Dalam Budaya Jawa, Nama adalah Doa dan Harapan Ideal
IMNEWS.ID – MISTERI atau belum jelasnya asal-usul dan jati diri nama Indonesia (iMNews.id, 22/10/2022) sebenarnya tak boleh dibiarkan menjadi misteri, meskipun ada alasan dan pertimbangan yang membuat posisinya dibiarkan menjadi misteri. Tetapi dalam terminologi budaya Jawa, nama seseorang yang dimiliki sejak kelahirannya di dunia, rata-rata pemberian dari kedua orangtuanya yang tentunya punya makna filosofi tinggi, setidaknya adalah bentuk sederhana dari doa dan harapan ideal kedua orang tua dan keluarga besarnya.
“Asma kinarya japa”, begitu dalang kondang senior Ki Anom Suroto selalu menyebut makna pemberian nama ketika menggelar wayang kulit dalam lakon-lakon bertema kelahiran, misalnya “Gatutkaca Lahir”, “Wisanggeni Lahir”, “Parikesit Lahir” dan sebagainya di berbagai kesempatan pentasnya. Di lingkungan masyarakat etnik atau warga peradaban Jawa, pemberian nama kepada seorang anak yang baru lahir, rata-rata didasari oleh alasan adanya doa dan harapan ideal agar nama yang dimiliki si bayi, kelak membawa berkah, membawa keberuntungan dan membawa kesuksesan selain doa-doa lain seperti diajarkan dalam tata nilai dan unsur religi yang ideal.
“Asma” adalah nama, “kinarya” punya makna menjadikan dan “japa” bermakna doa dan harapan, dalam rangkaian kalimat maknanya kurang lebih bahwa sebuah nama yang diberikan, sangat diharapkan dan didoakan agar menjadi sesuatu sesuai bunyi kata atau nama yang diberikan. Di kalangan masyarakat Jawa khususnya generasi yang lahir sampai tahun 1980-an, masih banyak didapati nama “Slamet” yang identik dengan “Sugeng”, “Raharja”, “Rahayu”, “Widodo”, kemudian nama “Sri”, “Rejeki”, “Handayani”, “Pujiastuti” dan sebagainya.
Dimensi Nilai Religi
Kurang lebih, kedua orangtua atau keluarga besar yang memberi nama kepada bayi yang baru lahir, mendoakan dan mengharapkan selalu selamat, terhindar dari berbagai bencana dan penderitaan dalam hidupnya (Slamet, Sugeng dsb). Juga selalu diberi kesehatan (Saras, Widodo dsb), selalu diberi rezeki atau murah rezeki (Sri, Rejeki dsb), selalu memuji/memohon keselamatan (Pujiastuti), selalu diberi/memberi kekuatan (Handayani) dan sebagainya.
Dalam terminologi seperti itu, nama sangatlah penting, terlebih nama sebuah negara, Indonesia. Nama itu menjadi ciri dan identitas, terlebih bisa merujuk pada jati diri dan asal-usul keluhurannya, karena akan menjadikan kemuliaannya. Inilah yang bisa menjadi pertimbangan, agar para negarawan, para peneliti sejarah dan peneliti/ahli hukum tata negara merasa tertantang untuk menjalankan salah satu tugas dan kewajiban profesi/gelarnya.
Nama Indonesia adalah simbol sekaligus identitas sebuah bangsa, yang bisa saja punya makna filosofi seperti yang diharapkan si tokoh pemberi nama, setidaknya seperti ucapan ikrar Sumpah Pemuda yang diucapkan para pemuda pewakilan sejumlah wilayah di Nusantara, pada tanggal 28 Oktober 1928. Mungkin saja mereka yang berkumpul dan berikrar Sumpah Pemuda itu tidak tahu jati diri dan asal-usul tokoh yang menciptakan, tetapi ucapan sumpah yang diikrarkan, sangat diyakini memiliki dimensi nilai-nilai religi yang bisa disebut doa.
Lambang Mataram Surakarta
Simbol negara selain nama yang menjadi ciri identitas, adalah bendera Merah-Putih atau biasa disebut Sang Saka, yang jelas mengadopsi dari kombinasi warna dari umbul-umbul yang dibawa dari Kerajaan Majapahit dan menjadi ciri identitas Kraton Mataram hingga Surakarta. Warna merah sebagai simbol keberanian dan putih sebagai simbul kesucian, memang tak diketahui jati diri tokoh dari Kerajaan Majapahit yang kali pertama mencetuskan, tetapi kombinasi warna itu sudah menjadi konsensus nasional sebagai simbol NKRI, apalagi bendera pusaka yang dikibarkan saat peristiwa proklamasi kemerdekaan, hasil jahitan tangan Ibu Fatmawati, Ibu Negara.
“Sebelum NKRI lahir, warna Merah-Putih sudah menjadi simbol cirikhas Kraton Mataram Surakarta. Simbol dari umbul-umbul gula (merah) klapa (putih), bahkan dibawa dari Kraton Majapahit. Karena, perjalanan sejarah Mataram berasal asalnya dari sana, dan berakhir di Kraton Mataram Surakarta, sampai sekarang. Kalau soal nama negara, saya belum punya referensi. Tetapi, saya mengenal nama Nusantara, juga Nuswantara selain nama Indonesia,” sebut GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) Kraton Mataram Surakarta, dalam sambutannya di acara peringatan berdirinya “nagari” Mataram Surakarta, pada 17 Sura Tahun Ehe 1956, beberapa waktu lalu (iMNews.id, 15/8/2022).
Nama negara (NKRI) dan simbol bendera Merah-Putih, sudah menjadi konsensus nasional, lalu simbol dasar (ideologi) negara yaitu Pancasila secara sistem hukum tertinggi yang menjadi konstitusi negara yaitu UUD 45, juga sudah menjadi konsensus nasional dan sangat jelas jati diri serta asal-usulnya. Simbol kapas dan padi (sandang dan pangan) pada Pancasila, diambil dari simbol Sri Radya Laksana, lambangnya Mataram Surakarta. Kemudian simbol keragamaan atau pluralistik bangsa ini yang terangkai dalam kalimat Bhineka Tunggal Ika, juga sangat jelas jati diri dan asal-usulnya, dan menggenapi sebagai konsensus nasional.
Diisyaratkan Belum Tuntas
Bila melihat simbol-simbol negara itu, NKRI memang terkesan sudah final, apalagi para pendiri bangsa ini juga sudah bersepakat tentang busana nasional sebagai cirikhas kepribadian bangsa yang membanggakan, karena sudah memenuhi banyak elemen persyaratan, yaitu etika, norma religi, sangat elok dan perbedaannya sangat mencolok dalam pergaulan antar bangsa-bangsa di dunia. Cirikhas peci warna hitam di antara stelan jas-celana panjang, jelas membedakan walau bersanding dengan busana khas Malaysia dan Pakistan atau bangsa-bangsa lain di Asia.
Untuk kaum wanitanya, stelan busana kebaya dan bebet (kain/jarik) motif batik, yang dipadu dengan kerudung (kepala) untuk muslimah seperti dicontohkan Ibu Sinta Nuriah Wahid (Ibu Negara, istri Presiden Gus Dur-alm), sangatlah anggun, estetik dan berkarakter kuat sebagai cirikhas kepribadian wanita muslim Indonesia. Akhirnya, simbol-simbol cirikhas bangsa dan negara itu lengkaplah sudah, titik puncak-puncak peradaban tertinggi di Nusantara tercapailah sudah. Mungkin masih ada PR yang akan membuat tuntas/purna simbol-simbol negara itu, dan ini tentu menjadi tantangan para negarawan dan kalangan intelektual kampus.
“Memang benar, Indonesia banyak dikenal bangsa-bangsa di dunia karena budayanya. Karakternya sangat kuat, yang terpancar dari simbol-simbol kenegaraannya, juga dari cirikhas kepribadian bangsanya yang bhineka. Saya bangga menjadi salah seorang warga peradaban (Jawa), sekaligus anak bangsa Indonesia. Akan lebih bangga lagi, seandainya kita semua bisa menuntaskan apa yang diisyaratkan belum tuntas/purna itu. Karena saya ingin berbagi kebanggaan itu kepada anak-anak dan cucu-cucu saya,” harap KRAT Hendri Rosyad Reksodiningrat, pemerhati budaya Jawa dan kraton yang dimintai komentar iMNews.id, kemarin. (Won Poerwono-habis/i1)