Dari Sistem “Hankam”, Dimuliakan Menjadi Tosan Aji, Bagian Penting Busana Adat Jawa
IMNEWS.ID – REFERENSI latar belakang sejarah keberadaan senjata tradisional terutama keris di dalam kehidupan peradaban dan Budaya Jawa selama perjalanan Kraton Mataram, sudah terjelaskan dalam seri terdahulu tema tulisan ini (iMNews.id, 24/12). Pada intinya, terjadi perubahan makna keris di dalam fungsi dan manfaatnya ketika zaman berubah sampai di alam modern ini.
Karena keris mengalami perubahan makna, maka tidak aneh apabila besalen-besalen yang sampai lahirnya NKRI semakin berkurang banyak atau gulung tikar di setiap kabupaten di eks wilayah “negara” Mataram terutama Surakarta. Karena, di alam republik “negara” Mataram Surakarta sudah tidak memiliki sistem pertahanan dan keamanan sebagai bagian kedaulatan politik wilayah.
Dengan “dihapusnya” sistem pertahanan dan keamanan (hankam-Red), maka segala bentuk peralatan daya dukungnya yaitu sistem senjata yang berupa apapun termasuk keris, sudah tidak difungsikan sebagai senjata atau alat perang. Terlebih ketika NKRI punya UU Darurat No 12 (1951) yang melarang warganya membuat/memiliki berbagai jenis senjata tajam sebagai alat perang.
Dengan perubahan sosial, budaya, politik dan tata aturan di alam NKRI, maka produk besalen terutama keris berubah fungsi dan manfaatnya hanya menjadi barang seni, yang dimuliakan menjadi “tosan aji” sebagai perlengkapan atau bagian busana adat Jawa. Pada posisi seperti itu, apalagi demi pelestarian busana adat (Budaya Jawa), keris akan tetap dibutuhkan sepanjang masa.
Oleh sebab itu pula, kalau di sejumlah daerah/kabupaten eks wilayah “negara” Mataram Surakarta masih ada atau muncul kembali besalen atau yang juga berfungsi sebagai “pande besi”, bisa diyakini karena untuk memenuhi kebutuhan aktivitas itu. Dan fakta itu justru diperkuat dengan lahirnya jurusan seni kriya logam di Insitut Seni Indonesia (ISI) terutama di Surakarta.
Sebagai ilustrasi, ketika keris dan berbagai jenis senjata tradisional lainnya “tergulung” oleh perubahan situasi dan kondisi zaman, Sinuhun PB XII “memberi solusi”. Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) dan Pusat Kesenian Jawa-Tengah (PKJT) diberi izin berkampus dan berkantor di kompleks “ndalem” Sasana Mulya, yang ditahun 1980-an menginisi sebuah besalen semi modern.
Momentum inilah yang semakin menegaskan, bahwa keris dan sejenisnya sudah bukan bagian dari sistem persenjataan dan hankam, tetapi sebagai produk seni kriya logam yang dimuliakan ke level “tosan aji” (besi berharga). Tetapi, terlepas dari ada sisi atau fungsi lain, namun sejak diciptakan ratusan tahun lalu, keris tetap menjadi bagian dari satu-kesatuan busana adat Jawa.
Eksistensi keris akan semakin bermakna secara utuh, ketika sudah menjadi satu-kesatuan dari busana adat yang dikenakan insan peradaban. Keris akan menjadi kelengkapan busana adat Jawa yang terdiri dari blangkon, beskap, bebet (kain jarik), stagen, epek timang dan slop. Tetapi, keris juga bisa berdiri sendiri menjadi koleksi benda budaya sangat indah dan sangat mahal.
Karena berbagai alasan, kebutuhan, makna dan fungsinya yang sudah mengalami transformasi itu, maka ketika sekitar lima tahun lalu di Kabupaten Jepara lahir sebuah besalen yang berada di Kampung Bendowangen, Desa Mayong Lor, Kecamatan Mayong. Besalen milik “Empu Modern” Tumaji (44) yang dikelola dan proses produksinya ditangani sendiri itu, kini sudah banyak berproduksi.
Kehadiran “Besalen Bendowangen” itu, disebut Empu Tumaji tidak memiliki kaitan dengan besalen yang dimungkinkan terakhir ada di Kabupaten Jepara di abad 18. Empu muda itu juga mengaku tidak punya leluhur langsung yang pernah bekerja atau memiliki besalen. Mengenai sejarah produk senjata tradisional di Kabupaten Jepara, sampai kini belum muncul data-data sejarahnya. (Won Poerwono – bersambung/i1)