Field Trip Para Kerabat Setelah “Insiden Gusti Moeng Kondur Ngedhaton” (seri 2- bersambung)

  • Post author:
  • Post published:January 3, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
menara Panggung Sangga Buwana
UPAYA RENOVASI : Upaya renovasi terhadap menara Panggung Sangga Buwana tampak dilakukan beberapa waktu sebelum Gusti Moeng dan seluruh pengikutnya "diusir" dari Kraton Mataram Surakarta saat terjadinya insiden "mirip operasi militer", pada Arpil 2017. (foto : iMNews.d/Won Poerwono)

Menunggu Lima Tahun untuk Melihat Kerusakan Kraton Lebih Parah

IMNEWS.ID – KUNJUNGAN lapangan atau “field trip” yang dilakukan para kerabat dan warga Pakasa yang habis mengikuti pisowanan ritual wilujengan “sungsuman” di Bangsal Smarakata, belum lama ini (iMNews.id, 1/1/2023), rata-rata didasari oleh sikap penasaran mereka untuk membuktikan kondisi berbagai bangunan dan suasana di dalam pagar tembok kraton, setelah lebih 5 tahun ditutup sejak April 2017. Namun apa yang dilihat 50-an kerabat termasuk KP Budayaningrat dan KP Siswanto Adiningrat Minggu siang itu rata-rata sudah sesuai dengan yang sebelumnya terbayang di kepala, yaitu kondisi dan suasana yang jauh lebih buruk, kotor dan lebih parah kerusakan yang terjadi karena selama 5 tahun itu memang dibiarkan saja.

Tak perlu jauh-jauh melihat sampai ke sekitar Bangsal Keputren yang letaknya jauh di belakang Pendapa sasana Sewaka, ketika melihat sebuah menara yang tingginya kira-kira 15 meter dan letaknya sangat strategis serta mudah dilihat orang walau hanya melongok melalui pintu Kori kamandungan, tempat sakral bernama Panggung Sangga Buwana itu sudah bisa merepresentasikan kondisi buruk tak terawat bila dilihat sekilas saja. Tetapi, bekas-bekas dicat ulang dalam 5 tahun kraton ditutup itu masih masih ada, namun kondisi kerusakan secara di sana-sini tak berubah baik, melainkan malah makin parah, terlebih banyak ditumbuhi tanaman liar menempel di beberapa titik lingkaran dinding menara yang berada di sisi selatan Bangsal Marcukunda itu.

BANYAK WISATAWAN : Banyak wisatawan yang berfoto di depan menara Panggung Sangga Buwana yang tampak sudah ditumbuhi tanaman parasit, saat di dekatnya berlangsung ritual wilujengan “sungsuman” yang digelar Fusti Moeng di Bangsal Smarakata, Minggu siang (1/1/2023). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Bila membandingkannya antara sebelum 2017 mulai saat semua elemen kerabat mendukung jumenengnya KGPH Hngabehi menjadi Sinuhun PB XIII di tahun 2004 dengan selama kraton ditutup sejak April 2017 hingga ada “insiden Gusti Moeng kondur ngedhaton”, Sabtu 17 Desember 2022, tampak sekali ada perbedaan semangat yang melandasi “pemanfaatannya”. Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Ketua LDA bersepakat dengan semua pengageng bebadan dan jajarannya serta semua kerabat untuk “memanfaatkan” Kraton Mataram Surakarta dengan semangat pelestarian, menjaga kelangsungan, merawat dan memperbaiki serta menjaga harkat, martabat dan kewibawaaannya, sementara saat “dikuasai” selama 5 tahun itu dilandasi semangat mengeksploitasi dan “destroy”.

Perbedaan semangat atau spirit itu sungguh menempatkan masing-masing pihak pada dua posisi yang terasa bertolak belakang, ibarat berada di sisi positif dan yang sisi lain ditempati pihak yang berlawanan atau negatif. Diakui atau tidak, selama 5 tahun ini kraton telah dikuasai oleh kolaborasi antara pihak Sinuhun dengan pihak luar pendukungnya, termasuk pemerintah, berada di sisi negatif yang punya semangat “destroy” bila belum masuk kategori “mengeksploitasi”. Yang menjadi sasaran para “destroyer” itu adalah semua yang berkait dengan tata nilai paugeran adat, sebagai konstitusi yang selama ini diperjuangkan Gusti Moeng untuk ditegakkan.

SASARAN MALING : Suasana Bangsal Keputren yang berantakan dan sepi karena jauh di belakang Pendapa Sasana Sewaka, sangat mungkin dijadikan sasaran maling, karena nyaris tidak ada manusia lain selain para petugas “pengamanan internal”, sebelum Gusti Moeng bisa masuk kraton. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pemerintah yang secara kebetulan atau tidak berada di sisi negatif yang berspirit “destroy” itu, ketika Kemendagri (alm Cahyo Kumolo-Red) mengeluarkan SK di tahun 2018 yang menyebut, bahwa Sinuhun PB XIII adalah “Pemilik Kraton” sebagai cara pemerintah untuk “melegalkan” tafsir “Kagungandalem” artinya hak milik Sinuhun dan keluarga kecilnya. Dalam SK itu juga ada penjelasan bahwa KGPH Tedjowulan yang “mantan Sinuhun PB XIII” itu ditetapkan berkedudukan sebagai Maha Menteri dengan gelar KGPH Panembahan Tedjowulan. Perihal tafsir dan interpretasi yang salah-kaprah itu, terdengar lantang dari kalangan adik-adik Sinuhun sendiri di sekitar proses terjadinya insiden “mirip operasi militer”, April 2017.

“Yiatu, SK Kemendagri itu yang antara lain isinya telah meracuni banyak orang di sekitar Sinuhun (PB XIII-Red). SK itu yang seakan-akan mengesahkan persepsi bahwa ‘kagungandalem’ itu artinya kraton bisa dimiliki secara pribadi oleh Sinuhun dan keluarganya. Kalau persepsi salah itu ada sejak para leluhur dahulu, saya yakin kraton ini tidak bertambah, tetapi malah sudah habis dijual. Karena, setiap Sinuhun berarti bisa menganggap bahwa kraton dan seisinya bisa dimiliki secara pribadi, termasuk bisa menjualnya. Kalau begitu caranya, mungkin kita sekarang sudah tidak bisa melihat Kraton mataram Surakarta. La, mengapa kok masih utuh dan ada fakta setiap pergantian Sinuhun malah selalu bertambah dan semakin lengkap?”

SEBELUM 2017 : Suasana deretan kamar “tenggan” di Bangsal Keputren dan halaman di sekitarnya yang tampak bersih meski belum tersentuh renovasi, sebelum 2017. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Jawabannya, ya itu tadi, karena setiap Sinuhun para pendahulu yang jumeneng sangat sadar pada tugas, tanggungjawab dan kewajibannya untuk melestarikan budayanya, dan menjaga kelangsungan kraton. Eyang-eyang Sinuhun sangat sadar, bahwa kraton adalah milik seluruh Dinasti Mataram, bukan milik pribadi. Sinuhun (PB XII-Red) selalu menegaskan pada saya dan saudara-saudara saya, bahwa :’Aku iki ora nduweni kraton. Aku mung nglungguhi klasa gumelar’. Itu artinya, Sinuhun bapak saya, juga sangat sadar tidak punya kewenangan untuk memiliki. Beliau justru banyak berupaya agar kraton dan budayanya tetap lestari sampai akhir zaman,” tandas Gusti Moeng saat ngobrol dengan iMNews.id beberapa waktu lalu, dan mengulang hal-hal penting itu di sela-sela wilujengan “sungsuman”, Minggu siang (1/1/2023).

Ketika ditelaah lebih jauh, beberapa hal yang muncul ke permukaan itu menunjukkan bahwa pergeseran makna konsep “kagungandalem” yang diyakini pihak-pihak berkolaborasi dengan Sinuhun (PB XIII), bisa disebut sebagai proses pendangkalan makna filosofis dan yang diikuti dengan upaya penyimpangannya. Pertanyaannya, mengapa pemerintah secara institusi atau pribadi pejabatnya justru mendukung upaya-upaya “destroy” dengan spirit negatif itu?, Jawabnya, arena pemerintah dan pihak-pihak lain termasuk kalangan swasta yang menggunakan tangan pemerintah, kini banyak yang menguasai aset-aset kraton, dan mulai ketakutan dengan tampilnya Lembaga Dewan Adat. Karena, lembaga inilah yang punya kedudukan hukum nasional dan kini sedang berupaya “menyelamatkan” segala aset kraton, yang bergerak dan tidak bergerak, yang dikuasai sendiri maupun dikuasai orang lain, di dalam dan di luar negeri. (Won Poerwono-bersambung-i1)