikon itu lenyap dari sana, dan kini tinggal Museum Radya Pustaka dan WO Sriwedari, ditambah aktivitas jasa kerajinan pigura yang masih bertahan. Dalam kondisi pandemi sejak 2020, sebuah aktivitas pembangunan masjid hasil “janji politik” seakan menjadi proyek “macet” dan terkesan membelenggu fungsi-fungsi fasilitas bernilai sejarah di dalamnya, yaitu “kupel Segaran” dan WO Sriwedari.
Dengan kondisi seperti itu, faktor spiritual kebatinan Jawa menyebutkan bahwa Taman Sriwedari sudah tidak memiliki “angsar” atau spirit yang baik untuk kegiatan apa saja, kecuali dikembalikan seperti sediakala sebagai fasilitas publik dengan spirit budaya berlandaskan nilai kesejarahannya. Oleh sebab itu pula, benar kata GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng selaku Ketua LDA saat memberi sambutan di upacara adat Malem Selikuran di kagungan Masjid Agung Karaton Mataram Surakarta, belum lama ini (iMNews.id, 23/4), bahwa Taman Sriwedari sudah tidak layak untuk menggelar ritual Malem Selikuran, maka upacara itu dikembalikan ke tempat semula yang dipusatkan di Masjid Agung.
Tak Ingin Kehilangan Satupun
“Saya masih ingat, ketika menjadi prajurit Panyutra, ikut berjalan kaki dari keraton mengikuti prosesi hajaddalem Malem Selikuran yang didoakan di kupel Segaran Taman Sriwedari. Saya juga pernah mendapat tugas untuk ndawuhaken ujub wilujengan Malem Selikuran, ketika ritual itu dipindah di Pendapa Joglo taman Sriwedari karena kupel sudah dikuasai pihak lain. Jadi, ritual Malem Selikuran termasuk di antara beberapa upacara adat yang dilengkapi prajurit Panyutra dan gamelan Cara Balen,” jelas KRRA Budayaningrat mengisahkan pengalamannya mengikuti prosesi Malem Selikuran di Taman Sriwedari dalam tugas berbeda, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.
Walau ritual Malem Selikuran “tergusur” keluar dari Taman Sriwedari bersamaan dengan proses delegitimasi publik terhadap karya Sinuhun PB X itu, tetapi upacara adat yang digelar Karaton Mataram Surakarta rutin tiap datang bulan Ramadhan itu sama sekali tidak hilang dari ruang publik Surakarta. Ritual ini tetap ada dan digelar rutin, setidaknya oleh Lembaga Dewan Adat (LDA) dengan segala kelengkapannya, dengan segala plus-minusnya, sebagai cara masyarakat adat budaya untuk menyambut hari besar Islam, Lailatul Qadar atau Malam Seribu Bintang.
Masyarakat adat penerus Dinasti Mataram dan warga peradaban yang sejak 2004 dibingkai dalam Lembaga Dewan Adat (LDA) yang dipimpin Gusti Moeng, tidak ingin kehilangan karya-karya leluhur berupa upacara adat satupun yang diwariskan kepada generasi penerus peradaban Mataram/Jawa, termasuk ritual Malem Selikuran. Apalagi, ritual yang satu ini cukup unik, karena prosesinya melibatkan bermacam-macam unsur simbol, termasuk unsur simbol musik dan unsur simbol para pelaku pendukungnya, terutama bregada prajurit Panyutra.
Pulangnya Diangkut Truk
“Ada (media cetak) Pawarti Surakarta tahun 1938, yang menyebutkan prosesi arak-arakan hajadalem Malem Selikuran dari kraton menuju Taman Sriwedari, diikuti prajurit Panyutra yang diiringi gamelan Cara Balen. Jadi, selain hajadalem Garegeb Syawal dan Garebeg Besar, ritual Malem Selikuran juga menyertakan prajurit Panyutra lengkap dengan gamelan Cara Balen. Saya juga sudah merasakan. Kalau di zaman Sinuhun PB X sesudah selesai upacara, gamelan Cara Balen pulangnya ya dipikul. Tetapi saat saya ikut di zaman Sinuhun PB XII, pulangnya diangkut truk dan bus,” jelas dwija dari Sanggar Pasinaon Pambiwara Karaton Mataram Surakarta itu.
Data sejarah yang diperoleh Ketua MGMP Bahasa Jawa se-Jateng itu, tidak ada penjelasan sejak kapan sejumlah upacara adat di kraton menyertakan prajurit Panyutra bersama iringannya gamelan Cara Balen. Tetapi dari Pawarti Surakarta tahun 1938 itu disebutkan, Keraton Mataram Surakarta telah mengadaptasi gaya dan teknik khas para seniman karawitan/pengrawit Bali dalam menabuh gamelan, hingga lahir gamelan Cara “Bali-an” (Cara Balen) yang memainkannya dengan cara dipukul dalam gendongan.
Nuansa “gaya” Bali yang masuk ke dalam ragam karawitan iringan upacara adat di Karaton Mataram Surakarta, menjadikan prosesi upacara adat yang diiringinya bertambah meriah dan menarik. Apalagi ketika masuk sebagai unsur iringan prosesi kirab Malem Selikuran, gamelan Cara Balen terdengar saling mengisi dengan unsur musik drumb-band Korp Musik prajurit keraton, unsur musik rebana/terbangan dalam irama samroh atau hadrah, masih ditambah dengan musik Laras Madya atau Santiswaran, yang membuat konser musik “live” dan “mobil” Malem Selikuran menjadi sebuah atraksi penuh estetika di malam cerah, dihiasi kerlip bintang di langit. (Won Poerwono-i1)