Keraton Mataram Surakarta Mempersembahkan Bedaya Endhol-endhol di Ajang HTD

  • Post author:
  • Post published:May 1, 2022
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read

Kali Pertama Digelar di Depan Publik Sejak 60-an Tahun Silam

SURAKARTA, iMNews.id – Peringatan Hari Tari Dunia (HTD) yang selalu dipusatkan di Kota Surakarta atau Solo, selalu melibatkan lembaga masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta sebagai sumber seni budaya seperti yang selama ini menjadi mata kuliah dan objek penelitian masyarakat kampus seperti Insitut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Untuk itu, Keraton Surakarta melalui Lembaga Dewan Adat (LDA), ikut menyemarakkan HTD yang diinisiasi dan diselenggarakan ISI Surakarta, di kompleks kampus setempat, Jumat malam (29/4), dengan menggelar repertoar tari Bedaya Endhol-endhol, karya Sinuhun PB VIII yang banyak ditampilkan semasa Sinuhun PB X.

“Kalau saya membaca narasi dalam naskah dan cakepan gending iringannya, meyakinkan sekali sebagai karya eyang Sinuhun PB VIII. Tetapi, mungkin tidak pernah dimunculkan, lalu digali eyang Sinuhun PB X dan banyak dipentaskan pada waktu itu. Akhirnya, banyak dikenal sebagai karya PB X. Beksan jenis bedayan ini memang kurang banyak dikenal, apalagi di luar keraton. Setelah disajikan untuk menjamu tamu penting di keraton di tahun 1960-an, baru sekali ini kami pertontonkan di muka publik,” papar GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku pimpinan misi tari di HTD, menjawab pertanyaan iMNews.id, tadi sore.

HTD yang dipusatkan di kompleks kampus ISI Surakarta di Kentingan, Jebres, Jumat malam (29/4), menyajikan berbagai jenis tari terutama klasik sebagai kekayaan seni masyarakat peradaban Jawa, yang melibatkan berbagai pihak baik secara perorangan, kelompok, lembaga pendidikan maupun lembaga masyarakat adat, termasuk ISI sebagai tuan rumah. Selain Keraton Mataram Surakarta, HTD juga mendapat misi tari dari anggota Catur Sagatra lain dari Dinasti Mataram, yaitu Keraton Yogyakarta, Pura Mangkunegaran (Solo) dan Pura Pakualaman (Yogya).

Menurut pimpinan rombongan misi yang akrab disapa Gusti Moeng itu, Keraton Maaram Surakarta mempersembahkan repertoar tari Bedaya Endhol-endhol karya Sinuhun PB VIII dan PB X itu agar dikenal dan menambah wawasan publik secara luas, khususnya kalangan masyarakat kampus pendidikan seni macam ISI. Tarian ini, diidentifikasi karya di masa Sinuhun PB VIII, tetapi dimungkinkan tidak banyak dipentaskan sejak diciptakan, baru pada masa Sinuhun PB X banyak dipentaskan hingga sering dikenal sebagai karyanya.

Repertoar tarian ini, disebutkan mengandung ajaran pendidikan karena dari sifat kesederhanaan struktur gerakannya, sangat mudah dipelajari dan dikuasai walau oleh penari yang masih remaja. Karena, salah satu penari Bedaya Endhol-endhol yang pernah dipentaskan Sinuhun PB XII untuk menjamu tamu penting di tahun 1960-an, adalah GRA Koestriyah, salah seorang kakak Gusti Moeng dari lain ibu, yang waktu itu masih berusia 7 tahun.

CATUR SAGATRA : Tari Wira Pratama yang juga dipersembahkan Gusti Moeng di ajang HTD yang dipusatkan di lingkungan kampus ISI Kentingan, Jebres, Jumat malam (29/4), merupakan ekspresi harapan Sinuhun PB IV agar Keraton Surakarta dan tiga keluarga besar trah Dinasti Matar tetap rukun dan bersatu dalam Catur Sagatra. (foto : iMNews.id/dok)

“Struktur gerakannya sederhana sekali. Tidak serumit jenis-jenis bedayan lain, apalagi Bedaya Ketawang. Jadi, kelihatannya memang layak untuk dikuasai usia anak-anak, dan bisa ditonton publik. Walaupun saat itu, digelar di gedhong Sasana Handrawina untuk menjamu tamu. Durasi tari ini, dari aslinya 40 menit, dan kemarin saya sajikan utuh 40 menit,” sebut Ketua Lembaga Dewan Adat itu yang sekaligus Pengageng Sasana Wilapa itu.

Disebutkan penerima penghargaan The Fukuoka Cultur Prize Award dari Jepang tahun 2012 itu, tarian ini direkonstruksi untuk diteliti dan dijadikan disertasi mahasis ISI kira-kira tahun 2015. Meskipun sudah direkonstruksi, tetapi belum pernah dipentaskan di depan publik. Sejak terakhir dipentaskan di Sasana Handrawina untuk menjamu rombongan tamu keraton di tahun 1960-an itu, baru di ajang HTD itu kali pertama Bedaya Endhol-endhol diperkenalkan kepada publik secara luas.

Seperti jenis-jenis tarian dari rumpun bedayan lainnya, repertoar tari Bedaya Endhol-endhol juga diperagakan sembilan penari yang paling muda di antara para penari anggota Sanggar Pawiyatan Beksa Keraton Surakarta yang dipimpin Gusti Moeng, yaitu rata-rata berusia 15 tahun. Tari Bedaya Endhol-endhol termasuk jenis tarian ringan dari unsur kesakralannya, yang bisa disajikan di luar keraton atau untuk konsumsi publik.

Di ajang HTD, selain tari Bedaya Endhol-endhol, Keraton Mataram Surakarta juga menyajikan tari yang yang diperagakan penari laki-laki, yaitu tari Wira Pratama. Ketika diciptakan di masa jumenengnya Sinuhun PB IV (1788-1820), dimaksudkan agar keturunan Dinasti Mataram sekalipun sudah terpecah menjadi empat (Catur Sagatra), tetap diharapkan bisa hidup berdampingan secara rukun sebagai sesama trah dinasti.

“Meskipun sudah menjadi empat setelah peristiwa Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Salatiga, Keraton Mataram Surakarta, Keraton Yogya, Pura Mangkunegaran dan Pura Pakualaman tetap diharapkan Sinuhun PB IV hidup rukun berdampingan sebagai sebuah keluarga besar trah Diasti Mataram. Simbol harapannya diekspresikan dalam tari Wira Pratama itu,” tandas koreografer tari khas keraton yang pernah dua periode (terpisah) duduk sebagai anggota DPR RI itu. (won-i1).