Seluruh Struktur Bangunan Kraton, Punya Makna dan Manfaat untuk Kehidupan
IMNEWS.ID – BERJUANG “di luar” Kraton Mataram Surakarta selama lebih lima tahun sejak April 2017, berjuang di seberang “jurang pemisah” yang semakin tajam, berjuang di tengah suasana pandemi yang belum berkesudahan tanpa dukungan “amunisi” yang jelas dan berada di di antara warga masyarakat adat yang “ditelantarkan” oleh negara, sungguh menjadi masa-masa sulit baik di lingkaran besar penerus Dinasti Mataram secara kelembagaan, maupun lingkaran kecil yang sedang dirawat Lembaga Dewan Adat (LDA) saat ini. Dalam situasi sulit, bisa bertahan dalam jumlah yang genap dan utuh, sungguh menjadi sebuah keberuntungan tersendiri, apalagi kalau sempat terpikirkan untuk menjaga kualitas, dalam hal apa saja.
Tetapi ketika menyimak sabdadalem Sinuhun Paku Buwana (PB) X sehabis merenovasi struktur tata ruang dan bangunan kawasan yang dimulai dari Gapura Gladag di tahun 1930, itulah hal-ikhwal yang disinggung GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Ketua LDA, saat memberi sambutan tunggal pada upacara adat pengetan adeging “nagari” Mataram Surakarta, Senin, 15 Agustus (iMNews.id, 16/8). Karena, seluruh struktur dan tata ruang bangunan kraton yang terhampar di kawasan seluas lebih 90 hektare mulai dari Gapura Gladag hingga Gapura Gading, penuh makna kehidupan tetapi terkesan tidak terurus, lusuh dan rusak karena negara menelantarkannya.
Selengkapnya, sabdalem “Sinuhun ingkang Minulya saha ingkang Wicaksana” PB X itu berbunyi “Kraton Surakarta Hadiningrat haywa kongsi dinulu wujuding wewangunan kewala, hananging sira kabeh pada nyumurupana wewarah kang sinandi, dimen tinuntun wajibing urip ing donya tumekeng delahan”. Bila diterjemahkan kurang lebih, “Jangan melihat Kraton Surakarta dari bentuk bangunan fisiknya saja, tapi lihatlah makna yang terkandung dalam bangunan tersebut. Seluruh bangunan dari Gladag sampai Gading penuh makna yang tersembunyi, (bisa) sebagai bekal peganganmu (dalam kehidupan) di dunia sampai kamu meninggalkan dunia atau menghadap Tuhan YME.
Manfaat Edukasi
Narasi yang disusun dan dibacakan KP Sulistyadiningrat di upacara adat peringatan berdirinya Mataram Surakarta 17 Sura, Senin (15/8) itu, diambil dari manuskrip catatan Carikdalem Sinuhun PB X, yang seakan melengkapi data-data sejarah yang ditinggalkan Sinuhun PB II yang tertulis dalam Serat Pindhah Kedhaton, dalam bentuk tembang macapat Dhandhanggula itu (iMNews.id, 17/8). Pembacaan riwayat singkat berdirinya kraton yang diperkuat dengan alunan tembang macapat, hampir selalu dilakukan kraton setiap menggelar ritual peringatan “Jenang Suran 17 Sura”, baik ketika KP Winarnokusumo menjabat juru penerang budaya sekaligus Wakil Pengageng Sasana Wilapa, atau tokoh dengan tugas yang sama ketika dijabat KRMH Sapardi Rio Yosodipuro di tahun 1980-an.
“Ya memang seperti itu bunyi lengkapnya sabdalem Sinuhun PB X itu. Karena, seluruh struktur bangunan dan tata ruang di kawasan kraton ini punya makna, maka setiap siswa Sanggar Pasinaon Pambiwara harus bisa mengenal dan memahaminya untuk bisa lulus dalam belajar-mengajar selama 6 bulan itu. Karena ini adalah karya besar para tokoh cerdik-pandai kraton termasuk para pujangga, maka makna tersembunyi dari seluruh bangunan kraton itu tentunya juga mengedukasi kepada publik secara luas. Nilai manfaat tuntunan hidup bisa dicermati, mulai dari Gapura GLadag hingga Gapura Gading,” tandas KP Budayaningrat, dwija sanggar yang kini banyak mengampu peran tugas transfer nilai sepeninggal KP Winarno Kusumo, saat dihubungi iMNews.id, kemarin.
Seperti pernah disinggung pemerhati budaya Jawa dan kraton, KRAT Hendri Rosyad Reksodiningrat dalam kerangka aktivitas syi’ar budaya yang sering disebarkan, bahwa dalam perjalanan sejarah peradaban di masa-masa yang sudah lewat jauh dari rentang kehidupan para Pujangga Jawa, Mataram atau Surakarta, sangat banyak produk budaya yang tidak mudah dijelaskan dengan kerangka kontruksi penalaran generasi setiap zaman. Begitu pula, tak banyak figur atau tokoh yang bisa menjelaskan produk budaya/peradaban sesuai kerangka kontruksi penalarannya, maupun generasi di zamannya.
Hanya Karena Fitnah
Melihat begitu penting dan sangat berharganya nilai yang terkandung dalam seluruh struktur bangunan di kawasan Kraton Mataram Surakarta, menjadi sulit diterima akal sehat ketika melihat realitas fisik semua struktur bangunan dan kondisi yang tampak di semua tata ruangnya saat ini. Hampir di semua sudut dan bagian dari situs cagar budaya peninggalan sejarah dan jejak Ibu Kota Mataram Surakarta itu, tak ada satu bagianpun yang bisa disebut baik dalam ukuran sedang, karena rata-rata nyaris di bawah ukuran sedang, bahkan tergolong rusak parah, hancur, runyam.
Situasi dan kondisi itu, setidaknya sudah dibiarkan selama lebih lima tahun sejak peristiwa “mirip operasi militer” pada April 2022 yang melibatkan 2000 personel polisi terutama Brimob dan 400-an personel TNI. Lebih parahnya lagi, evakuasi yang dilakukan “mirip operasi militer” itu, harus “menyeret” sejumlah tokoh seperti KP Winarno Kusumo, hingga bergantian dengan lainnya, diperiksa di Mako Polda dengan tuduhan memalsukan “dokumen negara”, hanya karena adanya “fitnah” laporan tentang dugaan “penyalahgunaan wewenang” dari seseorang di antara 35 putra/putri Sinuhun PB XII terhadap GKR Wandansari Koes Moertiyah dan para pengikutnya.
Peristiwa itu seakan menambah intensitas untuk “menelantarkan” Kraton Mataram Surakarta secara keseluruhan, apalagi terhadap semua yang berlindung pada GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng. Di sinilah yang menjadi salah satu alasan, mengapa Gusti Moeng sampai terkesan “meratap” ketika mencermati sambutannya, di hadapan sekitar seribu orang yang hadir di ritual “Jenang Suran 17 Sura”, Senin siang (15/8) itu. Karena, Kraton Mataram Surakarta punya data dan fakta sebagai kraton pertama yang menyatakan diri bergabung ke NKRI pada 17 Agustus 1945, di antara 250-an kraton, kesultanan, kedatuan dan pemangku adat yang ada di Nusantara, saat itu.
Segera Berakhir
Gelar sesebutan sebagai bentuk ikatan kekerabatan yang diberikan Kraton Mataram Surakarta kepada warga masyarakat adatnya, tidak bisa dilepaskan dari pesan bijak Sinuhun PB X, bahkan melekat sebagai satu-kesatuan yang menyerupai pusaka. “Gelar kepangkatan eneng Kraton Surakarta iku kadi dene pusaka eneng kedhatone. Yen siniya-siya bakal tuwuh halade. Yen rumeksa bakal handayani. Ananging kanugrahan, berkah lan halad iku wus nyawiji. Dening Gusti (Allah SWT) kang Maha Suci, katedhakake saka ndhuwur, yen manungsa kuwi gelem sih-sinisihan, ngasihi marang sapadaning urip, bakal tuwuh barokahe. Yen siniya-siya, bakal nuwuhake halad”.
Dalam kerangka konstruksi penalaran KP Budayaningrat, apa yang disebut “halad” itu adalah hal boleh disebut tidak menyenangkan dalam kehidupan. Bila seseorang ketiban “halad”, kehidupannya menjadi serba “rekasa” atau sengsara. Maka, meskipun hanya gelar atau pangkat serendah apapun dimiliki terlebih di lingkungan kraton, sebaiknya diterima saja. Termasuk apa saja yang menjadi bagian dari satu-kesatuan struktur kawasan kraton, jangan sampai disepelekan kalau tidak mau ketiban “halad”.
Dalam kacamata spiritual kebatinan yang sulit dijelaskan dengan konstruksi penalaran generasi masyarakat sekarang, KRAT Hendri Rosyad Reksodiningrat menyebut situasi bangsa dan negara dalam satu dasa warsa ini, sulit dipisahkan dari sinyal-sinyal dinamika yang terjadi di Kraton Mataram Surakarta. Dari pengamatan secara spiritual dalam waktu yang panjang, selalu terpancar sinyal yang punya banyak makna ketika “kraton” sedang “bergejolak” atau “dibuat bergejolak”, karena selalu diikuti rangkaian gejolak yang yang bergetar secara nasional, yang sulit dilepaskan dari rangkaian hubungan kausalnya. Semoga, “keterlantaran” kraton segera berakhir. (Won Poerwono-habis/i1)