Hampir Tiap Kabupaten di Zaman Mataram, Punya Besalen dan Pande Besi (seri 2 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:December 25, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:5 mins read
You are currently viewing Hampir Tiap Kabupaten di Zaman Mataram, Punya Besalen dan Pande Besi (seri 2 – bersambung)
"EMPU MODERN" : Tumaji (44), adalah Empu keris muda masa kini yang dengan visi, pengetahuan dan pengalaman yang didapat, dipraktikkan secara otodidak untuk membuat keris dalam kategori Tosan Aji. Walaupun produk Empu modern itu, belum tentu serasi ketika digunakan sebagai kelengkapan busana adat Jawa. (foto : iMNews.id/Dok)

Dari Sistem “Hankam”, Dimuliakan Menjadi Tosan Aji, Bagian Penting Busana Adat Jawa

IMNEWS.ID – REFERENSI latar belakang sejarah keberadaan senjata tradisional terutama keris di dalam kehidupan peradaban dan Budaya Jawa selama perjalanan Kraton Mataram, sudah terjelaskan dalam seri terdahulu tema tulisan ini (iMNews.id, 24/12). Pada intinya, terjadi perubahan makna keris di dalam fungsi dan manfaatnya ketika zaman berubah sampai di alam modern ini.

Karena keris mengalami perubahan makna, maka tidak aneh apabila besalen-besalen yang sampai lahirnya NKRI semakin berkurang banyak atau gulung tikar di setiap kabupaten di eks wilayah “negara” Mataram terutama Surakarta. Karena, di alam republik “negara” Mataram Surakarta sudah tidak memiliki sistem pertahanan dan keamanan sebagai bagian kedaulatan politik wilayah.

BESALEN MODERN : Walau diinisiasi dan diupayakan dalam suasana bengkel kerja yang sederhana, tetapi Besalen Bendowangen milik Tumaji (44) di Desa Mayong Lor, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara yang ditinjai KP Bambang S Adiningrat (Ketua Pakasa Cabang Jepara) itu, banyak peralatan modern digunakan untuk memproduksi keris. (foto : iMNews.id/Dok)

Dengan “dihapusnya” sistem pertahanan dan keamanan (hankam-Red), maka segala bentuk peralatan daya dukungnya yaitu sistem senjata yang berupa apapun termasuk keris, sudah tidak difungsikan sebagai senjata atau alat perang. Terlebih ketika NKRI punya UU Darurat No 12 (1951) yang melarang warganya membuat/memiliki berbagai jenis senjata tajam sebagai alat perang.

Dengan perubahan sosial, budaya, politik dan tata aturan di alam NKRI, maka produk besalen terutama keris berubah fungsi dan manfaatnya hanya menjadi barang seni, yang dimuliakan menjadi “tosan aji” sebagai perlengkapan atau bagian busana adat Jawa. Pada posisi seperti itu, apalagi demi pelestarian busana adat (Budaya Jawa), keris akan tetap dibutuhkan sepanjang masa.

BERGAYA TRADISI : Peragaan proses produksi keris di besalen “tiban” yang digelar di tengah arena pameran dan bursa keris Grebeg Suro 2024 di Pemkab Ponorogo ini, dilakukan dengan gaya penampilan tradisi. Meskipun, ada mesin blower yang menjadi ciri modern peralatan produksinya. (foto : iMNews.id/Dok)

Oleh sebab itu pula, kalau di sejumlah daerah/kabupaten eks wilayah “negara” Mataram Surakarta masih ada atau muncul kembali besalen atau yang juga berfungsi sebagai “pande besi”, bisa diyakini karena untuk memenuhi kebutuhan aktivitas itu. Dan fakta itu justru diperkuat dengan lahirnya jurusan seni kriya logam di Insitut Seni Indonesia (ISI) terutama di Surakarta.

Sebagai ilustrasi, ketika keris dan berbagai jenis senjata tradisional lainnya “tergulung” oleh perubahan situasi dan kondisi zaman, Sinuhun PB XII “memberi solusi”. Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) dan Pusat Kesenian Jawa-Tengah (PKJT) diberi izin berkampus dan berkantor di kompleks “ndalem” Sasana Mulya, yang ditahun 1980-an menginisi sebuah besalen semi modern.

BUSANA ADAT : Keris dalam busana adat Jawa, sudah masuk kategori “busana” atau bagian penting dari satu-kesatuan busana Jawi jangkep. Pada titik kelengkapan (jangkep-Red) itulah, tampak sekali kesesuaian dan keindahan busana adat Jawa, seperti yang dikenakan para abdi-dalem saat sowan di kraton itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Momentum inilah yang semakin menegaskan, bahwa keris dan sejenisnya sudah bukan bagian dari sistem persenjataan dan hankam, tetapi sebagai produk seni kriya logam yang dimuliakan ke level “tosan aji” (besi berharga). Tetapi, terlepas dari ada sisi atau fungsi lain, namun sejak diciptakan ratusan tahun lalu, keris tetap menjadi bagian dari satu-kesatuan busana adat Jawa.

Eksistensi keris akan semakin bermakna secara utuh, ketika sudah menjadi satu-kesatuan dari busana adat yang dikenakan insan peradaban. Keris akan menjadi kelengkapan busana adat Jawa yang terdiri dari blangkon, beskap, bebet (kain jarik), stagen, epek timang dan slop. Tetapi, keris juga bisa berdiri sendiri menjadi koleksi benda budaya sangat indah dan sangat mahal.

MAKNA LAIN : Keris yang dikenakan KRA Panembahan Didik Gilingwesi (Ketua Pakasa Cabang Kudus) itu, adalah bagian dari busana kebesaran pejabat “Bupati Manca” pada zaman Mataram Surakarta sebelum 1945. Selain kelengkapan busana, keris juga sebagai sistem hankam, tetapi keris yang dipegang itu fungsinya lain lagi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Karena berbagai alasan, kebutuhan, makna dan fungsinya yang sudah mengalami transformasi itu, maka ketika sekitar lima tahun lalu di Kabupaten Jepara lahir sebuah besalen yang berada di Kampung Bendowangen, Desa Mayong Lor, Kecamatan Mayong. Besalen milik “Empu Modern” Tumaji (44) yang dikelola dan proses produksinya ditangani sendiri itu, kini sudah banyak berproduksi.

Kehadiran “Besalen Bendowangen” itu, disebut Empu Tumaji tidak memiliki kaitan dengan besalen yang dimungkinkan terakhir ada di Kabupaten Jepara di abad 18. Empu muda itu juga mengaku tidak punya leluhur langsung yang pernah bekerja atau memiliki besalen. Mengenai sejarah produk senjata tradisional di Kabupaten Jepara, sampai kini belum muncul data-data sejarahnya. (Won Poerwono – bersambung/i1)