“Karaton (Mataram) Surakarta Hadiningrat, Hawya Kongsi Dinulu Wujuding Wewangunan……..” (seri 2 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:August 26, 2022
  • Post category:Budaya
  • Reading time:9 mins read

Pagelaran Sasana Sumewa, Tempatnya (Mencari) Keadilan

IMNEWS.ID – SETELAH dari Alun-alun Lor tempat memahami makna kehidupan yang hanya ada dua hal sebagai pasangannya mirip simbol “plus dan minus”  (iMNews.id, 22/8), “perjalanan hidup” manusia selanjutnya sampai pada bangunan Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa yang sebelum Sinuhun Paku Buwana (PB) X bertahta atau jumeneng nata (1893-1939), bernama “Tratag Rambat” yang dibangun Sinuhun PB untuk menaungi Bangsal Pangrawit, hanya berupa hamparan pasir dan bertiang bambu dan diberi peneduh “tarub” terdiri dari rumbai dan “dami”. Sebagai ilustrasi, Tratag Rambat yang sejak awal fungsinya sebagai tempat pisowanan agung itu, kemudian direnovasi Sinuhun PB X saat berusia 48 tahun, dan tempat itu diberi nama Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa dengan 48 buah saka guru (tiang penyangga-Red) berukuran besar kombinasi antara pasangan batu-bata dan besi, serta tinggi lantainya dinaikkan 1,5 meter dari semula.

“Sesudah memahami suasana di dunia yang hanya ada dua, manusia dituntun lagi untuk melangkah maju (ke arah selatan-Red) menuju Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa. Kata sumewa berarti sowan atau menghadap. Sasana berbentuk pendapa adalah tempat. Jadi, tempat itu merupakan tempat pisowanan agung. Untuk apa pisowanan diadakan?. Tempat Sinuhun Paku Buwana mengundangkan berbagai jenis peraturan, sekaligus tempat untuk memberikan rasa keadilan bagi seluruh warga negara Mataram. Yang berprestasi diberi hadiah/penghargaan, di antaranya pemberian jabatan/pangkat sekaligus pelantikan/penetapannya. Bagi yang bersalah, juga diputuskan hukumannya di situ,” tandas KP Budayaningrat, yang dihubungi iMNews.id, tadi siang.

Secara khusus, penghargaan/hadiah dari Sinuhun sebagai “kepala negara”  sekaligus sebagai “kepala pemerintahan” (negara monarki) diserahkan di Bangsal Martalulut, yaitu sebuah bangunan kecil yang ada di timur Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa yang berhadapan dengan Bangsal Pemandengan. Sedangkan yang diputuskan bersalah akan diberikan putusan hukumannya di Bangsal Singanagara yang ada di sisi barat Pendapa Pagelaran. Tetapi, Pendapa Pagelaran tempat utama pisowanan, lebih banyak digunakan untuk mengundangkan peraturan serta melantik pejabat-pejabat negara, termasuk “Bupati Manca” yaitu pejabat bupati yang ada di daerah luar Ibu Kota Negara di Surakarta Hadiningrat.

Simbol Etika Susila

KORI MIJIL PISAN : Prosesi sebuah upacara adat yang tampak masih ada di atas Sitinggil Lor ini, akan menuruni tangga keuar dari pintu atau Kori Mijil Pisan menuju Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, yang secara harafiah mengajarkan penampilan pertama harus memberi kesan baik, terutama dari ucapannya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Secara fisik dan tata kehidupan duniawi, Pendapa Pagelaran yang dilengkapi Bangsal Martalulut dan Bangsal Singanagara, melukiskan urusan penegakan hukum dan pemberian jaminan rasa keadilan kepada setiap warga “negara” dan “bangsa”. Tetapi secara spiritual ketika langkah kehidupan manusia sudah sampai di situ, bisa diartikan tahapan hidup yang sudah bisa memahami letak rasa keadilan dan letak hukum. Bila sudah bisa memahami keduanya, berarti sudah berada di atas rata-rata manusia, yang bisa memahami langkah berikut ketika naik ke Sintinggil (Lor=utara-Red) binata-warata atau tempat yang lebih tinggi yang penuh dengan pengertian dan kejernihan dalam berpikir yang sering disebut “wis menep” (sudah mengendap-Red).

Di Sitinggil, terdapat 8 meriam menghadap ke utara sebagai simbol adanya bupati “nayaka” berjumlah 8 yang menjalankan roda pemerintahan pada masa sebelumnya. Sedangkan satu meriam lagi, bernama Nyai Setomi yang dikurung dalam Bangsal Menguneng  yang tertutup rapat hingga tak kelihatan dari luar. Ini adalah simbol etika kesusilaan, yang punya makna filosofi sebagai sesuatu milik kaum wanita yang sangat berharga, yang baru boleh diketahui oleh seseorang yang sudah sah karena disumpah untuk mengetahuinya. Secara harafiah, adalah melukiskan hubungan lelaki dan perempuan yang hanya boleh membuka “warana” (penutupnya) ketika sudah sah sebagai pasangan suami-istri.

“Sebuah pendapa yang menaungi Bangsal Manguneng, adalah Bangsal Manguntur Tangkil, yang maknanya ajakan agar selalu berbuat baik dan bertutur kata enak (didengar atau santun-Red). Jumlah meriam di halaman Sitinggil Lor secara keseluruhan  ada 9 buah, dalam terminologi spiritual Jawa disebut “babahan hawa sanga (9)”, atau jumlah 9 lubang yang rata-rata secara normal dimiliki dalam tubuh manusia. Satu di antara 9 lubang itu, disimbolkan meriam Nyai Setomi yang ada di tempat khusus dan tertutup rapat di dalam Bangsal Manguneng,” jelas anggota penasihat pengurus Yayasan Panakawan Jateng, sebuah organisasi yang menjadi mitra Pemprov Jateng dalam pelestarian budaya Jawa, yang melalui pembinaan tenaga pendidik Bahasa Jawa.        

Makam di Empat Arah

BANGSAL MANGUNTUR TANGKIL : Bangunan kecil di depan pisowanan yang berada di dalam tempat beratap melengkung di kompleks Sitinggil Lor, adalah Bangsal Manguntur Tangkil sebagai simbol yang mengajarkan manusia agar berlaku bijaksana dalam segala hal khususnya bertutur-kata, ketika sudah tampil atau berada dalam pergaulan kehidupan.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)     

Sitinggil, juga diibaratkan sebagai tempat manusia yang sudah memiliki tahapan kehidupan yang di atas rata-rata, misalnya “wicaksana” atau bijaksana, berilmu/berkepribadian tinggi. Manusia seperti ini dilukiskan sudah bisa memisahkan antara “pakarti” dan “pribadi”, sudah bisa memisahkan hal-hal yang bersifat pribadi dengan “kebiasaan” atau perbuatan dalam hubungan sosial. Di Sitinggil, juga ada “watu gilang” atau “sela pamecat” sebagai tempat untuk mengeksekusi siapa saja (para pembangkang-Red) yang sudah diputuskan bersalah dan dihukum, oleh para “jagal” atau eksekutor yang sudah bersiap di Bangsal Singanagara atas keputusan lembaga Panca Niti, sebuah lembaga yang memiliki lima unsur seleksi penelitian terhadap setiap perkara yang diajukan.

Simbol keadilan dalam proses hukum seperti disebut dalam Panca Niti, yang dimaksud adalah lima unsur atau sudut pandang sesuai bidang masing-masing, yang akan melihat dan mencermati setiap perkara, kemudian memberi dalil-dalil untuk kemudian diputuskan letak kesalahan dan jenis hukumannya. Pada konsep Panca Niti itu, Raja berada di posisi sebagai “hakim”, Patihdalem sebagai “jaksa”, pujangga sebagai “panitera”, pangeran pati dan para ulama sebagai pemberi pertimbangan, agar ketika putusan diambil dan hukuman dijatuhkan, benar-benar memenuhi rasa keadilan karena sudah dipertimbangkan dari berbagai aspek.

Konsep Panca Niti itu bahkan diabadikan dalam motif batik “ceplokan” khas Kraton seperti yang terlukis dalam kain batik “Sida Mukti”, “Sida Luhur” dan sebagainya yang melukiskan simbol-simbol “Pat Jupat Lima Pancer”, empat penjuru mata angin dan yang di tengah-tengahnya sebagai pusat yang bisa dijadikan pedoman. Empat penjuru mata angin itu adalah “purwa” maknanya arah timur, “untara” maknanya utara, “praci” arah barat dan “daksina” menunjuk arah selatan, sebagai petunjuk arah ketika hendak mengidentifikasi letak lokasi makam (TPU) Purwalaya di Kecamatan Jebres (timur), Untaralaya di Kecamatan Banjarsari (utara), Pracimalaya di Kecamatan Kartasura (Kabupaten Sukoharjo), dan TPU Daksinalaya (selatan) di Kecamatan Grogol (Sukoharjo) yang disediakan Kraton Mataram Surakarta, jauh sebelum ada NKRI.

Pengetahuan Medan Magnet

BANGSAL MANGUNENG : Meriam ke-9 yang bernama Nyai Setomi dan tersimpan rapat dalam Bangsal Manguneng di kompleks Sitinggil Lor, menjadi simbol etika kesusilaan yang mengajarkan tentang organ tubuh manusia yang dimiliki kaum hawa, yang harus ditutup rapat-rapat dan selalu dijaga baik-baik. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sisi selatan Sitinggil, ada Kori Mijil Pisan yang secara harafiah bisa diartikan sebagai ucap tutur pertama yang mengajarkan kepda manusia ketika kali pertama memperlihatkan diri atau tampil harus membuka dengan kata-kata yang enak didengar (santun-Red) dan simpatik, yang diteruskan dengan Kori Mijil Kalih atau yang kedua. Bangsal Pacekotan simbol orang yang bertangan pendek atau “ceko”, tempat orang-orang tahu aturan dan suka berbuat baik  dan Bangsal Pacikeran simbol tempat orang-orang yang tidak bisa memandang dengan cermat (ciker=juling-Red) segala tindakannya atau suka berbuat tidak baik. Dua bangsal itu berada depan, sedang Bangsal Martalulut dan Bangsal Singanagara sejajar berada di belakangnya.

Setelah melewati letak 8 meriam dan Bangsal Sewayana, Bangsal Manguntur Tangkil, bergeser ke selatan ada Bangsal Witana kemudian Bangsal Manguneng dan Bangsal Gandek Kiwa yang keduanya memiliki makna filosofi dalam kehidupan sebagai kelanjutan setelah teladan bertutur santun. Di antara beberapa bangsal itu, yaitu Bangsal Witana, ketika diurai menjadi kata “wiwitan” dan “ana”, menjadi simbol kelahiran bayi atau keberadaan kali pertama manusia di dunia. Di situ juga ada Bangsal Balebang yang berfungsi untuk menyimpan (gudang-Red) sejumlah gamelan penting untuk keperluan beberapa upacara adat di kraton.  

“Semua meriam itu ada namanya. Dan masing-masing adalah pisungsung dari asal negara yang berbeda. Setelah dari kompleks Sitinggil Lor, perjalanan manusia ketika bergeser ke selatan, memasuki halaman Kamandungan sebelum memasuki kawasan kedhaton melalui Kori Kamandungan dan Kori Sri Manganti Lor. Mengapa konsep kehidupan manusia menurut budaya Jawa diawali dari utara berjalan menuju ke selatan? Karena, budaya Jawa juga mengakomodasi pengetahuan tentang medan magnet dari kutub utara ke kutub selatan. Meskipun, empat penjuru angin juga diadopsi dan dimaknai semua yang diwujudkan dengan pintu yang ada di semua arah mata angin. Karena wahyu, bisa masuk dari pintu mana saja,” jelas KP Budayaningrat. (Won Poerwono-bersambung/i1)