Ingin “Meluruskan Sejarah” dan “Sekadar Menutup Luka“
iMNews.id – KALAULAH dirasa-rasakan benar di sanubari, warga penerus Dinasti Mataram di Surakarta Hadiningrat ini yang sebenarnya banyak menderita luka (secara batin) di masa republik ini, akibat adanya Perjanjian Giyanti itu, secara langsung atau tidak. Dan kalaulah dihitung-hitung, keluarga besar penerus Dinasti Mataram di Mataram Surakarta ini yang sangat banyak menderita rugi (secara lahir).
Oleh sebab itu, bentuk-bentuk ekspresi sikap seperti sekadar ”ngudarasa” di forum-forum terbatas masyarakat adat Lembaga Dewa Adat (LDA) Mataram Surakarta Hadiningrat, sampai bentuk sarasehan/diskusi yang mengangkat tema ”Perjanjian Giyanti” di awal 2020 dan Rabu 10/2 lalu, adalah sebuah ekspresi yang sekadar melepas keinginan untuk meluruskan sejarah sekenanya, dan sekadar menutup luka alakadarnya.
Sebab sangat disadari, bahwa memori publik warga bangsa secara luas di NKRI ini, terutama yang lahir sebelum tahun 1980-an, sudah telanjur ”teracuni” oleh stigma negatif/buruk yang menurut sejarawan (Asga) kandidat doktor Widodo Aribowo, prosesnya begitu masif, sistemik/sistematik dan terstruktur. Selama 32 tahun dalam rezim pemerintahan Orde Baru, telah terjadi ”brain washing” yang luar biasa, agar jangan sampai ada jejak sejarah peradaban masa lalu khususnya yang berkait dengan Keraton Mataram Surakarta Hadiningrat.
Dengan ”brain wash” yang masif, sistemik/sistematik dan terstruktur itu, diharapkan warga bangsa tidak akan bisa mengenal jejak peradaban. Dengan tiga jurus itu pula, diharapkan warga bangsa diharapkan tidak akan mengenal, mengerti dan memahami bahwa sebelum ada NKRI, sudah ada peradaban yang nyaris lengkap sesuai kebutuhan peradabanideal saat itu, bahkan ”telah mempersiapkan” segala sesuatu yang dibutuhkan/diperlukan untuk kehidupan peradaban zaman setelahnya yang momentumnya dimulai pada 17 Agustus 1945.
”Kalau menurut saya, upaya menghilangkan memori publik (brainwash-Red) sudah sampai level sistemik/sistematik dan terstruktur. Tentu saja termasuk kalangan ilmuwan kampus (sejarawan), yang seharusnya tahu bahwa sejarah (Perjanjian Giyanti-red) yang sebenarnya. Rata-rata hanya diam saja, padahal tahu bahwa kebenarannya telah disimpangkan. Bahkan, dirinyapun ikut terlibat menyimpangkan kebenaran sejarah,” tegas kandidat doktor bidang kajian sejarah di UNS itu, menjawab pertanyaan iMNews.Id, belum lama ini.
Gagalkan Judicial Review
Banyak fakta tentang penyimpangan sejarah berikut segala bentuk ekses negatifnya, termasuk yang mempengaruhi kebijakan politik pemerintah, baik sejak Orde Lama, terutama Orde Baru hingga rezim orde pemerintahan ”Reformasi” yang seakan bisa dipersepsikan sebagai bentuk ”balas dendam” atas ”sakit hati” dan ”kekecewaan” akibat Perjanjian Giyanti.
Dan belakangan atau sampai saat ini, giliran keluarga besar penerus peradaban Dinasti Mataram di Surakarta Hadiningrat yang menderita ”luka dalam” (batin) dan kerugian tak ternilai besarnya secara lahir. Karena, stigma buruk/negatif bahwa Paku Buwono dan Keraton Surakarta pro-Belanda atau anteknya Belanda disebarluaskan secara sistemik/sistematik dan terstruktur selama rezim pemerintahan Orba, sebagai bentuk pemutarbalikan fakta isi Perjanjian Giyanti dan juga peristiwa-peristiwa lain yang terjadi sejak Mataram masih beribukota di Kartasura.
Kerugian (secara lahir) yang begitu besar, salah satunya adalah lepasnya status Provinsi Daerah Istimewa untuk Surakarta (DIS), padahal pada pasal 18 UUD 1945 yang berlaku sampai sekarang, masih menyebutkan Surakarta sebagai salah satu provinsi secara sah. Upaya di belakang layar untuk menggagalkan judicial review (uji materi) UU No 10/1950 tentang pembentukan Provinsi Jateng yang dilakukan LDA dan LHKS pada tahun 2012, tentu tidak bisa dipisahkan dari ”brain wash” yang masif, sistemik/sistematik dan terstruktur di era rezim Reformasi (Presiden SBY, 2004-2009-2014).
”Kekecewaan” keluarga besar peradaban penerus Dinasti Mataram di Surakarta Hadiningrat, atas stigma negatif/buruk yang membuat banyak asetnya terlepas, tentu tidak bisa dilepaskan dari ”kekecewaan” keluarga besar keturunan Pangeran Mangkubumi atas fakta Perjanjian Giyanti yang bertlangsung pada 13 Februari 1755. Namun, kekecewaan dan kerugian sering tidak berati akan mendapat kemujuran/keberuntungan, atau sebaliknya.
Namun, apapun yang secara fisik bisa dilihat dan disebut sebagai bentuk kemajuan, sangat sering menjadi ukuran keberhasilan, kebanggaan dan kehormatan seseorang, atau lembaga, atau kelompok atau rezim penguasa tertentu. Sehingga, Mataram Surakarta Hadiningrat yang sudah diberi label stigma buruk/negatif tanpa dasar seperti itu, lalu dianggap ”tidak istimewa”, tidak terhormat”, ”tidak membanggakan”, ”tidak berhasil”, ”tidak layak” dan sebagainya.
Bahkan, Kepala Program Studi S3 Kajian Budaya, Prof Andrik Poerwasito menyatakan sudah tidak melihat Keraton Mataram Surakarta mampu menjadi basis Sala Kuncara, secara sosiologis maupun historis. Patung Slamet Riyadi dengan posisi yang agak membelakangi keraton, menurutnya menunjukkan bahwa Keraton Mataram Surakarta tidak lagi dianggap aset yang penting dalam membangun Sala Kuncara.
”Sala yang Kuncara adalah berdirinya mall-mall, hotel, kafe-kafe, tempat hiburan/rekreasi dan sebagainya. Keraton dianggap sudah bukan bagian dari itu,” ujarnya di situs web prabangkaranews.com dengan judul ”Tolong Dijaga! Agar Keraton Surakarta Tidak Runtuh”.
Agar Melahirkan Kebencian
Bila mencermati pernyataan seorang dosen pengajar di Jurusan Hubungan Internasional (HI) Fisip UNS itu, posisi keraton saat ini dianggap sudah tidak layak, tidak membanggakan karena tidak istimewa oleh pihak-pihak yang berkait dengan pencitraan Kota Solo, yang tentu saja didominasi oleh pemerintah setempat. Dan sikap serta perlakuan seperti itu, seakan terstruktur secara hirarki sampai tingkat provinsi dan pemerintah pusat, bahkan sampai jajaran masing-masing level.
Artinya, stigma buruk/negatif itu terus menjadi materi ”brain wash” agar melahirkan kebencian, yang selalu dijaga dan dipelihara keberlangsungannya, agar menjadi anggapan publik secara luas, dan terus berusaha diwariskan turun-temurun, dari generasi ke generasi. Intinya, semua akan tertuju pada salah satu keperluan mengungkap ”Perjanjian Giyanti” itu, yaitu ”meniadakan” eksistensi pihak lain yaitu ”kebesaran nama” Mataram Surakarta Hadiningrat.
Unsur niat ”meniadakan eksistensi pihak lain” itulah, yang sangat tidak disetujui Dr Purwadi, anggota Pakasa Cabang Jogja yang menjadi Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara (Lokantara). Menurutnya, siapapun boleh kecewa dengan isi Perjanjian Giyanti, tetapi jangan sampai melakukan perbuatan apapun yang niatnya ingin meniadakaan keberadaan/jasa pihak lain.
”Karena pada prinsipnya, Sinuhun Paku Buwono III ingin tetap menjaga agar keluarga dinasti tetap utuh. Maka beliau mengizinkan pamannya (Pangeran Mangkubumi) menjadi raja bergelar Sultan HB I di Keraton Jogja, sesuai isi perjanjian yang dibuat tanggal 13 Februari 1755 itu. Beliau layak menjadi Bapak Perdamaian,” tunjuk sejarawan penyusun buku sejarah singkat kota/kabupaten di Jateng, Jatim dan Jabar itu.
Gelar Bapak Perdamaian itu, menurutnya diperkuat dengan fakta perjanjian Salatiga 17 Maret 1757. Di situ, Sinuhun PB III mengizinkan Pangeran Sambernyawa menjadi penguasa (adipati) di Praja/Kadipaten Mangkunegaran. Bahkan, pendapa kepatihan Keraton Kartasura diberikan Sinuhun PB III kepada pamannya itu, yang hingga kini masih gagah berdiri sebagai penghias Istana Pura Mangkunegaran. (Won Poerwono-bersambung)