Peristiwa “Wisudan” Perdana Setelah “Insiden Gusti Moeng Kondur Ngedhaton” (seri 3 – habis)

  • Post author:
  • Post published:May 11, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:11 mins read
You are currently viewing Peristiwa “Wisudan” Perdana Setelah “Insiden Gusti Moeng Kondur Ngedhaton” (seri 3 – habis)
SUMPAH PRASETYA : Pengageng Karti Praja KPHA Sangkoyo Mangunkusumo membacakan dasar aturan dan lafal sumpah prasetyo terhadap para abdi-dalem yang diwisuda di Bangsal Smarakata, Sabtu (6/5), dan para wisudawan mendengarkan lalu menjawab "...nun inggih. Sendika...". (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Perwakilan Keluarga Besar Trahdarah-Dalem Sinuhun PB I Ikut Merasakan

IMNEWS.ID – PERISTIWA “wisudan” perdana setelah “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton” (17 Desember 2022), yang digelar Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat di Bangsal Smarakata Kraton Mataram Surakarta, Sabtu (6/5), telah mencatat sejarah perjalanan Kraton Mataram setelah 200 tahun (1745-1945). Dan 160-an abdi-dalem dan sentana-dalem yang ikut diwisuda, menjadi bagian yang bersama-sama merasakan momentum kembalinya Kraton Mataram Surakarta menjalankan tugas dan kewajibannya secara adat, melestarikan budaya yang bersumber dari kraton dan menjaga kelangsungan panji “Sri Radya Laksana”.

Upacara “wisudan” siang itu telah menjadi momentum yang sangat penting bagi kraton, karena Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat telah menggerakkan kembali roda perjalanan kraton yang seakan telah “terhenti” selama lima tahun (2017-2022). Dan di dalam peristiwa “wisudan” perdana setelah “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton”, ada sejumlah elemen yang tak sengaja telah ikut memaknai dan menjadi bagian dari sejarah yang telah terukir. Salah satu elemen itu adalah beberapa tokoh dari keluarga besar trahdarah-dalem keturunan Sinuhun PB I (1660-1705).

MENELITI ISI KEKANCINGAN : Tampak sepasang wisudawan sedang meneliti isi kekancingan yang diterima, setelah menjalani sumpah dan penyerahan kekancingan secara simbolik oleh Pengageng Karti Praja KPHA Sangkoyo Mangunkusumo di Bangsal Smarakata, Sabtu (6/5). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Saya sudah mendapat ganjaran pangkat Bupati Riya Nginggil Anon-anon, Kanjeng Raden Arya Tumenggung (KRAT). Itu berarti, saya diamanahkan untuk menerima tanggung-jawab besar agar mampu berperan sebagai ‘agent of culture’ Kraton Kasunanan (Mataram) Surakarta. Di luar tanggung-jawab tersebut, saya memang masih sentana trahdarah-dalem Sinuhun PB I, dari garis Panembahan Purubaya. Itu berarti, saya juga diamanahkan untuk menjaga ‘legacy’ eyang Sinuhun (PB I), baik yang ‘tangable’ maupun ‘intangable’,” ujar KRAT Luvisola Agie Roslan Afany Hadiningrat saat dihubungi iMNews.id, kemarin.

KRAT Agie, begitu nama panggilannya, datang dengan sejumlah kerabat dari keluarga besar sentana trahdarah-dalem Sinuhun PB I, yang bersama-sama 160-an orang lain dari berbagai elemen, merasakan diwisuda KPHA Sangkoyo Mangunkusumo di Bangsal Smarakata. Melalui momentum itu dia berharap, Kraton Mataram Surakarta sebagai dinasti paling tua dalam Catur Sagatra, akan terus menjadi kiblat budaya Jawa. Untuk itu, para sentana-dalem, sentana darah-dalem dan para abdi-dalem serta para “kawula-dalem” harus bersama-sama bekerja untuk memberi kontribusi untuk mewujudkan “Sri Radya Laksana” tetap menjadi kiblat budaya.

TRAH SINUHUN PB I : Deretan sejumlah calon wisudawan yang tampak adalah dari keluarga trahdarah-dalem Sinuhun PB I (1660-1705), salah satunya adalah KRAT Luvisola Agie Roeslan Afani Hadiningrat yang ikut diwisuda KPHA Sangkoyo Mangunkusumo di Bangsal Smarakata, Sabtu siang (6/5). (foto : iMNews.id/dok)

“Sri Radya Laksana itu adalah nama karya berisi sabda-dalem Sinuhun PB X. Serat Sri Radya Laksana, adalah karya yang berisi tentang ‘Sri’ artinya Raja, ‘Radya’ artinya kraton dan ‘Laksana’ artinya perjalanan. Dalam satu kesatuan makna, Sri Radya laksana juga dilukiskan mirip globe bola dunia. Tetai sebenarnya bukan bola dunia, melainkan bola bergambar pulau Jawa. Sedang ada ‘paku’ yang menancap ke bawah, tepat di titik lokasi Surakarta. Jadi, apa yang terlukis dalam Sri Radya Laksana sudah terjelaskan semua,” ujar KP Budayaningrat, seorang budayawan dari Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta.

Menurut dwija dari Sanggar Pasinaon Pambiwara itu, Sri Radya Laksana memiliki makna harafiah sebuah lukisan perjalanan raja dan kerajaan yang dipimpinnya. Kalau dalam terminologi kehidupan sekarang, identik dengan eksistensi seorang pemimpin negara dengan wilayah kekuasaan dan kelembagaan negaranya. Di dalamnya ada bangsa yang menjadi rakyatnya, dan dalam kekuasaan kelembagaan negaranya ada berbagai bidang yang diurusi sesuai sendi-sendi kehidupan yang ada. Sri Radya Laksana yang diciptakan Sinuhun PB X disebutkan seperti itu, tetapi tetapi dalam lingkup tanah atau pulau Jawa.

SELALU HADIR : Wakil Pengageng Mandra Budaya KPP Wijoyo Adiningrat yang memiliki referensi banyak tentang paugeran adat Mataram, selalu hadir pada setiap Gusti Moeng menggelar berbagai aktivitas adat, apalagi saat upacara wisuda abdi-dalem sudah digelar di Bangsal Smarakata, Sabtu (6/5).(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Meski lingkupnya lebih kecil yaitu Jawa sesuai batas wilayah kedaulatan Mataram Surakarta, waktu itu, namun menurut Ketua MGMP Bahasa Jawa SMA se-Jateng itu, dalam globe Sri Radya Laksana juga terlukis simbol-simbol alam semesta yang ada surya (matahari), kartika (bintang) dan candra (bulan). Di situ juga ada simbol kapas dan padi, yang merepresentasikan sandang dan pangan. Juga perpaduan warna gula dan klapa atau warna merah dan putih. Beberapa dari simbol-simbol itu kemudian diadopsi NKRI menjadi simbol dalam sila-sila dari ideologi negara, Pancasila.

Ilustrasi yang disinggung secara singkat oleh KP Budayaningrat itu, jelas merujuk pada semangat yang terpancar dalam peristiwa “wisudan” perdana setelah peristiwa “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton” 17 Desember 2022. Semangat bergeraknya kembali roda Kraton Mataram Surakarta yang membawa panji-panji Sri Radya Laksana, bekerja bersama-sama semua elemen masyarakat adat bergotong-royong di bawah pimpinan Gusti Moeng selaku Ketua Lembaga Dewan Adat pada babak baru Sinuhun PB XII jumeneng nata, melalui momentum peristiwa 3 Januari 2023, meskipun jumenengan nata terjadi di tahun 2004.

SAMBUTAN PERDANA : Hadirnya 5 unit dhadhak-merak seni reog Ponorogo berupa yang dipersembahkan Pakasa Cabang Magetan dan Ketua Paguyuban Reog “Katon Sumirat” KRAT Sunarso Suro Agul-agul, Sabtu (6/5) sejak pagi di halaman Kamandungan, adalah sambutan perdana “Ponorogo” terhadap kembalinya Gusti Moeng mulai bekerja di dalam kraton. foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dan dengan momentum “wisudan” perdana itu, GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat, mengingatkan kepada semua insan dan elemen di dalam masyarakat adat yang dipimpinnya melalui sebuah tembang Macapat “Dhandhang Gula” yang dipetik dari naskah dokumen sabda-dalem Sinuhun PB IX. Tembang Dhandhang Gula berisi petuah atau pesan bijak untuk semua yang “suwita” di kraton, dilantunkan Nyi MT Eka Suranti, seorang pesinden yang menjadi salah seorang wisudawan, karena lulus setelah belajar di Sanggar Pasinaon Pambiwara babaran 37 tahun 2022.  

“Kang sinebut ganjaraning Widhi; Ya berkahing Ratu miwah Kraton; Sebutan pangkat namane; Datan kena liniru; Miwah tinuku kehing dhduwit; Wit bangsaning Redana, Bener lawan alus; Nanging poma kadhawahan; Hawya kongsi lirwa wajib lahir batin; Mrih lestari kawahyon”. Begitulah bunyi satu di antara beberapa bait dari sabda-dalem Sinuhun PB IX, yang diterjemahkan dari teks asli manuskripnya, berupa tulisan tangan dengan aksara dan Bahasa Jawa. Dokumen manuskrip yang berisi berbagai kegiatan dalam kehidupan seorang tokoh Sinuhun Paku Buwana, sangat sering lepas dari pengamatan para penulis buku, terutama dari manca.

DI LUAR KRATON : Sebelum peristiwa 17 Desember 2022, Gusti Moeng hanya bisa bekerja di luar kraton, misalnya saat mewisuda sejumlah abdi-dalem yang berkait dengan peringatan Hari Jadi Pakasa di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa beberapa tahun lalu sebelum 2017. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kalau diterjemahkan, sabda-dalem Sinuhun PB IX itu secara harafiah mengingatkan, bahwa yang disebut “ganjaran” atau “hadiah” dari Tuhan YME atau Allah SWT, yaitu berkah (Tuhan) yang diberikan melalui Raja dan kraton. Berkah yang berupa/bernama pangkat dan gelar sesebutan, tidak boleh ditukar dan dibeli dengan uang berapapun jumlahnya. Karena berbagai jenis kebutuhan biayanya, sekalipun benar dan tidak terasa, ketika harus ditanggung, jangan sampai membuat abai dari kewajiban lahir dan batin, agar selalu dalam lindungan-(Nya) dan selalu memberi kebaikan.

Sebuah petuah yang fungsinya mengingatkan itu, menjadi inti pesan yang diungkapkan Gusti Moeng secara “tandas” saat memberi pidato pengantar upacara wisuda, Sabtu pagi hingga siang (6/5) itu. Petuah melalui sebuah tembang, adalah cara bijak, halus dan santun serta penuh semangat mengedukasi atau merangsang daya nalar bagi semua yang sedang diingatkan melalui petuah itu. Sangat jauh berbeda isi, semangat, konteks dan cara menginterpretasikannya apabila dibandingkan dengan cara-cara yang sama yang terjadi dalam kehidupan warga peradaban luas di zaman milenial sekarang ini.

KELUARGA MUHAMMADIYAH : Sebelum bisa bekerja kembali di dalam kraton mulai 17 Desember 2022, Gusti Moeng juga terpaksa mewisuda beberapa tokoh dari keluarga Muhammadiyah Pimpinan Wilayah Jateng di Pendapa Sitinggil Lor, selama “berjuang” di luar kraton sejak 2017. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Walau perkembangan peradaban menuntut segalanya serba cepat dan gampang dimengerti, cepat dan gampang dikerjakan serta cepat dan dan gampang didapat. Tetapi tidak sedemikian rendah nilai-nilai kehidupan yang masih dimiliki warga peradaban Jawa, khususnya, dan tidak sedemikian rendah kewibawaan, harkat dan martabat masyarakat adat Jawa yang cinta budaya yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta itu. Nilai-nilai etika, estetika, tata nilai-adat dan norma-norma warisan leluhur yang berlaku dalam masyarakat adat, harus tetap menjadi ukuran, kendali dan kontrolnya.

Penegasan tentang hal-hal penting dan baku seperti yang diungkap Gusti Moeng, sebelumnya tidak pernah terdengar, tetapi agaknya memang sudah saatnya ditandaskan, yang tak bisa diperkirakan banyak orang telah terjadi pada momentum upacara wisuda perdana, Sabtu siang itu. Tetapi sekali lagi, masyarakat adat Mataram Surakarta memang menjadi bagian dari warga peradaban milenial. Cara-cara mengedukasi, mengingatkan dan memberi petuah kepada mereka, harus melalui tatacara yang merangsang olah pikir dan olah rasa, untuk bisa menangkap makna isi tembang Dhandhang Gula, sabda-dalem Sinuhun PB IX. (Won Poerwono-habis/i1)